Rabu, 15 Mei 2013

(C) Restoran Puncak


Aku dengannya disini, tapi itu seakan tidak membuatku merasakan sesuatu disini. Dia diam saja dan tidak berkata apa-apa. Jiwanya seakan melayang kemana-mana dan hanya badannya yang berada didepan ku ini. Dia menyeruput segelas es jeruknya, lalu kembali memandang ke arah kiri. Kearah hamparan luas sawah dan pengunungan. Seharusnya aku juga menikmatinya di restoran yang berada di daerah puncak ini. Tapi aku hanya terpaku padanya, aku menginginkan dia berkata sesuatu, sesuatu, apapun itu. Aku menunggunya. Semenjak dia sampai di tempat ini, ia seperti patung bisu. Sekali lagi aku menunggu.
Hingga dia pun akhirnya berdiri. Tidak ada sebab ataupun akibat yang membuatnya berdiri. Aku yang sedang memerhatikannya pun ikut terkejut. “Ada apa?” tanya ku. Aku memandangnya dengan lekat, tanpa berkedip sedikitpun. “Ikut aku” katanya . Dia menuju ke sebuah pojok restoran yang berujiung pada sebuah dermaga yang menjorok ke tebing. Aku mengingatnya, 3 tahun yang lalu dia membawa ku ketempat ini. Dia menyatakan sebuah kata-kata yang amat indah di hatiku. Kata-kata yang tidak akah hilang dalam hidupku, sebuah kata cinta yang meluluhkan hati. Tapi itu sudah lama, sebelum aku mengambil S2 di luar negeri. Mungkin hatinya seperti tertimpa beribu-ribu ton beras ketika mendengar hal itu, saat itu dia belum menyelesaikan S1nya.
Ketika dia menyelesaikan S1nya, aku juga selesai S2 aku di tahun yang sama. Aku pun pulang membawa gelar S2 untuk bekerja di Jakarta. Dia menjemputku dibandara dan membawanya ke tempat ini. Dan sekali lagi aku katakan, aku menunggu kata-katanya, sudah lama kami tidak bertemu dan mengobrol 2 tahun lamanya. “Jadi...” dia mulai mengeluarkan suaranya. “Iya?” aku berusaha memancingnya untuk mengatakan sesuatu. “Apakah sebaiknya hubungan kita di sudahi saja?” deg.... tubuhku mematung, apa aku tidak salah dengar? Dia menginginkan putus? “Hah?maksud kamu beb? Kenapa harus putus? Kita udah pacaran lama, aku pun ingin kamu melamarku, aku ingin sekali mendampingi mu dan hidup bersama kamu” kataku panjang.
Dia lunglai diatas bambu pembatas. Aku berada tepat dibelakangnya. Aku tidak bisa memahami maksudnya. “Aku baru saja lulus S1 dan belum mendapat pekerjaan, sedangkan kamu sudah punya S2 kerjaan pun mengantri didepan kamu, bagaimana aku dianggap orang nantinya. Aku yang menjadi suami nanti bukan kamu? Aku yang harus menafkai keluarga “ kata-katanya membuat aku shok setengah mati. Ini kah maksudnya? Jadi ini yang menyebabkan dia ingin putus dengan ku. Aku tidak mengerti harus berkata apa. Semua yang dikatakannya benar. Kita memang di angkatan yang sama saat kuliah. Nilai aku saat kuliah bagus-bagus dengan 24 sks setiap semesternya. Lain dengannya, banyak mata kuliah yang mengulang, mendapatkan nilai C pun sudah Alhamdulialah.
Aku mendekatinya, matanya masih menatap kearah matahari yang sudah berada diufuk siap tenggelam bersama cinta kami. Aku memeluknya dari belakang, kepala aku senderkan dipunggungnya. Aku memeluknya dengan erat tidak menginginkan dia pergi meninggalkan ku. Sudah banyak kenagan yang sudah kami lewati berdua . Aku tahu dia pasti masih mencintaiku, dia masih sayang pada ku, hanya sebuah jenjang yang membedakan kami sekarang. “Beb” dia memanggil. “Iya apa?” aku berusaha positive thinking apa yang akan dikatakannya. “Maaf beb, aku tidak bisa, sekarang perbedaan kita sudah jauh, kita sudah tidak sama seperti dulu, mahasiswa baru yang kere, mau makan harus ngutang dulu” bebernya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Aku eratkan pelukanku. Tidak, aku tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar