Selasa, 02 April 2013

(C) Mungkinkah?


Ini hari yang sangat menyenangkan, gue bersama dengan pacar berjalan-jalan di sebuah taman. Taman ini sudah sering gue kunjungi setiap sore bersama pacar untuk melepas penat seharian kuliah. Gue dan pacar gue berbeda fakultas, namun kami di angkatan yang sama. Tidak ada obrolan sepanjang ini, hingga pacar gue mengatakan sesuatu “Ngomong kek, dari tadi diem aja”. Aku tersenyum lebar, gue memang orang yang malas ngomong. “Gimana skripsinya?” tanya gue memecah keheningan. “Yah, gitu deh, dah jadi sih, tinggal nunggu sidang aja, kamu sendiri gimana?” balasnya ke gue. “Ya sama juga” jawab gue. Kemudian kami duduk di salah satu bangku taman. Kami membicarakan semua tentang skripsi kami. “Lihat deh, itu anak yang pake kaos kuning lucu banget” Kata Vanna yang mengalihkan topik. “Iya, luc—“  gue tidak bisa menuruskan perkataan gue, seluruh tubuh gue tebujur kaku kesakitan. Gue pun berusahan menyembunyikannya dari Vanna, tapi semakin lama semakin parah. “Beb, kamu gpp?” tanya Vanna. Tadinya Vanna kebingungan melihat sikap gue seperti ini, tapi dia akhirnya mengerti penyakit gue sedang kambuh. Vanna pun langsung mengambil alat pembantu pernapasan dari tas gue. “Udah tenang beb, jangan di lawan” Vanna memeluk gue. Badan gue kejang-kejang tak karuan. Untungnya alat pernapasan ini membantu gue. Kejang-kejang gue perlahan hilang dan badan gue kembali tenang.
Vanna pun membuka pelukannya. “Beb, udah gak kejang lagikan?” tanyanya prihatin. Gue lelah akibat kejang-kejang tadi jadi gue hanya bisa menggeleng. “Yaudah, ayo kita pulang”. Stamina gue belum kembali pulih jadi beberapa kali gue harus istirahat duduk. Vanna dengan ikhlasnya mengurus gue yang sakit ini. Sesampainya di tempat kos gue, gue langsung tepar, hari sudah malam sekitar pukul 20.00. Vanna langsung menuju dapur belakang dan membuatkan gue nasi goreng. “Van, udah gak usah nanti aku aja yang buat, kamu pulang aja ke kosan” kataku. “Gak kok beb gpp. Aku mau ngurusin kamu dulu” jawabnya santai. Vanna pun kembali ke dapur, tak lama kemudian Vanna membawakan dua piring nasi goreng lengkap dengan telur dan sayurannya. Kami makan berdua di kosan. Setelah selesai makan Vanna bertanya yang membuat gue kaget, “Boleh gak aku nginep disini?” “Yah terserah kamu, lagi pula ini udah malam” jawab gue. Vanna kebinguan ketika ingin tidur dimana, dia pun naik ke keranjang gue. “Maaf ya jadi sempit nih” gue hanya terdiam, melihat Vanna terlentang di samping gue. Tapi, hasrat gue memuncak, ingin melakukan hal yang tidak-tidak. Gue pun berusaha menahannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun... “Beb, kamu mau gak jadi guling aku” kalimat itu terlontar begitu saja. Aku melihat tatapannya yang bingung. “Boleh beb, tapi jangan macem-macem yah, awas kamu!!” gue hanya tersenyum “Makasih ya beb, atas semuanya tadi” “Iya sama-sama “ dan kami tertidur lelap.
...
Beberapa minggu kemudian, kami sidang skripsi dan kami berdua lulus dengan nilai yang memuaskan. Untungnya kami berdua sudah dapat pekerjaan, walaupun wisuda masih menunggu waktu. Namun, gue malah semakin deg-degan gak karuan. Gue ingin melamar Vanna. Gue ingin dia menjadi pendamping hidup gue selamanya. Tapi  gue sangat ragu dengan keadaan gue ini, yang berpenyakitan. Mungkinkah dia mau?.  “Van, aku pengen ngomong sesuatu nih” kata gue. “mau ngomongin apa sih? Kok kayaknya penting bener” Vanna tersenyum lebar. Gue yakin dari senyumannya, dia tahu apa yang akan gue lakukan. Gue mengajaknya ke taman kampus yang baru. Taman yang sangat Indah dan pastinya sepi, tidak banyak orang. Gue pun memberikannya sebuah cincin sambil berkata “Mau kah kau menikah dengan ku?, walaupun aku ini mempunyai penyakit aneh yang akan memngganggu keluarga, keuangan dan mungkin wak—“ Vanna menutup bibir gue dengan satu jarinya. Lalu mendekat perlahan. “Apapun keadan kamu, aku mau menikah dengan mu”  Vanna memasukan jari manis kanan ke cincin yang aku pegang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar