Aku dengannya disini, tapi itu seakan
tidak membuatku merasakan sesuatu disini. Dia diam saja dan tidak berkata
apa-apa. Jiwanya seakan melayang kemana-mana dan hanya badannya yang berada
didepan ku ini. Dia menyeruput segelas es jeruknya, lalu kembali memandang ke
arah kiri. Kearah hamparan luas sawah dan pengunungan. Seharusnya aku juga
menikmatinya di restoran yang berada di daerah puncak ini. Tapi aku hanya
terpaku padanya, aku menginginkan dia berkata sesuatu, sesuatu, apapun itu. Aku
menunggunya. Semenjak dia sampai di tempat ini, ia seperti patung bisu. Sekali
lagi aku menunggu.
Hingga dia pun akhirnya berdiri. Tidak ada
sebab ataupun akibat yang membuatnya berdiri. Aku yang sedang memerhatikannya
pun ikut terkejut. “Ada apa?” tanya ku. Aku memandangnya dengan lekat, tanpa
berkedip sedikitpun. “Ikut aku” katanya . Dia menuju ke sebuah pojok restoran
yang berujiung pada sebuah dermaga yang menjorok ke tebing. Aku mengingatnya, 3
tahun yang lalu dia membawa ku ketempat ini. Dia menyatakan sebuah kata-kata
yang amat indah di hatiku. Kata-kata yang tidak akah hilang dalam hidupku,
sebuah kata cinta yang meluluhkan hati. Tapi itu sudah lama, sebelum aku
mengambil S2 di luar negeri. Mungkin hatinya seperti tertimpa beribu-ribu ton
beras ketika mendengar hal itu, saat itu dia belum menyelesaikan S1nya.
Ketika dia menyelesaikan S1nya, aku juga
selesai S2 aku di tahun yang sama. Aku pun pulang membawa gelar S2 untuk
bekerja di Jakarta. Dia menjemputku dibandara dan membawanya ke tempat ini. Dan
sekali lagi aku katakan, aku menunggu kata-katanya, sudah lama kami tidak
bertemu dan mengobrol 2 tahun lamanya. “Jadi...” dia mulai mengeluarkan
suaranya. “Iya?” aku berusaha memancingnya untuk mengatakan sesuatu. “Apakah
sebaiknya hubungan kita di sudahi saja?” deg.... tubuhku mematung, apa aku
tidak salah dengar? Dia menginginkan putus? “Hah?maksud kamu beb? Kenapa harus
putus? Kita udah pacaran lama, aku pun ingin kamu melamarku, aku ingin sekali
mendampingi mu dan hidup bersama kamu” kataku panjang.
Dia lunglai diatas bambu pembatas. Aku
berada tepat dibelakangnya. Aku tidak bisa memahami maksudnya. “Aku baru saja
lulus S1 dan belum mendapat pekerjaan, sedangkan kamu sudah punya S2 kerjaan
pun mengantri didepan kamu, bagaimana aku dianggap orang nantinya. Aku yang
menjadi suami nanti bukan kamu? Aku yang harus menafkai keluarga “ kata-katanya
membuat aku shok setengah mati. Ini kah maksudnya? Jadi ini yang menyebabkan
dia ingin putus dengan ku. Aku tidak mengerti harus berkata apa. Semua yang
dikatakannya benar. Kita memang di angkatan yang sama saat kuliah. Nilai aku
saat kuliah bagus-bagus dengan 24 sks setiap semesternya. Lain dengannya,
banyak mata kuliah yang mengulang, mendapatkan nilai C pun sudah Alhamdulialah.
Aku mendekatinya, matanya masih menatap
kearah matahari yang sudah berada diufuk siap tenggelam bersama cinta kami. Aku
memeluknya dari belakang, kepala aku senderkan dipunggungnya. Aku memeluknya
dengan erat tidak menginginkan dia pergi meninggalkan ku. Sudah banyak kenagan
yang sudah kami lewati berdua . Aku tahu dia pasti masih mencintaiku, dia masih
sayang pada ku, hanya sebuah jenjang yang membedakan kami sekarang. “Beb” dia
memanggil. “Iya apa?” aku berusaha positive thinking apa yang akan
dikatakannya. “Maaf beb, aku tidak bisa, sekarang perbedaan kita sudah jauh,
kita sudah tidak sama seperti dulu, mahasiswa baru yang kere, mau makan harus
ngutang dulu” bebernya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Aku eratkan
pelukanku. Tidak, aku tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar