Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita pendek. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Januari 2014

The Decade of Kesmephere Love


(Part 1) Earth was gone, New world has come, and The true love is growing          

         Terompet itu kembali terdengar, tidak hanya itu, barisan kawanan tentara ikut mengikuti sebuah keranda yang ada di depannya. Aku mengira itu adalah sebuah peri pohon yang tinggal di Meslodia, mungkin dia selesai mengunjungi walikota Amphonarya yang sedang dilanda berbagai masalah. Aku hanya duduk santai dan meminum secangkir teh. Aku melihat para pelanggan lain meninggalkan meja mereka dan langsung mendekati rombongan, terutama kaum laki-laki. Peri pohon Meslodia terkenal dengan kecantikannya. Tubuh tinggi, langsing dan lekukan tubuhnya seperti gitar spanyol (spanyol adalah negara yang berada di Bumi yang sekarang telah hancur karena ledakan bintang yang bernama matahari itu). Amphonarya adalah salah satu negara yang diciptakan manusia setelah bumi hancur. Hanya dua juta manusia yang selamat dari musibah itu dan menuju planet Kesmephere. Ukurannya jauh lebih besar dari bumi, mungkin perbandingannya 1:16. Semua manusia tepencar-pencar di planet ini selain Amphonarya ada negara lain yang berisi manusia. Disini Meslodia adalah salah satu tetangga Amphonarya. Mereka sangat baik dan membantu membangun negara manusia sejak 20 tahun yang lalu. Aku tidak tahu pertemuan pertama kami seperti apa, karena aku baru berumur 10 tahun. Dan aku sendiri, aku terpilih masuk ke kapal canggih itu yang dibuat oleh Korea untuk selamat dari Bumi. Ayah dan Ibuku dan teman-teman ku juga tidak naik ke kapal itu. Hanya aku, ya hanya aku, anak perempuan yang diasuh oleh nenek tua bernama Albert, hingga aku sebesar ini sekarang.
Setelah rombongan lewat aku membayar secangkir teh ini dan melanjutkan tujuanku ke Meslodia. Aku harus bertemu dengan temanku yang seorang peri itu. Sebenarnya bangsa mereka bernama Meslodianga. Namun karena kami para manusia susah menghafalnya, kami hanya memanggil mereka Angel dalam bahasa di negara ku dulu namanya peri. Meslodia letaknya lumayan jauh. Dari tempat tinggalku saja di Ibu kota Amphonarya , Narya hingga perbatasan ini saja membutuhkan waktu 2 jam, padahal hanya berjarak 20 km. Aku merindukan bumi ku dulu, benda yang bernama mobil itu. Disini kami kembali ke masa primitif, menggunakan kuda. Padahal kami sudah 20 tahun disini dan kami baru bisa menciptakan kereta kuda yang harganya lumayan mahal. Jembatan yang ada di depan ku ini menghubungkan Meslodia dan Amphonarya, panjangnya sepanjang 2 km menghubungkan ngarai yang sangat dalam. Aku melihat matahari Och dan Tam sudah mulai condong ke utara tandanya sudah melewati tengah hari. Setelah menyebangi perbatasan, aku di periksa oleh penjaga, tidak sembarangan manusia dapat memasuki Meslodia hanya yang berkeperluan aja. Aku mengeluarkan surat dari temanku itu dan lepas dari penjagaan. Butuh waktu dua jam lagi untuk sampai ke rumah teman ku yang tempatnya di kota Mesko. Aku harus cepat ke rumah teman ku itu karena sudah lama tidak bertemu, 10 tahun lamanya sejak aku berumur 20 tahun, namun indahnya Meslodia membuat ku berjalan pelan dan melihat pemandangan yang indah seperti surga. Sangat indah khusus untuk kalangan manusia. Hijau, berbukit, pelangi yang terkadang muncul satu menit sekali. Binatang-binatang aneh yang sangat lucu. Aku mendekati seekor Yuth, yang kalau di bumi seperti kelinci. Yuth hewan yang paling aku suka di Meslodia, dia baik, lucu dan kadang-kadang manja. Setelah aku bermain-main sebentar, aku pun kembali ke jalan setapak menuju ke Mesko. Matahari Tam sudah tenggelam dan sampai didepan pintu rumah teman ku, Alya namanya. Aku ketuk pintu rumahnya sekali, dia pun langsung membukakan pintunya. “Hai, Yoon apa kabar??” katanya dengan menggunakan bahasa Meslodia, untungnya aku masih mengingat benar bahasa itu. Dia langsung memelukku, aku memeluknya balik dan menjawab “Baik kok”. Aku masuk kedalam rumahnya. Tidak berubah dari dulu hanya begitu-begitu saja. Wajah Alya pun sama seperti dulu muda, putih, cantik, hanya rambutnya yang bertambah panjang. Mungkin itu mukjizat para Meslodianga, hidup hingga umur ratusan tahun. Aku masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di kursi. Alya pun mengambil minuman lalu mendekati ku dengan tatapan tajam. “kamu kemana aja sudah sepuluh tahun tidak datang, surat ku juga tidak dibaca” dia menaruh secangkir teh didepan ku dan biskuit. “Iya Sabar, aku juga baru sampai, udah ditanyain itu”. Dia tertawa lalu duduk santai di samping ku. “Bagaimana dengan laki-laki kamu itu sudah tinggal bareng?” Meslodianga tidak kenal kata menikah, jika sudah saling suka, langsung tinggal bersama. Dia menggeleng cemberut. “Tidak, dia mencintai perempuan lain” katanya sedih, aku mengelus rambutnya. Walaupun kita berbeda spesies ternyata masalah manusia dan Meslodianga sama saja tentang cinta. “Hai Alya aku punya cerita, kenapa 10 tahun ini aku tidak ke tempatmu” kataku. “Cerita? Memang kemana aja kamu selama ini” tanya Alya kebingungan. “Semua diawali sejak kejadian itu”

Year 1, Kesmephere Transholt 33, 2054 (Awal Perjalanan)
                Aku kecil, aku tidak berguna, aku hanya sampah. Aku menyebut diriku seperti itu lagi, tapi memang begitu kenyataannya. Aku duduk terdiam, suara ribut masih bergemuruh diluar sana. Banyak orang berlalu lalang, aku hanya mengintip di pintu yang terbuka sedikit itu. Suara ledakan terjadi dari arah kanan ku. Aku takut, sudah 3 jam lamanya aku disini, suara bising dan ledakan masih terjadi. Apa aku masih akan tetap disini, desingan percikan api tiba-tiba muncul di sebelah kiri. Tidak jauh, hanya sekitar lima meter saja. Lalu seseorang masuk dari pintu yang rusak itu, umurnya tidak jauh berbeda dari ku mungkin dia berumur 12 tahun, seorang laki-laki. Dia menarik ku lalu mendorongnya keluar pintu, tidak lama terjadi ledakan dasyat di belakangku. Menghancurkan semuanya.  Termasuk punggung ku. Aku terbangun. Nafas ku tersengal-sengal. “Kenapa harus mimpi itu lagi?” lalu aku merendam seluruh badan ku ke dalam air. Lalu kembali termenung di dalam bathtub itu. 10 menit kemudian aku keluar dari bak itu. Aku melihat ke cermin lalu melihat punggungku yang sudah lebih baik. Luka bakar nya masih memerah di punggung ku. Aku harus berendam setiap pagi untuk pengobatan, obat ini tidak ada di bumi, obat ini diberikan oleh seorang Meslodianga. Dan kini Ia menjadi teman ku sekarang, namanya Alya. Aku berendam cukup lama, karena aku akan melakukan hal yang besar hari ini dan hari-hari berikutnya. Mungkin aku tidak akan kembali ke Amphonarya.  Aku membersihkan tubuhku, lalu memakai pakaian berburu yang dberikan nenek Albert, dia yang merawatku sejak aku masih berumur 10 tahun setelah kejadian itu. Kejadian yang masih menghantuiku atau mungkin hantu laki-laki itu. Investigasi di lancarkan di pesawat itu. Aku terlempar keluar, namun laki-laki yang mendorongku itu tidak selamat, dia mati terbakar karena ledakan itu demi menyelamatkan ku.
                   Lamunan ku buyar ketika seseraong mengutuk pintu dari luar dan berteriak, “Sudah waktunya”. Aku merapikan perbekalanku dan menuju pintu keluar, tidak lupa aku mengucapkan selamat tinggal untuk nenek Albert yang sudah mengurusku. Aku melihat ke arah pusat kota sudah banyak orang yang berkumpul disana. Semuanya adalah para sukarelawan termasuk aku sendiri. Kami bertugas untuk mencari manusia lainnya yang terdapat di Kesmephere dan membawanya ke Amphonarya, khusunya mereka yang masih terjebak di luar sana. Terdapat 24 pesawat besar yang terjebak di hutan belantara Kesmephere, kita harus mencarinya dengan nyawa taruhannya. Siang hari, ketika matahari Och dan Tam menjadi satu tepat di atas kita. Sebelah selatan Amphonarya adalah laut atau boleh dibilang samudara. Kita akan menyebrang ke Selatan menuju 4 titik pesawat yang jatuh di benua sebrang yaitu Quirt, dua peri Meslodianga menjadi petunjuk arah bersama kami. lima puluh orang, itulah jumlah kami.
“Lalu apa yang terjadi di laut sana, Aku mendengar kapal kalian hilang?” tanya Alya. Ialu aku melanjutkan ceritaku. Seminggu pertama cuaca di laut sangat tenang matahari bersinar cerah, Fald (sejenis burung di Kesmephere)  terbang kesana kemari, kami pun bersuka cita di kapal. Namun, pada malamnya kejanggalan terjadi, bulan Host tidak muncul, malam gelap gulita, jarak pandang pun hanya sebetas 5 meter. Kami semua tidak tau apa yang terjadi. Menurut para peri itu, akan terjadi badai besar yang akan datang. Tapi itu terlalu cepat, kami tidak sempat memasang pelindung kapal dan semua terjadi begitu saja, hantaman ombak dan angin kencang memporak porandakan kapal. Aku tidak ingat apa yang terjadi disana aku berpegangan erat pada tiang kapan dan aku tidak tersadarkan diri. Semua berlalu bergitu saja. Aku pingsan kemudian tersadar, pingsan lagi, kemudian tersadar. Terakhir aku melihat kapal sudah terbagi menjadi dua dan aku pingsan lagi.
                Aku merasa tubuhku berat, haus akan air, tetapi aku terkena air, bibir ku penuh dengan pasir. Aku baru setengah sadar, dan aku tersadar aku sedang tengkurap. Aku berupaya mengembalikan kesadaranku, suara ombak yang aku dengar menandakan aku sekarnag sedang di pantai. Aku perlahan mengumpulkan kekuatan untuk bangun. Saat aku tersadar sepenuhnya, benar aku berada di pantai, tapi bukan pantai Amphonarya, pantainya bersih indah dan banyak pepohonan tidak jauh dari pantai. Aku berusaha berdiri, tubuhku sakit, aku melihat banyak benjolan merah di seluruh badan, mungkin karena terbentur saat kapal tenggelam. Untungnya bajuku masih utuh, namun ada yang aneh di sini. Aku sendiri? Aku melihat kebelakang , kanan, kiri. Tidak ada apa-apa yang terlihat hanya sebuah pantai, sunyi. “Dimana Aku ini?” Aku berusaha tenang dan mencari tanda-tanda, aku baru tersadar, pantai ini terbentang jauh, sampai-sampai aku memperkirakan tidak ada ujungnya garis pantai ini. Aku melihat Och dan Tam menyatu, namun kenapa mereka menyatunya tidak di atas kepalaku, kedua matahari itu sudah condong ke utara 30 derajat, “Tidak mungkin, aku sudah pergi sejauh itu kah ke selatan?” apakah ini benua Quirt? Aku bertanya-tanya.  Tapi tidak ada seorang pun yang menjadi sarana untuk bertanya. Aku melihat lebih jauh ke dalam daratan. Ada bukit, ya aku melihat bukit, mungkin aku bisa menemukan air disitu, aku mulai melangkahkan kakiku yang terasa berat, sangat berat, aku berjalan terhuyung huyung. Matahari tidak bersahabat, keduanya menyinariku dengan kompaknya. Aku mulai masuk ke hutan, aku melihat dedaunan yang tumbuh dan juga batang-batang yang menjulur kesana kemari. “Tidak, dimana aku ini, semuanya tidak ada dalam buku yang sudah ku pelajari” . terlintas dikepala ku sesuatu yang mengerikan.  Dimana semua para relawan? Apa tidak ada yang selamat selain aku? Tidak mungkin pasti ada, aku harus menemukannya. Aku berbicara pada diriku sendiri. Akhirnya aku sampai di puncak bukit itu, dari atas aku melihat indahnya hutan di daratan ini. Pepohonan berwarna warni, pelangi yang bergantian menyinari hutan sehingga banyak dedaunan yang berpendar dan berubah warna sangat indah. Udaranya pun segar, entah berapa lama aku berdiri disini, Aku sampai lupa untuk mencari air, kemudian aku mengelilingi bukit itu. Untungnya aku melihat mata air di sebelah timur bukit, aku bersyukur, aku akan selamat, walaupun hanya untuk minum air. Aku mengambil botol air di sakuku, dan mengisinya setelah aku meminum berliter-liter air. Kresek.. kresek..  aku mendengar sesuatu mendekat dari sebelah kanan ku, aku sigap dengan pisau kecilku. Ketika dia mendekat, aku langsung berdiri dengan menodongkan pisau didepan. Aku kaget, didepan ku bukan binatang atau tanaman yang dapat bergerak, tetapi manusia. “Ampun, aku gak salah apa-apa” dia langung menaruh tangannya di kepala. Aku menurunkan pisauku, “kamu dari Amphonarya kan?” tanyaku, walau kami para relawan hanya mempunya waktu sedikit untuk berkenalan tapi aku mengingatnya, dia di dalam kapal bersama ku. Dia mengangguk dan bertanya hal yang sama pada ku.
“Apakah kita doang yang selamat?” tanyaku memecah lamunan, setelah pertemuan itu kita duduk di bawah pohon bersama untuk makan. “Mungkin” jawabnya, “Karena kejadian itu sangatlah parah, kapal benar-benar hancur, ombak sangat besar, tsunami di bumi tidak ada apa-apanya, kita beruntung bisa selamat” sambungnya. Dia juga menceritakan saat-saat terakkhir di kapal, sangat mengenaskan. Setelah itu Dia mengagetkanku dengan barang yang dia keluarkan dari saku kanannya. “Ini, aku menemukan ini di pantai, sepertinya sebuah peta, aku tidak mengerti membacanya”. Setelah aku lihat baik-baik, iya, ternyata benar, itu peta yang di bawa oleh kedua Meslodianga. Di tulis dengan bahasa mereka  dan aku dapat membacanya. “Aku bisa membacanya” kataku, dia kaget. “oh iya, sekarang kita ada dimana? Dan kita harus kemana untuk bisa selamat” tanyanya. Aku sendiri tidak tahu pertanyaan kedua yang di lontarkan.  Pergi kemana agar selamat? Aku memperhatikan benua yang berada di bawah peta itu, benua Quirt. Terdapat tanda bukit kecil sebelah selatan dari garis pantai yang panjang.  Di kanan kiri bukit itu adalah hutan lebat. Aku menoleh ke kanan dan kiri, disekelilingnya adalah hutan, dan sekarang aku yakin kita berada disini. Di bukit yang bernama Keirto. “Jadi kita dimana?” tanyanya yang sudah tidak sabar. “Sekarang kita disini di bukit Keirto” aku menjawab. Lalu dia melihat peta baik-baik. “Oh oke, apa arti Keirto?” tanyanya, aku menganggap pertanyaan ini tidak penting sekali, tapi aku jawab saja, “Bukit cinta”. “Bukit cinta?” dia memastikan. Kami saling bertatapan, seakan ada yang salah dengan Bukit Cinta ini, hanya namanya yang romantis. “Tapi aku nggak tau harus kemana?” tanyaku memecah lamunan, Dia kembali melihat peta lekat-lekat. “ini apa?” tanyanya. Dia menunujuk ke arah selatan dari Keirto, sebuah lambang istana. Lalu aku membacanya. “disitu tertulis Tesko, Ibu kota para Meslodianga di benua Quirt”, “Bukankah kita harus kita pada saat kita briefing sebelum berangkat?” , Aku langsung teringat pada saat briefing itu dan itu benar, kita harus kesana katanya ada manusia lain didekat sana, namun tidak diterima oleh Meslodianga yang tinggal di Tesko, jadi mereka hidup tanpa bantuan. “Berapa waktu tempuh yang kita butuhkan sampai kesana” tanyanya lagi. Aku menghitung dengan skala yang di ajarkan di sekolah. Aku menghitung dengan cermat, jaraknya jauh sekali, dan kita tidak bisa berjalan cepat di hutan ini, banyak semak belukar yang harus di potong, 2 bulan kita mungkin akan sampai, ah tidak terlalu cepat itu, 20 bulan? Ya, dua puluh bulan, hitungan ku kurang angka 0 satu. Tunggu 20 bulan? Itu sama saja... “Yap, setelah ku itung-itung kita akan sampai 2 tahun lagi, hehe” jawab ku pelan. Aku tidak mau dia kaget, tapi dia benar-benar kaget, “Whatt.... dua tahun? Berjalan kaki?” dia frustasi, tidak hanya dia, aku juga. Kami berdua terdiam, tidak mungkin kita akan bertahan selama itu. Walaupun kami sudah terbiasa dengan satu hari di planet disini (satu hari planet Kesmephere merupakan 2 hari di bumi), tapi itu sama saja dengan bunuh diri.
“Tapi kita harus mencobanya” dia berkata. “Kita tidak mau mati di bukit ini juga kan, kita harus mencobanya sampai ke Tesko dan tetap menyelesaikan misi, walaupun tidak akan sempurna.” Tambahnya panjang . Aku tersenyum padanya, dan ini pertama kalinya aku tersenyum kepadanya. “Ya, kita harus mecobanya” jawabku penuh semangat. Dia pun berdiri dari senderannya dan melihat kearah selatan. Walaupun didepannya hanya ada hutan yang luas, tapi aku dapat melihat di bola matanya terdapat suatu harapan untuk mencapai Tesko. “Yuk kita berangkat” ajak ku, setelah membungkus makanan yang tadi dibawakan olehnya. “Tunggu, kita juga harus saling menjaga satu sama lain” katanya, menahan langkahku untuk maju. “Aku tahu itu kok, dan aku berjanji, apalagi menjaga laki-laki kacangan kaya kamu” aku bercanda, namun wajahnya berkerut tidak suka. “Oh iya siapa nama mu ?” tanya ku yang dari tadi tidak sempat menanyakan namanya. “Oh iya lupa, Aku Daniel” “Aku Yoo, salam kenal” kami berjabat tangan. Kami pun menuruni bukit ke arah selatan, matahari Och dan Tam di belakang kami menyinari langkah kami untuk menempuh perjalanan jauh yang mungkin tidak akan sampai.
“Waw, romantis sekali” sahut Alya ketika aku menghentikan ceritaku karena tenggorokanku seakan kering berbicara terus menurus. Aku tidak buru-buru untuk menjawab pernyataan Alya. Aku meminum secangkir kopi yang dibuatkan oleh Alya. “Ya begitulah, hihi” aku menjawab nakal. “Ngomong-ngomong kamu sudah bisa membuat kopi dengan baik, terakhir aku kesini, rasanya masih kacau” canda ku ke Alya. Alya mengerutkan keningnya seakan tidak suka, telinga panjangnya turun menandakan sedih. “aku kan berusaha terus, tapi aku bisa, tanpa bantuan kamu membuat kopinya”  wajahnya tersenyum terang, telinganyapun terangkat kembali. “Jadi beneran tuh kamu sampai di Tesko selama dua tahun?” tanya Alya lanjut kecerita. “Tidak, lebih parah dari dugaanku” aku menjawab. “Wihh tapi asik dong berduan doang sama laki-laki, dua tahun lagi, kamu jatuh cinta sama dia?” tanyanya, matanya yang bulat besar memelototiku dengan penuh harapan, seakan akan ada jawaban didalam mataku ini. Tapi, mukanya yang nan lucu dan ngegemesin itu membuatku tidak dapat menahan diri, aku mencubit pipinya hingga kemerahan, Alya pun teriak minta ampun. “Ihhh jahat kamu Yoo” kata Alya sambil membetulkan rambutnya. Aku hanya tertawa, aku sering mencubit pipinya Alya yang lucu. Menggemaskan. “Ya ada deh, dengerin dulu cerita aku ini, masih panjang tau...” jawabku, Alya lalu merapikan cara duduknya lalu duduk dengan rapi.

Year 2, Kesmephere Lunar 7, 2055 (setahun dari bukit Keirto)
“Yoo, posisi 4” teriak Daniel, “Oke Siap” jawabku lalu berlalu menju sisi kanan. Makhluk yang berbentuk rusa itu berbelok ke arah yang sama. Aku dapat melihanyat meloncati batu itu dan setelah turun terjerembab pada perangkap yang sudah dipasang. Tapi dia dapat meloloskan diri. Untungnya Daniel sudah menyiapkan aku di posisi ini, aku dengan mudah memanah rusa itu, lalu mati seketika. Daniel memang ahli strategi yang bagus, seakan dia mengetahui yang akan terjadi setelahnnya, sudah setahun aku bersamanya dalam perjalanan ini namun aku selalu mengagumi keahliannya. Karenanya kita masih bisa bertahan sampai sekarang, masih bisa melanjutkan perjalanan. Setahun sejak turunnya kami dari bukit Kerito, kami sudah hampir mati berkali-kali. Daniel selalu menolongku , seperti yang terjadi dua bulan yang lalu, saat bulan Juan. Juan adalah bulan dimana seluruh Kesmephere terjadi bencana alam, bencana global, hujan terus menerus, panas matahari menusuk, ombak besar, sungai meluap dan lainnya. Daniel menolongku ketika aku jatuh dari rumah pohon yang kami buat, sedangkan dibawahku sudah ada aliran air yang siap menenggelamkanku. “Hoiii, bantuin angkat makhluk aneh ini, malah bengong kamu disitu” teriak Daniel, dan aku baru terbangun dari lamunan aku. “Siapp” aku berlari menuju Daniel yang menungguku. Kami berdua membawanya ke api unggun untuk makan malam ini dan besok pagi. Seperti biasa, tidak perlu disuruh, aku menguliti binatang itu dan Daniel mempersiapkan tempat untuk memasak, lalu mengatur api. Tam dan Och sudah benar-benar tenggelam. Bulan Host menyinari kami, dari benua Quirt ini bulan Host yang besarnya hampir sama dengan Kesmephere menunjukan sisi lainnya. Lebih terang dan lebih Indah. Sebelum tidur aku selalu menatap bulan itu dengan sepenuh hati dan terkadang aku menangis merindukan nenek Albert. Dia mungkin kesepian disana. Terkadang aku menangis kencang karena sudah tidak tahan dengan penderitaan ini, namun Daniel selalu memberi semangat, dia selalu menemani aku. “Oh iya Dan, kamu inget hari ini hari apa?” tanyaku ketika menyantap daging, dia bengong seakan ada yang dia lupakan. “Hari apa? Maksdnya? Sekarang Lunar 7kan? Lalu?” tanyanya, lalu menyantap kembali daging itu. “Kamu lupa, ini hari dimana kita meninggalkan bukit Keirto” jawabku. Dia tercengang, seakan ada yang menusuk di lehernya. “Ah iyaaa.... kita udah setahun berarti berjalan menuju Testo, berarti tinggal setengah perjalanan lagi” Daniel tiba-tiba senang entah mengapa padahal kesehariaanya dia selalu berfikir tentang perjalan ini. “Ya itu jika hitungan kamu benar, dan gak salah arah” tambah Daniel.  Tiba-tiba mood ku berubah, aku bete, tidak nafsu makan, menyerangku dan aku melihat Daniel dengan muka marah. “Ya aku minta maaf” katanya setelah melihat mood aku yang jelek. Dia memang selalu ketakuakn bila aku marah, gue pernah memukulnya ketika badmood, dan sejak saat itu dia selalu ketakutan kalau aku sudah badmood. Aku pun kembali tertawa melihat mukanya yang aneh sedang ketakutan, dia hanya tersenyum kecil.
Berbeda dengan perjalanan kami yang pertama. Kali ini kita tidak bergerak lurus ke  selatan, namun agak kebarat. Jika kami bergerak lurus ke arah selatan, kita akan sampai di tengah-tengah Testo. Testo di kelilingi jurang besar. Pintu masuk hanya ada di sebelah barat, sebuah jembatan besar yang membentang. “Apa kita benar dengan sudut elevasi ini?” tanyaku agak ragu. “Ya” Jawab Daniel. Aku percaya kepadanya. Sedikit lagi, satu tahun lagi, aku dan Daniel sampai ditujuan. Aku semakin optimis, ditahun pertama aku tidak mati, dan semakin lama aku juga semakin pintar berburu. Jadi aku bisa bertahan hidup.
“Jadi kamu sekarang sudah bisa berburu?” tanya Alya, memutus ceritaku. Aku mengangguk, namun Alya seakan tidak berpercaya apa yang aku katakan barusan. “Aku bisa memburumu nanti malam, kalau kamu tidak percaya, dan menghabisi mu sampai mati” aku mengacam, tentu dengan nada bercandaa. Alya tertawa, “Mana bisa kamu memburu ku, kamu tahu kekuatan Meslodianga kan?” remeh Alya. Kekuatan Meslodiaga memang menakjubkan. Aku melihat Alya menghilangkan dirinya, hingga tidak terlihat. Lari mereka pun sangat cepat dua kali melebihi manusia.  “aku sudah berlatih sepuluh tahun ini Alya..” “Menghadapi semua binatang buas yang mempunyai kemampuan seperti kalian” aku tersenyum senang. “Ih awas kamu lihat saja nanti” Jawab Alya, kami tertawa.

Year 3, Derco 1 2056 (Hari terakhir)
                “Ini tempat apa?” tanya Daniel, “Tidak tahu disini hanya tertulis “Ka” yang berarti reruntuhan” jawabku. Daniel tidak menjawab kembali. Dia hanya berjalan untuk mencari jalan keluar. Dari pertama aku masuk ke wilayah ini, aku merasakan sesuatu yang janggal, ini memang reruntuhan, tapi bukan reruntuhan biasa, ada banyak ukiran-ukiran yang tidak masih jelas tertanam di dinding-dinding batu seakan baru di tulis kemarin.  Di tengah reruntuhan kami menemukan bagian besar, bangunan yang sangat besar masih utuh, mungkin tinggal runtuhnya saja. “Aku ke atas dulu, aku harus mencari tahu cara tercepat keluar dari sini” Daniel mengatakan sesuatu yang membuat aku cemas kepadanya. “jangan, jangan sendiri, biar aku juga naik bersama mu” aku teriak, seakan aku akan ditinggal selamanya oleh Daniel. Daniel terkejut dengan ucapanku itu. “Kamu kenapa?” tanyanya. Tiba-tiba aku baru tersadar akan perbuatanku. Seharusnya aku tidak apa-apa, hanya di tinggal seperti itu, padahal waktu kami dihutan, aku pernah di tinggal seharian olehnya dan aku biasa aja. Mukaku merah padam. Jika ada kaca aku akan melihat mukaku seperti tomat. “Ya sudah ayo kita keatas bareng” ajak Daniel. Aku kembali menyesal apa yang aku lakukan tadi, aku bukan perempuan yang mandiri lagi, tetapi menjadi manja dan menyusahkan Daniel. Lorongnya sangat gelap, berdebu, banyak ukiran-ukiran aneh di sepanjang lorongnya, tidak hanya itu ada juga lukisan manusia. Bukan, bukan manusia itu adalah Meslodianga. Tapi kenapa aneh sekali mukanya seakan lebih tua dari biasanya. Strukturnya mukanya juga berbeda, Apakah itu nenek moyang Alya? Tidak lama kami berada di tengah ruangan yang luas. Aku bisa yakin ini adalah ruangan pusat. Ruangan yang besar, seperti ruang raja. Terdapat tangga memutar keatas di ujung ruangan. “Disana, ada tangga” teriakku. Aku dan Daniel langsung lari menuju ke tangga itu. Saat akan melangkah, Daniel menghentikan ku, dia memeriksa tangga beton itu. “Oke masih bagus, tapi kita harus tetap berhati-hati” katanya. Lagi-lagi aku menjadi merasa bersalah, padahal aku sudah di beritahu berkali-kali olehnya agar tidak ceroboh. Jalan terus berputar-putar ke atas. Sesampainya dia atas, aku dapat melihat pemandangan yang indah. Seluruh kota dan hutan yang baru saja aku lewati terlihat dari sini, udaranya juga sangat segar. Aku mencoba menutup mata dan menghirup udara dalam-dalam, menenangkan pikiran. Sangat menyenangkan.
“Hai, Yoo” Daniel berkata, kata-lata Daniel mengagetkanku. Aku membuka mata dan melihat Daniel, menantap sesuatu yang aneh di sebelah selatan “Ada apa?” tanyaku yang sekarang berada disebelahnya. Di menunjuk ke suatau arah di sebelah selatan. Aku menelusuri arah tangannya, dan aku terkaget-kaget, jantungku mau copot, tidak, berhenti, atau mungkin.. sudahlah aku tidak tahu harus berkata apa-apa lagi. Itu adalah Tesko, ya Tesko, kota emas di tengah tengah benuah Quirt, kediaman para Meslodianga. Kotanya terlihat dekat dari sini. Mungkin beberapa hari lagi kita akan sampai. Aku melihat tatapan Daniel yang penuh keyakinan akan menemukan manusia lain disana. Aku tersenyum, dan entah berapa lama aku menatap Tesko dari atas bangunan itu.
                “Reruntuhan itu bernama Jorfas” sela Alya. Aku menatapnya bingung. Lalu dia mulai bercerita. Dan tebakan ku benar. Meslodianga yang berada di Jorfas bukanlah nenek moyang Meslodianga sekarang. Mereka adalah musuh Meslodianga. Tadinya kedua suku tersebut hidup bedampingan dan bahkan membaur, namun seiring berjalannya waktu kedua suku ini ingin memperebutkan wilayah satu sama lain. Perang pun tak terhindarkan. Dewi fortuna memihak Meslodianga yang sekarang dan yang laiinnya punah dalam perang. Jorfas adalah pertahanan terakhir mereka yang kalah dan akhirnya keturunan terakhir mereka punah disitu. Sungguh malang nasib mereka. “Apa mereka tidak ada yang melarikan diri” tanyaku pada Alya. Alya hanya menggeleng. Meslodianga yang kalah, bunuh diri secara masal karena tidak mau bergabung dengan Meslodianga yang menang. Bagi mereka kalah adalah sesuatu yang memalukan. Mereka lebih baik bunuh diri dari pada menanggung malu, bahkan oleh saudara mereka sendiri. “Reruntuhan Jorfas masih adakah sekarang? Apa sudah dihancurkan? Aku dengar 7 tahun lalu ada pengeboman masal untuk menutup situs itu” tanya balik Alya, namun kini aku yang terdiam seakan tidak bisa bergerak. “Ya! sudah tidak ada, aku yakin” jawabku
                Aku dan Daniel agak lama menetap di Jorfas, menurut kami itu adalah tempat paling aman untuk menghadapi bulan Juan. Selama bulan Juan kami terus menerus berada di dalam gedung tinggi itu dan memakan bekal yang sudah di siapkan. “Padahal tinggal dikit lagi” tanyaku memecah lamunan. Kita sudah terlambat dari perkiraan yang akan sampai dalam waktu 2 tahun. Kita sudah mendekati tahun ke empat dari bukit dimana aku dan Daniel bertemu. Gila sekali. Aku sudah muak dengan perjalanan ini. “Sabarlah lah tinggal 4 hari lagi bulan ini selesai dan kita bisa langsung menuju Tesko” jawab Daniel, dia berusaha menyemangatiku. “Aku kedinginan” kata-kata itu keluar dari mulutku tanpa di pikirkan terlebih dahulu. Padahal dingin seperti ini sudah biasa bagiku, tapi kali ini terasa berbeda. “Yaudah sini” Daniel menyuruhku mendekatinya, lalu aku duduk disebelah Daniel. Daniel memelukku dengan tangan nya, terasa hangat. Baru pertama kalinya aku merasakan kehangatan seperti ini, aku berfikiran Daniel juga merasakan hal yang sama denganku. Tak tersadar aku terlelap di pelukannya.
Keesokan paginya aku terbangun dengan selimut yang menutupi tubuhku. Daniel sudah tidak ada. Diluar hujan deras-sangat deras. Apa dia keluar?tidak mungkin. Aku melihat ke lantai bawah. Air sudah menggenang hingga lantai dua. Ini merupakan banjir terhebat dari bulan Juan tahun ini. “Yoo bangun... “ tiba-tiba suara teriakan Daniel terdengar dari atas. “Yoo cepat kita harus membereskan semuanya lalu kita harus keatas” perintah Daniel yang sudah siap siap membereskan semuanya. “Ada apa?” tannyaku terheran-teharan. “Sudah nanti dulu, kita harus keatas” matanya seakan ada sesuatu yang akan ditunjukan diatas. Aku pun bergegas membantu Daniel. Lalu kita bergegas keatas. Bunyi gerumuh hujan dan petir dimana-mana mendampingi langkah aku dan Daniel menuju ke puncak bangunan. Diatas aku sama sekali tidak dapat mellihat dengan jelas. Cuaca sangat parah buruknya. “Yoo lihat itu!!” suruh Daniel. Aku mencoba membuka mata. Lalu aku dapat melihat sinar-sinar kecil dari arah Tesko, Sinar-sinar itu mendekat, aku masih tetap berada di belakang dinding dan memeluk dinding itu. Anginnya sangat kecang, aku takut terjatuh dari ketinggian. Cahaya itu semakin lama semakin jelas. Itu pesawat milik Meslodianga. Sedetik kemudian aku merasa bangga, akan ada yang menjemput kami. Tapi, apakah mereka dapat melihat aku dan Daniel? Itu pesawat besar, sangat besar. Tiba tiba bumi berguncang. Aku dan Daniel kebingungan setengah mati. Kesmephere terbuat dari lempengan yang stabil, tidak seperti bumi. Aku melihat kekanan, reruntuhan seakan menyala terang. Sedetik kemudian aku baru tersadar, yang menyala itu adalah ukiran-ukiran aneh di reruntuhan ini. Dan dari buku yang kupelajari dari Alya itu adalah sejenis bom dari Meslodianga. Jantungku berhenti berdetak, apa mereka akan menghancurkan reruntuhan ini? Tidak mungkin. “Daniel reruntuhan ini adalah bom” teriak ku pada Daniel. Daniel baru kaget mendengarnya, bunyi keras terdengar dimana-mana.
“Apakah benar itu terjadi?” Alya merasa kasihan dan khawatir. “Iya” Aku menunduk, ingatan tujuh tahun lalu kemballi kedalam otakku. Semua seakan terulang lagi, semuanya. “Yoo, Yoo, kamu tidak apa-apa?” Alya mengguncang badanku, aku kembali tersadar. Aku bengong? Selama itu kah, sampai harus dibangunkan oleh Alya. “Tidak, tenang aja, hanya teringat masa lalu” jawabku tenang, aku melihat kekhawatiran dari wajah Alya. “Eh, makan yuk itu udah di siapin makanan di Meja, udah malem juga, dari tadi kamu cerita terus gak berhenti-henti” ajak Alya untuk turun kebawah. Sepertinya, Ibunya sudah pulang dan membawa makanan, aku mendengar Alya teriak pada ibunya, untuk dibelikan makanan manusia. “Ayo buruan, bentar lagi Ibuku dateng lagi, kita harus udah dibawah” ajak Alya kembali. “Oke, kamu duluan aja, aku nyusul nanti” jawabku. Alya hanya tersenyum lalu meninggalkan aku sendirian di kamarnya. Tidak terasa bulan Host sudah bersinar terang dilangit Kesmephere. Aku kembali teringat, Saat ledakan terjadi, daratan yang ada di bawah aku longsor, aku hampir terjatuh, namun Daniel menolongku, dia menarik ku ke pelukannya. Aku aman, untuk sementara. Sekarang ledakan berada di bawah kaki bangunan itu. Aku merasa pijakan ku semakin lama semakin kebawah, Aku serasa melayang, bangunan tinggi itu roboh, aku tidak tahu harus berbuat apa, Daniel memelukku erat. Sedetik kemudian pijakan Daniel longsor, aku memgang Daniel tepat di pergelangan tangannya. Tanganku yang satu lagi memgang dinding yang sudah rapuh. Di belakang Daniel aku melihat sesuatu yang mengerikan. Banjir setinggi dua lantai itu sudah meluluh lantahkan semuanya, membawa semua sisa bangunan yang ada. “Yoo, sudah lepaskan aku, tangan kirimu berdarah, kamu juga bisa terjatuh” suara Daniel tersamar oleh hujan deras yang turun. “Tidak, kita pasti selamat” jawabku pasrah. Aku sudah tidak dapat merasakan tangankiriku, yang pasti sakit sekali. “Kau bisa selam-“ “Tidak, kita berdua pasti bisa melewati ini, aku tidak mau kehilanganmu, kamu sudah membawaku sejauh ini, aku tidak akan meninggalkanmu, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa, aku  menyayangimu” air mata ku keluar, namun aku tidak dapat membedakan nya dengan air hujan, tenagaku sudah habis. Aku melihat Daniel untuk terakhirkalnya dimalam itu. Dia tersenyum kepadaku, lalu melepaskan genggaman dengan sengaja. Tubuhku terasa lemas, aku bersandar pada tiang yang kini sudah miring lebih dari 45 derajat. Aku tersender dengan lemas, “Daniel, aku menyukaimu”. Tak lama bangunan ku hancur, tak ada lagi tempat untuk bersandar, atau bahkan untuk memegang sesuatu. Lalu aku tercebur kedalam air. Entah mengapa aku terseyum seketika sesaat sebelum banjir menelanku. Aku melihat bulan Host yang sudah tidak tertutup awan menyinariku dengan hangat dan penuh kenangan indah, sama seperti ketika Aku dan Daniel berperlukan bersama sebelum tidur, dan sama seperti aku yang lagi menatapnya dari jendela kamar Alya.

To be Continue......
               

Selasa, 30 Juli 2013

(C) For Fara


Aku keluar dari pertikaian itu, baru dan pertama kalinya. Keanapa dia harus marah pada ku padahal kami teman sekaligus menyandang status mantan, aku keluar sekaligus menarik Fara dari cengkramannya. Tidak hanya aku yang menarik Fara, Andrew pun ikut menarik Linda dari jambakan Fara. Seharusnya aku tadi yang bermasalah dengan Linda namun Fara membelaku. Emosinya pun memuncak lalu menampar Linda dengan keras. Sebelumnya aku yang hanya diam saja, mendengar makian dari Linda yang sangat sadis itu. Dan berakhir dengan eksekusi dari Fara. Fara tidak tega melihatku di hina, mungkin karena aku pacarnya. Aku membawa Fara menuju teras belakang, lalu menenangkannya. “Kamu kenapa sih beb?” tanyaku. Dia melihatku dengan tajam, seakan aku sudah tau jawaban yang aku tanyakan kepadanya. Pertama kalinya selama 2 tahun kami pacaran dia semarah ini. “Gitu aja nanya” Jawab Fara judes. Aku hanya terdiam, melihatnya yang masih cemberut. “Ya.. aku gak mau aja kamu dikatain kaya begitu, jelas-jelas kamu yang lagi ngobrol dengan Andrew, kenapa dia yang nyamber?” tambahnya. Aku bingung menjelaskannya. Andrew adalah sahabat gue dari SMA, dia yang selalu memberi modal pada bisnis ku, bisnis yang boleh dibilang iseng-iseng berhadiah. Aku berbisnis merchendise Idol Group Jepang dan Korea, aku mengimportnya dari sana dan menjualnya disini. Masalah terjadi ketika Andrew jadian dengan Lidia. Masalah bukan datang dari Andrew namun Lidialah. Lidia adalah mantan ku sebelum aku berpacaran dengan Fara, kami putus karena Lidia orang yang matre, aku tidak sanggup dengan permintaanya, meminta ini – itu dengan harga yang tidak murah. Kami putus dengan dendam yang tidak terukur. Lidia ingin membalaskan dendamnya dengan meminta Andrew menyuntikan modalnya kepadaku.
                “Tapi aku tidak tahu harus gimana lagi” jawabku. “Yaudah biarin, kamu kan bisa cari orang lain yang bisa modalin kamu” jawab Fara mukanya masih marah, aku hanya berdiri frustasi menatap langit, aku mencari jawaban dari kefrustasian ku ini. Sebelum masalah terjadi, aku sudah mencari-cari orang yang dapat memodaliku namun, sampe sekarang aku belum menemukannya. Sebenarnya suntikan dana yang dihentikan tidak membuatku goyah, namun bagaimana dengan Fara dia pasti akan tidak suka dengan gaya hidup setelah ini. Dia sudah biasa hidup enak dengan orang tuanya dan akan berhemat-hematan denganku. Butuh waktu berbulan-bulan untuk kembali hidup seperti sekarang. Aku tidak mau keuanganku dicampuri dengan keuangan orang tau ku. Aku mau memberi uang pada orang tuaku namun, aku tidak suka meminta uang pada orang tuaku, itulah prinsipku dalam hidup. Aku masih menatap jauh kebintang-bintang malam dari teras villa dikawasan puncak. “Tio” panggil Andrew dari belakang. Aku tahu dari tatapannya sepertinya Ia ingin membicarakan sesuatu yang penting kepada ku. Aku menatap Fara sebentar lalu mengikuti Andrew. Aku dibawa ke garasi mobil. Aku melihat Lidia sudah berada di dalam mobil Lamborghini kepunyaan Andrew. Wajahnya melihatku dengan sangat jijik tak karuan. “Jadi..  maaf gue nggak bisa modalin lu lagi, Lidia melarangnya” kata Andrew. Jawaban itu seakan mengutuk gue untuk masa depan ku dengan Fara. “Apa tidak bisa diam-diam saja?” kataku memelas. “Tidak bisa Lidia memegang semua rekening ku sekarang, maaf” jawab Andrew menyerah. Belum aku menjawab, kelakson mobil lamborghini itu sudah meraung-raung keras, aku tahu Lidia sudah tidak sabar ingin pergi dari pesta ini karena melihat aku.
                Andrew langsung meninggalkan gue sendiri di garansi dan melajukan mobilnya di tengah malam menuju Jakarta. Aku hanya terdiam benar-benar diam, aku tidak mengerti apa yang aku harus lakukan sekarang. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Fara yang ternyata mengupping dibelakang pintu garasi. Aku tidak berkata dengan sedikit pun hanya tatapan kosong yang aku tunjukan untuk Fara. Fara pun mengerti apa yang terjadi tadi aku dengan Andrew. Fara pun datang memelukku, terasa hangat dan tentram. “sudah beb gpp, aku mau kok susah-susah sedikit, asal aku bisa bersama kamu” bisik Fara. Aku diam, aku bersyukur, “Terima Kasih sayang”­ 

Selasa, 23 Juli 2013

(C) Rindu


Seperti bisa, aku menunggunya disini bersama dengan orang-orang lain, mereka tampak bahagia karena seberntar lagi mereka akan berjumpa dengan seseorang yang mereka sayangi. Aku melihat di dinding samping kanan yang bejarak 20 meter dari tempat aku berdiri, ada sepasang anak bersama ayah mereka, mungkin mereka menunggu Ibu mereka yang sudah lama jauh dari mereka. Anak-anak itu meloncat-loncat tak sabar menunggu ibu mereka kembali ke hadapan mereka. Aku pun mengalihkan pandangan kearah kiri tepat disebelah kiri ku sepasang orang tua yang sudah menunggu anak mereka pulang. Mungkin anak itu melanjutkan sekolahnya disana dan orang tuanya menunggu kembali ketanah air tercinta. Banyak suasana menyentuh disini, begitu juga denganku yang sudah lama ingin bertemu kekasih ku. Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Mungkin jika di tambahkan, 4 tahun lamanya sudah aku dan dia berpisah. Sekitar 4 tahun lalu tepatnya di bulan Agustus, aku harus berpamitan karena aku harus mengejar cita-citaku ke Jepang, aku mendapatkan beasiswa disana untuk mengambil S2 selama 2 tahun, aku tidak di izinkan untuk pulang dari kampus ku di Jepang karena biaya untuk kembali bukanlah biaya yang murah. Setelah aku selesai dengan 2 tahunku, ketika aku kembali ke Jakarta, sehari sebelum tiba, giliran kekasihku untuk mengejar cita-citanya ke negeri yang terkenal dengan tembok raksasanya itu dengan waktu yang sama dengan ku, jadi aku harus menunggu, lagi-lagi harus menunggu dengan kurun waktu yang tidak sebentar. Janji sehidup semati kami, 4 tahun bukanlah hal yang mudah untuk bepacaran Long Distance Relationship atau bahasa gaulnya LDR. Sungguh sesuatu yang bukan main-main lagi.
                Ting Tong... bunyi pengeras suara itu membuat aku terbangun dalam lamunan. Pengumuman itu memberitahukan pesawat yang di tumpaingi kekasih ku itu harus delay selama satu jam, lagi perjumpaan kita harus terundur, aku pun sudah sangat lelah berdiri selama berjam-jam jadi aku memutuskan untuk mencari restauran yang nyaman sambil manunggu. “ada ada saja ini yang mengganggu ku” gumam ku dalam hati sambil aku duduk dengan tenang di sofa lebut. Aku jadi teringat dosa ku yang hampir terlupa, godaan besar menghampiri ketika berada ditahun ketiga aku tidak berjumpa dengan kekasihku. Waktu aku berjalan di mall daerah Pondok Indah, aku bertemu dengan mantanku bernama Ratih. Awalnya aku dan Ratih hanya bertemu dan makan bersama, lagi pula dia hanya sedang berjalan-jalan sendiri. “Memang kenapa tidak jadi menikah?” tanyaku penasaran sesudah dia memberitahukan pembatalan pernikahannya kepadaku. “Karena aku masih memikirkannya” jawabnya pendek. Dia tidak memberitahuku dengan jelas penyebanya. Lalu tak lama dia memintaku untuk mengatarkannya pulang, menuju ke apartemennya. Karena aku sendiri tidak ada kerjaan saat itu, aku pun setuju untuk mengatarnya pulang. Singkat cerita ketika aku sampai didepan pintu apartemennya. Dia mengajakku untuk masuk, aku pun sudah tahu maksudnya. Tapi aku tidak bisa menahan nafsu ku yang terpendam dalam 3 tahun belakangin ini. Dia mulai mendorong ku menuju ke tempat tidur, lalu melumat bibirku dengan bibirnya. Awalnya aku sempat terhipnotis dengan nafsunya, aku pasrah karena aku benar-benar sudah tidak tahan. Sebelum aku melepas bajunya, entah mengapa aku teringat dengan pesan kekasihku, Nadia. Aku pun melempar Ratih kesamping. Aku duduk termenung, memikirkan apa yang telah aku lakukan? Aku mengkhianati Nadia!. “Maaf aku tidak bisa, hati ku hanya untuk Nadia” aku kembali memakai bajuku yang sudah terbuka lalu keluar dari apartemen.
                Kring.... Hp aku berbunyi, lamunanku kembali buyar, ternyata Nadia sudah keluar dari pesawat. Aku buru-buru meninggalkan restoran. Aku berdiri di tempat pintu keluar dan tidak lama aku melihatnya keluar. Aku melihatnya... lebih cantik dari yang kuduga, apakah ini pengaruh dari sudah lama aku tidak melihatnya. Rindu yang sudah tidak tertahankan. Dia mencari ku, namun aku sudah menatapnya lekat-lakat, lalu dia melihat kearahku. Benar-benar sesuatu yang sangat indah, kami pun berpelukan seakan tidak mengenal malu dilihatin orang hanya untuk melepas rindu semata. “Kamu tambah cantilk” pujiku, “kamu makin keren aja”, balasnya aku mengambil barang bawaannya yang banyak sekali, mungkin oleh-oleh. Kami pun berjalan menuju ke pintu keluar. “Jadi apa kamu tetap menepati janji kita?” tanyanya memecah lamunan. Aku terkejut setengah mati. Dia menatapku dari pekukanku ke bahu kirinya dan tetap mendorong troley. “Tetap setia denganku?” tambahnya. “Iyap pasti dong” jawabku . Lalu Nadia mencubitku. “Ah jangan bohong. Jujur deh” . Aku terdiam seakan dia sudah membaca pikiranku dan sedang melihat aku dengan Ratih berduaan di kamar. Aku tersenyum. “Tuh kan... udah lah kamu kan emang kaya begitu orangnya. Nanti cerita aja. Aku gak marah kok, aku yakin cobaan pasti ada dan kamu bisa mengatasinya” dia memelukku erat. Aku merasa ciut, sekarang Nadia sudah lebih dewasa dari pada aku. Aku harus menceritakan cerita ku dengan ratih dan tidak akan mengulangi kejadian itu lagi.

Jumat, 28 Juni 2013

(C) Reuni Angkatan


Sekarang gue melihatnya lagi, dia berbeda dari yang dulu, sangat berberda. “Haii” gue menyapanya. Dia sedang meminum segelas minumannya dan hampir tersedak ketika gue memanggilnya. Dia tidak langsung menyapa, pertama dia mengerutkan alisnya seakan berfikir keras makhluk apa gue ini, kemudian dia barumenyadari keberadaan gue. “Elu Fitri yah??” katanya ragu. Akhirnya....  dia mengenal gue juga. “iya... udah lama kita tidak ketemu” kata gue tapi suara gue sedikit berubah tidak tahu kenapa, seakan gue baru mengenal laki-laki didepan gue ini. “Bagaimana kabarnya?” tanyanya. “Baik kok” jawab gue dengan cepat, perasaan gue seperti bercampur aduk, tidak tahu kenapa. “Yuk ngobrol dulu sebentar” ajaknya. Penyanyi sedang menyanyikan sebuah lagu diatas panggung, suasana pesta juga meriah mungkin dia sedang ingin mengobrol tanpa harus berteriak. Aku mengikutinya, gue tidak lepas-lepas menatap jas hitam yang dikenakannya, terlihat cocok sekali di malam yang pernuh nostalgia. Sesampainya di balkon gedung 6 itu dia bersender di pager pembatas, lalu menatap gue, iya menatap gue. “Elu cocok pake gaun itu” sanjungnya. Gue pun tersipu malu, kemudian kami bercakap-cakap kejadian selama 5 bulan setelah kelulusan kami. Setelah beberapa lama gue ingin menyinggung tentang masa kuliah kami. mungkin dia tidak ingin mengingatnya. Itu masa tersuram yang pernah dialaminya, yang disebabkan oleh teman sejurusannya, oleh gue sendiri.
Jika diingat-ingat, atau mungkin sebaiknya tidak perlu diingat, gue menyakiti hatinya waktu itu. Sejak awal gue masuk kuliah gue berteman dekat dengannya, dia selalu menemani gue ketika gue sedang sendiri entah ke kantin atau ke perpustakaan untuk meminjam buku. Gue pun juga sama, gue selalu mengajarinya belajar, dia sangat susah untuk mengerti mata kuliah di jurusan kami. Gue membantunya belajar sehingga kami bisa lulus tepat 4 tahun dan wisuda bebarengan. Namun kejadian itu berawal ketika kami baru saja lulus skripsi kami, dia menembakku untuk menjadi pacarnya. Awalnya gue ragu untuk menerimanya, karena kami sudah sangat nyaman hanya sebatas teman. Akhinya gue menerima dia. Namun, umur pacaran kami hanya sebatas satu bulan. Gue juga tidak menyangka kenapa gue bisa menjadi perempuan yang sangat cemburuan padahal dia melguekan hal tersebut hanya sebatas fans. Kami bertengkar hebat karena dia lebih menyukai idol group kesukaannya dari pada gue. Setiap minggu, gue harus mennunggunya sampai selesai konser idol itu, harus rela melihat display picturenya yang berfoto perempuan cantik nan mulus itu dan menerima foto kami berdua yang kalah banyak dengan foto idol itu. Yap, gue saat itu sangat cemburu berat hingga semua logika hilang. Dia mencoba untuk menjelaskan secara detail ke gue, tapi tetap saja dimana nafsu yang berjalan di situlah penyelan terjadi. Gue pun lost contact sampai saat ini kami bertemu, bahkan saat wisuda gue muak melihat mukanya dan berusah menghindar bila dia ingin bertemu dengan gue.
"Dorr" kagetnya. Lamunan gue tentang masa lalu buyar seketika dan memaksa gue untuk kembali ke kenyataan. "Ah nggak kok gpp" kata gue yang terlontar dengan cepat. "Dih gpp gimana?" Tanya dia aneh. Sebenarnya bukan dia yang aneh tapi guenya aja yang salting didepannya. Apa gue ungkapkan saja perasaan gue sekarang? Pikiran itu terlintas didalam otak gue. Ah tidak, mana mungkin dia menerima ku lagi. Tapi pikiran itu terus mendesak di otak gue, tidak hanya itu hati lah yang paling mengerikan, dia terus mendorong gue untuk mengucapkannya. “Jadi...” sahut gue yang ingin menanyakan hal tersebut.  “Iya?” dia menatap gue lekat-lekat, matanya seakan membaca pikiran gue, membaca jauh kedalam hati gue. “Gimana perasaan elu ke gue sekarang?” bodoh, itu pertanyaan yang sangat aneh, dia hanya mengerutkan keningnya sebentar lalu menantap jauh ke arah bintang-bintang yang bertebaran di langit. “Sebenarnya.....” ucapnya. Gue menunggu jawaban itu, Tiba-tiba dari dalam terdengar sebuah lagu berjudul Heavy Rotation, kami diam sejenak, lalu tertawa geli seakan masa lalu itu masih tetap melekat dii otak kami, “Jadi sebenarnya...” ucapnya, dan gue menunggunya lagi, namun seseorang memanggilnya  dari arah belakang.  Panggilan untuknya itu bukan namannya? Tapi sebuah panggilan sayang. Dina mendekat, gue masih tidak percaya kalau yang memanggil itu adalah teman dekat gue juga saat kuliah. “lagi apa kalian berdua disini” tanya Dina. Dina langsung menghampiri dia dan menggandeng tangannya. Sejak kapan? Mereka jadian. Suasana menjadi aneh antara gue, Dina dan dia. Untungnya ada seseorang yang memanggil kami untuk masuk kedalam karena acara akan dimulai. Gue berjalan dibelakang melihat mereka berdua bermesrahan. Sejujurnya gue tidak keberatan jika mereka berpacaran atau langsung menikah sekalipun, namun kenapa hati ini selalu berkata sebaliknhya?

Selasa, 11 Juni 2013

(C) Gossip Gebetanku


Jadi begitu ceritanya. Vina mengiyakan sesuatu yang seharusnya iya tidak suka. Iya terpaksa untuk tidak mengungkapkan di depan taman-temannya. Teman-temannya pun tidak memerhatikan terlalu jelas. Namun hanya Fani yang mengetahuinya. Fani terus memandang muka Vina seakan ada sesuatu didalam matanya. Vina pun akhirnya menatap Fani. “Kamu tidak apa-apa Vin?” tanya Fani khawatir. Sudah jelas ada yang salah dengannya. “Nggak kok, aku gpp” Vani menjawab dengan senyum yang pastinya ada sesuatu yang disembunyikan. “Udah tidak usah dipikirin, Dia gak kaya yang mereka omongin tadi kok, mungkin” jelas Fani. Vina tersentak kaget, sampai-sampai dia berhenti untuk melangkahkan kakinya. Seorang SPG hampir saja menabraknya dari belakang. “Udah aku tau kok, yuk kita ke toko sepatu itu” tambah Fani. Vina yang masih tersentak kaget langsung di geret Fani ke toko yang berada di seberang hall mall. “Gimana kamu bisa tahu fan?” tanya Vina, sambil memilih sepatu di rak paling atas. “Ketauan kok Vin dari muka kamu, kamu suka kan sama dia?” ucapan Fani langsung memukul mundur Vina. Vina hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak sepatu itu. Tidak lama dia menurunkan kepalanya seperti ada sesuatu dibawah. “Yuk kita omongin aja di foodcourt”
                “Jadi sejak kapan?, kok bisa?” tanya Fani. “Iya, aku sendiri juga gak tau kenapa? Dia itu baik banget, perhatian sama gue..” “Gak kamu doang Vina, semua orang, kata temen-temen dijurusannya dia itu playboy terus sering nidurin cewe gitu” selak Fani. “Iya Fan, tapi kan belum ada yang pernah lihat dia kaya begitu, gosip doang” Vina membela. “Ya aku sih gak maksa, banyak cewe yang jaga jarak sama dia takut jadi korban” tambah Fani. Vina hanya diam dan tidak berkata apa-apa, sibuk melihat sekitar dan orang-orang yang berlalulalang. Kedekatannya dengan cowo itu sangat membuatnya tidak nyaman, banyak yang berperasangka buruk tentang dirinya. Cowo itu banyak teman cewe tapi dia sendiri, mungkin ini yang dirasakan Vani terhadap cowo itu. “Emang udah seberapa dekat?” tanya Fani. “Yah sudah tahap modus-modusin gitu, aku juga udah kasih sinyal lampu hijau kok ke dia” beber Vina. “Buset, sejak kapan tuh, kok gue gak tau” ”yah udah lama lah pokoknya”. Tiba-tiba, mungkin dunia ini sangat lah kecil. Mereka melihat cowo itu, cowo yang mereka omongin dari tadi. Rendi. Mereka berdua sibuk berdebat, disapa, dicuekin, pura-pura gak liat, kabur? “Aduh gimana nih?” mereka berdua bertanya bebarengan.
                “Hai” Disapalah jalan yang mereka pilih. Vina terlihat salting dan Fani justru sebaliknya takut dan males. “Gue lagi sendiri aja, nyariin kamu juga sih hehe” kata Rendy. Muka napsunya sudah terlihat jelas dimukanya, itu yang di pikirkan Fani saat itu juga. “Oh kalo gitu aku tinggal yah kalian berdua” ujar Fani, namun sebelum pergi, Fani berbisik kepada Vina. Hati-hati yah. Fani pun pergi entah kemana. “Jadi? Kok kamu tahu aku ada disini?” tanya Vina. Vina mulai terngiang dengan omongan teman-temannya tentang Rendy. “Yah tau aja, yuk duduk dulu” ajak Rendy. Rendy jalan terlebih dahulu, lalu Vina berjalan dibelakang. Bisa ditebak perasaan Vina sangatlah campur aduk, antara salting dan takut. Mereka duduk tidak jauh dari tempat Vina dan Fani duduk. “Kamu bingung yah?”  Vina kaget, Rendy seakan bisa membaca pikirannya. “Iya gue tahu kok, semua yang mereka omongin itu bener” ujar Rendy. “Maksudnya apa Ren?” Vina pura-pura tidak tahu. “Gue sering mainin hati cewe dan lain sebagainya, kamu pasti tau kan?” Vina terdiam, dia heran dengan Rendy, Mengapa cowo bisa mengungkapkan kelemahannya di depan cewe yang dia  suka dan baru sekedar gebeta.  “Lalu?” Wajah Rendy memerah, terlihat sedih, dia menyesali semua perbuatannya. Vina yang merasa kasihan, memegang tangan Rendy. Dia tahu, Rendy butuh seseorang untuk mengubah hidupnya. Rendy tersentak kaget. “aku kesini untuk nembak kamu, aku sayang banget sama kamu Vin, tapi seperti ini, aku janji kalau kamu nerima aku. Aku akan berubah. Semuanya.  Jadi apa jawaban kamu?”  Dunia hening seketika. Lalu... “Iya Ren aku mau” 

Senin, 27 Mei 2013

(C) Tepi Sungai


Aku tidak akan pulang sampai kamu kembali kepada ku , aku yang salah. Baru pertama kalinya aku meelakukan kesalahan terbesar dalam hidup ku. Hanya dia satu-satunya dalam hidup ku. “Sarah...” suaraku lantang menjerit ke berbagai arah, tak henti-hentinya aku memusatkan perhatian ke arah sungai dan sekitarnya. Aku berjalan dibebatuan yang amat licin. Ini adalah tanggung jawabku. “Sarah....” sekali lagi aku menjerit, mungkin sudah ratusan kali aku memanggilnya. Aku mencoba terus berjalan melawan aliran sungai ini. Pikiranku kacau balau, tidak mengerti apa yang terjadi. Aku mengingat pesan sarah saat pertama kali datang kesini. Maukah kau menemani aku. Sebuah kalimat yang baru pertama kali diucapkannya. Aku tidak menjawab, hanya sebuah senyuman yang gue lontarkan. Dia pun membalasnya dengan senyuman, lalu dia masuk kedalam tenda. Selama berkemah, Sarah jarang untuk bergabung dengan pekemah lainnya. Dia menghabiskan waktu didalam tenda dan melihat sebuah foto, foto kenangan saat bulan madu kita di pulau Jeju, Korea. “Kamu kenapa?” aku sengaja mengagetkannya. “Nggak kok gpp” lalu dia merubah aplikasi di tabnya. “Kok kamu aneh yah, sekarang-sekarang ini” tanya ku memberanikan diri. Dia terlihat kaget dan melemparkan guling ke mukaku. “Dasar.... ngawur kamu” wajahnya mengejek. Lalu mendorong ku ke matras. “Kira-kira kedengeran gak yah?” dia menggodaku. Aku hanya tersenyum, posisinya sekarang diatas aku. “Ya tergantung, lagi pengen banget apa tidak” jawab ku, untung aku mendirikan tenda ini di paling pinggir jadi tidak banyak orang yang mondar mandir. Yah aku tidak perlu menceritakan Hal selanjutnya pada kalian.
“Sarah.... Sarah....Sarah....” hari sudah menjelang malam aku tidak bisa menemukannya. Kakiku sudah pegal, sudah berkilo-kilo aku di tepi sungai ini. Matahari sudah tidak terlihat hanya cahayanya yang kini kian meredup. Aku berusaha mendirikan sebuah tenda dari keletihanku. Tidak berhenti-berhentinya aku menangis dan menyesali keputusan aku tadi siang. Tapi keletihan aku ini melebihi semua penyesalan ku. Aku pun tertidur. Pagi-pagi sekali aku dan sarah mengikuti Rafting, namun karena kami sudah terbiasa kami berdua berjalan sendiri tanpa ditemani oleh seorang pemandu. Selain itu kami juga menyukai tantangan. Jadi pilihan inilah yang kami ambil. Pilihan yang sangat salah. Ternyata arus di sungai sangat deras, perahu kami terbalik dan kami berdua terpisah entah kemana. Aku pingsan terbawa arus. Saat aku tersadarkan diri, aku tersangkut di sebuah bebatuan. Sarah tidak ada disampingku. Matahari terbit, cahayanya membuatku terbangun. Aku harus mencarinya hingga ketemu. Aku melipat tenda ku dan pergi mencarinya. Jalan mulai tidak semulus kemarin. Aku harus berjalan menjauhi sungai karena tidak ada jalan di tepi sungai. Jalan didominasi menanjak, memasuki hutan lalu keluar lagi kearah sungai. Aku menyiapkan sebuah teropong untuk bisa melihat sungai lebiih jelas. Tebing-tebinbg di sebelah kiriku semakin tinggi, begitu juga di sebelah kananku sungainya semakin jauh kebawah. “Mengapa aku bisa selamat dari arus sungai sekencang ini?” pikirku dalam hati.  “Sarah.....” aku menerikan namanya sekali lagi. Tak jarang gema membantuku untuk memantulkan suara itu.
Aku terdiam. Aku memastikan dengan teropong ini. Ternyata tidak salah lagi. Aku berlutut. Aku lemas. Aku tahu itu Sarah, aku tidak perlu memanggilnya lagi. Dia sama sepertiku tersangkut dibebatuan tapi posisinya berbeda denganku. Posisinya terlungkup. Dengan muka berada didalam air. Kenapa? Kenapa berakhir seperti ini Air mata aku menetes hidupku seakan hancur seketika. Tapi aku sudah memutuskan aku sudah berjanji akan menemaninya. Aku pun menghampiri Sarah, sangat cepat aku menghampirinya. Tidak ada jalan menuju kebawah. Tapi toh aku masih bisa menghampirinya. Bisa menjemputnya. Atau kata yang lebih tepat dijemput oleh Sarah untuk bersamanya. Aku melompat dari tebing. 

Selasa, 21 Mei 2013

(C) Kesetiaan


Angin kencang menerpa kaca di kamar itu, suara gebrakan kencang dari samping kanannya membuatnya terbangun. Dia terjaga disetiap malam, tidak tahu apa yang harus dikhawatirkan dan apa yang harus dia lakukan. Dia kembali terlelap, mungkin terlelap dalam mimpi yang membuatnya akan terbangun semalaman ini. Malam dengan bulan pucat seperti wajah seorang wanita sesudah bersenggama. Lagi-lagi dia mulai terbangun melihat kearah yang sama didepannya. Dia tersenyum, senyumannya seperti tiga tahun lalu, dimana suasana disana seperti bunga mawar yang bermekaran di musim semi. Ketika cinta mereka bersemi. Mungkin aku tidak bisa menceritakan cinta mereka lebih lanjut, yang pasti cinta itu sangatlah setia dan sejati. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka, tapi mugkin saja bisa. Dunia tidaklah semudah yang kita kira. Hari ini matahari terbit, dia tertidur pulas, semalam dia seperti orang aneh. Merem, melek, merem, melek... selama berjam-jam. Kasihan sekali rasanya. Sinar matahari mulai menyinari ruang kamar. Hangat dari dingin malam ditambah dengan AC berunjuk pada suhu 22 derajat. Dia terbangun, rambut panjangnya lecek di gesek oleh kursi tidurnya, mukanya pun tidak kalah lesu di makan oleh keletihan semalaman. Dia memerhatikan ranjangnya lagi, seakan harus ada yang diperbaikinya. Dia mendekati, badanya letih tak bertenaga, matanya masih setengah terbukan, kalo disamakan dengan lampu, mungkin sebesar 5 watt.
Diatas aku melihat ada sebuah penampakan. Penampakan malaikat, cantik, indah, menemani indah mimpiku. Aku pun bersyukur. Itu bukan hanya sekedar mimpi namun sebuah kenyataan. Dia tersenyum seakan menunggu sesuatu , tapi toh aku hanya membuka mata saja, seperti orang normal ketika bangun dari tidurnya. Tangannya mulai membelai rambut ku serta pipi ku. Lebut sekali tangannya, aku terbangun seluruhnya. Kami berdua bertatapan, dia selalu terseyum untuk ku. Aku melihatnya pergi, aku sedih, tapi aku sadar dia tidak mungkin berada di sampingku terus. Lebih tepatnya berada dihadapan ku. Diam. Suasana hening. Aku berharap dia hanya meninggalkan ku sementara, mungkin ke toilet atau mandi, karena ini kan masih pagi. Aku teringat ketika aku memberitahukan dia tentang siapa aku ini sebenarnya. Aku melihatnya sedih, kecewa, agak lama untuk menunjukannya senyuman kearah ku. Dia hanya berkata “Tidak apa-apa yang penting kamu berusaha dulu, jangan menyerah” kata-kata itulah yang membuat aku kuat seperti ini. Melawan diri sendiri. Sesuatu yang sangat susah untuk dilakukan. Lukanya tidak terlihat namun sangat parah dan sakit, lebih sakit dari pada terlindas oleh truk. Aku kembali ke kata-katanya tadi, aku tidak tahu apakah dia berbohong atau tidak. Tapi setelah hari demi hari berlalu di ruangan ini aku yakin tidak. Dia pasti akan menunggu ku .Menunggu untuk selamanya.
Aku sudah tidak tahan 2 minggu lamanya sudah aku dikamar ini. Menunggunya. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, kenapa aku menghadapi cobaan ini, apakah aku harus melanjutkannya atau memilih yang lain. Memilih orang lain yang dapat menuntun ku ke masa depan yang lebih baik. Tapi, aku mencintainya, aku sudah mengorbankan seluruh cintaku padanya. Dan harus berakhir seperti ini. Kenapa? Kenapa Tuhan memilih dia untuk penyakit ini. Dia sudah tidak lagi bisa disembuhkan. Hanya tinggal menunggu waktu. Aku sudah berjanji padanya untuk tidak meninggalkannya ketika Ia menjemput ajalnya. Tapi..... aku menghianatinya. Kemarin aku meninggalkannya di rumah sakit. Pagi hari aku tersenyum padanya, untuk memberitahukan sesuatu. Dia hanya melihatku dengan tabung oksigen di mulutnya, badannya sudah tidak bisa bergerak hanya bola matanya saja yang dengan lekatnya melihat mataku. Kini aku tidak dapat melihat matanya lagi. Tinggal lah sebuah gundukan tanah yang menguburnya dengan batu nisan yang bertuliskan namanya. Aku berdiri disampingnya bersama suami ku yang kunikahi kemarin.  

Rabu, 15 Mei 2013

(C) Restoran Puncak


Aku dengannya disini, tapi itu seakan tidak membuatku merasakan sesuatu disini. Dia diam saja dan tidak berkata apa-apa. Jiwanya seakan melayang kemana-mana dan hanya badannya yang berada didepan ku ini. Dia menyeruput segelas es jeruknya, lalu kembali memandang ke arah kiri. Kearah hamparan luas sawah dan pengunungan. Seharusnya aku juga menikmatinya di restoran yang berada di daerah puncak ini. Tapi aku hanya terpaku padanya, aku menginginkan dia berkata sesuatu, sesuatu, apapun itu. Aku menunggunya. Semenjak dia sampai di tempat ini, ia seperti patung bisu. Sekali lagi aku menunggu.
Hingga dia pun akhirnya berdiri. Tidak ada sebab ataupun akibat yang membuatnya berdiri. Aku yang sedang memerhatikannya pun ikut terkejut. “Ada apa?” tanya ku. Aku memandangnya dengan lekat, tanpa berkedip sedikitpun. “Ikut aku” katanya . Dia menuju ke sebuah pojok restoran yang berujiung pada sebuah dermaga yang menjorok ke tebing. Aku mengingatnya, 3 tahun yang lalu dia membawa ku ketempat ini. Dia menyatakan sebuah kata-kata yang amat indah di hatiku. Kata-kata yang tidak akah hilang dalam hidupku, sebuah kata cinta yang meluluhkan hati. Tapi itu sudah lama, sebelum aku mengambil S2 di luar negeri. Mungkin hatinya seperti tertimpa beribu-ribu ton beras ketika mendengar hal itu, saat itu dia belum menyelesaikan S1nya.
Ketika dia menyelesaikan S1nya, aku juga selesai S2 aku di tahun yang sama. Aku pun pulang membawa gelar S2 untuk bekerja di Jakarta. Dia menjemputku dibandara dan membawanya ke tempat ini. Dan sekali lagi aku katakan, aku menunggu kata-katanya, sudah lama kami tidak bertemu dan mengobrol 2 tahun lamanya. “Jadi...” dia mulai mengeluarkan suaranya. “Iya?” aku berusaha memancingnya untuk mengatakan sesuatu. “Apakah sebaiknya hubungan kita di sudahi saja?” deg.... tubuhku mematung, apa aku tidak salah dengar? Dia menginginkan putus? “Hah?maksud kamu beb? Kenapa harus putus? Kita udah pacaran lama, aku pun ingin kamu melamarku, aku ingin sekali mendampingi mu dan hidup bersama kamu” kataku panjang.
Dia lunglai diatas bambu pembatas. Aku berada tepat dibelakangnya. Aku tidak bisa memahami maksudnya. “Aku baru saja lulus S1 dan belum mendapat pekerjaan, sedangkan kamu sudah punya S2 kerjaan pun mengantri didepan kamu, bagaimana aku dianggap orang nantinya. Aku yang menjadi suami nanti bukan kamu? Aku yang harus menafkai keluarga “ kata-katanya membuat aku shok setengah mati. Ini kah maksudnya? Jadi ini yang menyebabkan dia ingin putus dengan ku. Aku tidak mengerti harus berkata apa. Semua yang dikatakannya benar. Kita memang di angkatan yang sama saat kuliah. Nilai aku saat kuliah bagus-bagus dengan 24 sks setiap semesternya. Lain dengannya, banyak mata kuliah yang mengulang, mendapatkan nilai C pun sudah Alhamdulialah.
Aku mendekatinya, matanya masih menatap kearah matahari yang sudah berada diufuk siap tenggelam bersama cinta kami. Aku memeluknya dari belakang, kepala aku senderkan dipunggungnya. Aku memeluknya dengan erat tidak menginginkan dia pergi meninggalkan ku. Sudah banyak kenagan yang sudah kami lewati berdua . Aku tahu dia pasti masih mencintaiku, dia masih sayang pada ku, hanya sebuah jenjang yang membedakan kami sekarang. “Beb” dia memanggil. “Iya apa?” aku berusaha positive thinking apa yang akan dikatakannya. “Maaf beb, aku tidak bisa, sekarang perbedaan kita sudah jauh, kita sudah tidak sama seperti dulu, mahasiswa baru yang kere, mau makan harus ngutang dulu” bebernya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Aku eratkan pelukanku. Tidak, aku tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi.  

Rabu, 01 Mei 2013

(C) Telepon Rumah


Kring....  Kring....
“Halo”
“Halo Beb” Pacar ku menelepon, waw senang sekali rasanya.
“Ada apa beb? Tumben nih nelpon biasanya aku duluan” jawab ku senang.
“Lagi kangen aja, kamu lagi ngapain?”
“Biasa ini lagi belajar” aku mulai senyum-senyum sendiri.
“Oh... yaudah kalau begitu met malam beb”
“iya, met malam juga” akhirnya aku tidak harus buang-bunga pulsa untuk menelponnya.
Jleb........

Kring.... Kring....
“Halo, tadi gimana ulangan Kimianya Sukses?”  tanyaku
“Sukses dong sayang, kan kamu yang ngajarin”
“Bisa aja kamu, terus ini sekarang lagi apa?” tanya ku lagi.
“Dari kemaren nanyanya lagi apa melulu?”
Gue mulai kehabisan kata-kata, maklum udah lama banget nih pacaran. Semua  gombalan untuknya dah habis.
“Aku tadi abis ulangan matematika loh susah banget” aku mencoba mencari obrolan yang lain.
“ooo haha, yaudah yang pentingkan udah belajar, dah ... aku mau tidur dulu”
Jleb...........
Sepertinya dia bete

Kring....Kring.....
“Halo” aku mengangkat telpon
“Dek kalo nelpon jangan lama-lama dong tagihannya besar nih”
Waduh!!! Nyokap gue....
“Iya mah, lain kali gak telpon lama-lama”
“Kamu nelpon siapa sih? Pacar yak? Jangan Pacaran melulu Belajar makanya”
Gong-gongan  Nyokap pun meraung-raung di telinga ku, seperti rentetan peluru senapan mesin di perang dunia kedua.
“Nggak ah, perasaan mama aja kali”
Aku berusaha mengelak, yah walaupun nanti ada bukti yang akan di tunjukan
“Enak aja, ini mama bawa buktinya”
Tuhkan baru di bilang
Jleb..........
Aku menutup telponnya secara paksa.

Aku berfikir keras, bagaimana jika mama tahu aku selalu pacaran di telpon, aku kan cowo yang udah dewasa. Yang bisa ngatur kapan belajar kapan pacaran. Begitu saja marah-marah. Nyebelin banget. Gue gak suka sama nyokap gue.

Malam itu mama membuka selembaran tagihan telpon, yang detailnya tertulis juga disitu. Ada satu nomor yang selalu muncul. Yaitu 021-2456098. Yah benar itu nomor telpon pacar ku. Habislah aku kena omel mamah.

Catatan tagihan telpon rumah:
08765213444: Nyokap
08174647839: Santi
0937323234: Ike
021-34444888: rumah Dede
08123456709: Joko
021-2456098: Rumah Joko 

Rabu, 24 April 2013

(C) Apakah aku bisa seperti mereka??



Jalan? Aku sudah biasa melakukan itu, kalau pun teman gue menyuruh gue naik ke mobil tapi aku tetap saja menginginkan jalan, yah , walaupun aku sendiri sepertinya tidak memungkinkan untuk berjalan jauh. “brukk” Rena dengan sigap menangkap aku. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Rena peduli. “Nggak kok gpp hehe, makasih” ujar ku dengan ramah. Aku pun kembali berjalan. Kemudian Nattali yang berada disamping kiri ku menyuruh ku untuk naik taksi. “Nggak kok Nat, jalan aja” kataku. Sebenarnya bukan aku yang tidak peduli dengan kepedulian mereka terhadap aku, tetapi aku ingin seperti yang lainnya. Seperti perempuan normal. Aku melihat jam, yang ternyata sebentar lagi jam kuliah akan dimulai. Tersisa 10 menit lagi. “Nat, Ren kalian duluan saja, sebentar lagi masuk” ujar aku. “Nanti kamu gimana?” tanya Nattali. “Udah kita barengan aja sampai kelas” tambah Rena. Kami pun sampai didepan  gedung kuliahku, tetapi kelas ku sekarang berada dilantai empat. Rena dan Nattali membantu ku untuk menaiki tangga. Tidak jarang aku hampir terpelesat. Tepat pukul 08.15 aku sampai didepan kelas. Greeekk. “Maaf pak terlambat” kata kami bertiga. “Kalian dari mana saja, ayo cepat masuk” kata Pak Tono. Untungnya mata kuliah sekarang ini yang mengajar Pak Tono, dia baik masih mengizinkan murid yang lainnya masuk jika terlambat.

Aku menempati kursi disamping Ghina yang berada di baris ke tiga. Hari ini aku sama sekali tidak menyimak pelajaran Pak Tono. Aku berfikir, apa yang terjadi pada aku sekarang? Kenapa semua orang membuat pengecualian kepada ku? Aku tahu aku sedang sakit, ini adalah penyakit teraneh yang aku derita. Kaki aku jadi cacat seperti ini karena sebuah virus yang menyerang saat aku terkena penyakit typus beberapa bulan yang lalu. Virus itu menyerang sel-sel yang ada di kaki ku jadi cara jalan aku terganggu. Boleh dibilang seperti pinguin. Namun aku tidak ingin di perlakukan seperti ini. Banyak keringanan yang aku dapat. Aku ingin seperti perempuan lainnya. Tanpa sadar aku menetaskan air mata dan menetes membasahi buku ku. “Kamu gak apa-apa Nad?” tanya Ghina yang mungkin melihat aku menangis. Aku pun terlonjak kaget lalu segera menghapus air mata ku. “Gpp aku baik-baik saja”. Pelajaran Pak tono pun selesai, aku tidak tahan untuk segera pergi ke kamar mandi. Kebelet pipis. Aku pun beranjak dari kursi ku lalu menuju kekamar mandi. Aku melihat Nattali dan Rena sedang asik mengobrol dengan yang lainnya. Aku tidak ingin menggangu mereka hanya untuk menemani aku ke kamar mandi. Aku pun pergi sendirian.

Aku lupa kalau kamar mandi tidak ada dilantai empat, aku harus turun ke lantai tiga. Aku melihat tangga, seperti melihat sebuah tepi jurang. Aku harus bisa melewati ini, aku tidak mau merepotkan yang lain ujar ku dalam hati. Aku turun satu langkah, lalu langkah kedua, disusul langkah ketiga. Aku berhasil sampai di pertengahan anak tangga. Aku kembali menuruni anak tangga itu lagi. Tapi, ketika aku menuruni anak tangga terakhir aku terpeleset dan jatuh. Untungnya aku dapat menahan jatuh ku memakai tangan. Brukk, adohhh aku menjerit. Aku melihat seseorang menghampiri aku. Aku mengira itu salah satu dari Nattali atau Rena. “Kamu baik-baik saja” ujarnya. Aku terkaget.  Bukan suara perempuan, tetapi suara laki-laki. Dia membantuku untuk berdiri. “Makasih yah” kataku kepadanya. “sama-sama” balasnya. Ini pertama kalinya, aku merasakan hal yang berbeda bertemu dengan laki-laki. Perasaan apa ini? “Nadya... Kamu kemana aja?, Kita khawatir” Nattali memanggil dari atas diikuti oleh Rena. Aku pun melepaskan pandangan dari laki-laki itu, lalu kami meninggalkannya. Ketika aku melihat kebelakang, dia masih melihatku dengan senyumannya yang manis. “Rena, Nattalie” aku memanggil mereka berdua. “Iya kenapa?” “Sepertinya aku jatuh cinta sama laki-laki tadi” kataku polos, mereka memandang ku kaget. Wajahku memerah. “Ehh Cieee.... tenang nanti kita bantuin” ujar Rena. Tetapi apakah dia tahu kalau aku itu perempuan cacat? Aku tidak bisa berjalan dengan normal? Apakah aku bisa berpacaran seperti perempuan lainnya?

Selasa, 09 April 2013

(C) Cintaku Seawet Rainbow Cake


“Hai” perasaaan gue deg-degan ketika ingin menyapanya. Yah.. padahal gue ingin mendapatkan banyak teman saja tapi, perasaan gue malah menjadi sesuatu yang tidak mengerti. Teman-teman SMA gue yang diterima di fakultas ini sangat sedikit (maklum lah fakultas fovorite gitoh...) jadi mau tidak mau gue harus mendapatkan teman baru. Di hari-hari sebelumnya gue sudah mendapatkan banyak teman baru.  Tapi kayaknya kurang banyak. “Hai, kita satu kelas yak?” dari cara berbicaranya saja saya sudah sangat manis ditampah wajahnya yang sangat lucu seperti kucing anggora kepunyaan gue yang selalu manja di pangkuan gue. “Iya sepertinya, hehe. Gue Genta salam kenal” gue menyodorkan tangan gue kedepan. Seperti perkenalan biasa kami berjabat tangan dan dia memperkenalkan dirinya “Gue Junita” Suasana pun kembali tenang agak aneh, Yah boleh dibilang bahasa gaulnya awkward. Seselesainya sesi daftar ulang kami duduk bareng di balkon, di sebuah tangga. Kami saling bercerita satu sama lain, dimana kami tinggal, dimana kami ngekos atau dimana kami bersekolah, yah pokoknya semua pertanyaan-pertanyaan yang termasuk 5w 1H lah ya.... sekaligus speak-sepeak gitu deh. Disitulah percakapan pertama kami walaupun agak awkward sih.. tapi sesuatu yang sangat penting dalam perkenalan perempuan adalah pin Bbnya. Ungtungnya gue mendapatkannya, malah bukan gue yang nanya, tapi dia yang minta pin bb duluan ke gue. (Geer)

Singkat cerita (kalo di jabarin terlalu panjang gan) gue dan Junita sering berbales sms disetiap harinya, gue sering membuatkannya editan-editan fotonya yang gue buat di photoshop. Gue juga tidak tahu mengapa gue menjadi care dengan nya. Apakah gue mencintainya? Atau hanya sekedar nafsu belaka untuk punya pacar. Yah gue sendiri juga tidak mengerti. Gue tidak ingin seperti dulu dimana selalu mempermainkan hati seorang cewek. Php lah atau selingkuh dengan cewek lain. Gue tidak mau seperti itu, mungkin yang gue raskan sekarang ini juga sama seperti dulu. Jadi beberapa cara gue lakukan untuk mundur menjauhinya. Tapi ini justru menjadi bumerang buat gue. Setelah menceritakan hal ini ketemen gue yang bernama Peny dan Dina, mereka justru memaksa gue untuk melanjutkan hubungan yang tidak jelas ini. “Dicoba dulu siapa tau di terima” kata Dina, “cewek kayak gitu pasti setia deh, tembak aja pasti diterima” ujar Peny. Kata-kata mereka masuk kedalam otak gue dengan cepat dan menstimulasi semua saraf yang membuat gue berfikir ulang. Akhirnya gue melakasanakan ujaran dari dua makhluk di bawah rata-rata itu. Dan dimulailah gladi resik.
Disuatu mall di daerah yang tidak asing lagi. Gue dan temen gue (kali ini cowok) mengatur strategi untuk menembak Junita. Kami mengatur dimana tempat paling cocok dan lain sebaginya . Tapi ada satu yang paling penting saat penembakan. Yaitu Rainbow Cake. Kue yang sangat Junita senangi. Gue pun menyuruh Genan untuk membelinya. Karena posisinya sudah begini jadi gue beli berapa harganya itu Rainbow cake....


35 Desember 2022
Hari dimana gue menembaknya...... dan jawabannya adalahnya  "DI TERIMAAAAAAA............" 
Gue pun senang sekali dan tidak mengerti mau ngomong apa lagi.
Tapi...


36 Desember 2022
“Ta kita temenan aja yah, gue kecewa sama tulisan lu di blog, maaf” Persaan gue hancur berkeping-keping padahal di blog ini hanya lah sebuah cerita saja yang memang hobi gue menulis sesuatu. Mungkin tulisan ini membuat 3 orang teman gue juga marah disebut-sebut namanya dan gue masih belom bayar utang Rainbow Cake terlebih lagi Junita sendiri mungkin sudah gondokan. Yah mungkin ini adalah takdir karena Rainbow Cake yang gue kasih sudah abis dimakannya. 

Selasa, 02 April 2013

(C) Mungkinkah?


Ini hari yang sangat menyenangkan, gue bersama dengan pacar berjalan-jalan di sebuah taman. Taman ini sudah sering gue kunjungi setiap sore bersama pacar untuk melepas penat seharian kuliah. Gue dan pacar gue berbeda fakultas, namun kami di angkatan yang sama. Tidak ada obrolan sepanjang ini, hingga pacar gue mengatakan sesuatu “Ngomong kek, dari tadi diem aja”. Aku tersenyum lebar, gue memang orang yang malas ngomong. “Gimana skripsinya?” tanya gue memecah keheningan. “Yah, gitu deh, dah jadi sih, tinggal nunggu sidang aja, kamu sendiri gimana?” balasnya ke gue. “Ya sama juga” jawab gue. Kemudian kami duduk di salah satu bangku taman. Kami membicarakan semua tentang skripsi kami. “Lihat deh, itu anak yang pake kaos kuning lucu banget” Kata Vanna yang mengalihkan topik. “Iya, luc—“  gue tidak bisa menuruskan perkataan gue, seluruh tubuh gue tebujur kaku kesakitan. Gue pun berusahan menyembunyikannya dari Vanna, tapi semakin lama semakin parah. “Beb, kamu gpp?” tanya Vanna. Tadinya Vanna kebingungan melihat sikap gue seperti ini, tapi dia akhirnya mengerti penyakit gue sedang kambuh. Vanna pun langsung mengambil alat pembantu pernapasan dari tas gue. “Udah tenang beb, jangan di lawan” Vanna memeluk gue. Badan gue kejang-kejang tak karuan. Untungnya alat pernapasan ini membantu gue. Kejang-kejang gue perlahan hilang dan badan gue kembali tenang.
Vanna pun membuka pelukannya. “Beb, udah gak kejang lagikan?” tanyanya prihatin. Gue lelah akibat kejang-kejang tadi jadi gue hanya bisa menggeleng. “Yaudah, ayo kita pulang”. Stamina gue belum kembali pulih jadi beberapa kali gue harus istirahat duduk. Vanna dengan ikhlasnya mengurus gue yang sakit ini. Sesampainya di tempat kos gue, gue langsung tepar, hari sudah malam sekitar pukul 20.00. Vanna langsung menuju dapur belakang dan membuatkan gue nasi goreng. “Van, udah gak usah nanti aku aja yang buat, kamu pulang aja ke kosan” kataku. “Gak kok beb gpp. Aku mau ngurusin kamu dulu” jawabnya santai. Vanna pun kembali ke dapur, tak lama kemudian Vanna membawakan dua piring nasi goreng lengkap dengan telur dan sayurannya. Kami makan berdua di kosan. Setelah selesai makan Vanna bertanya yang membuat gue kaget, “Boleh gak aku nginep disini?” “Yah terserah kamu, lagi pula ini udah malam” jawab gue. Vanna kebinguan ketika ingin tidur dimana, dia pun naik ke keranjang gue. “Maaf ya jadi sempit nih” gue hanya terdiam, melihat Vanna terlentang di samping gue. Tapi, hasrat gue memuncak, ingin melakukan hal yang tidak-tidak. Gue pun berusaha menahannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun... “Beb, kamu mau gak jadi guling aku” kalimat itu terlontar begitu saja. Aku melihat tatapannya yang bingung. “Boleh beb, tapi jangan macem-macem yah, awas kamu!!” gue hanya tersenyum “Makasih ya beb, atas semuanya tadi” “Iya sama-sama “ dan kami tertidur lelap.
...
Beberapa minggu kemudian, kami sidang skripsi dan kami berdua lulus dengan nilai yang memuaskan. Untungnya kami berdua sudah dapat pekerjaan, walaupun wisuda masih menunggu waktu. Namun, gue malah semakin deg-degan gak karuan. Gue ingin melamar Vanna. Gue ingin dia menjadi pendamping hidup gue selamanya. Tapi  gue sangat ragu dengan keadaan gue ini, yang berpenyakitan. Mungkinkah dia mau?.  “Van, aku pengen ngomong sesuatu nih” kata gue. “mau ngomongin apa sih? Kok kayaknya penting bener” Vanna tersenyum lebar. Gue yakin dari senyumannya, dia tahu apa yang akan gue lakukan. Gue mengajaknya ke taman kampus yang baru. Taman yang sangat Indah dan pastinya sepi, tidak banyak orang. Gue pun memberikannya sebuah cincin sambil berkata “Mau kah kau menikah dengan ku?, walaupun aku ini mempunyai penyakit aneh yang akan memngganggu keluarga, keuangan dan mungkin wak—“ Vanna menutup bibir gue dengan satu jarinya. Lalu mendekat perlahan. “Apapun keadan kamu, aku mau menikah dengan mu”  Vanna memasukan jari manis kanan ke cincin yang aku pegang.