Tampilkan postingan dengan label cerpen galau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen galau. Tampilkan semua postingan

Selasa, 23 Juli 2013

(C) Rindu


Seperti bisa, aku menunggunya disini bersama dengan orang-orang lain, mereka tampak bahagia karena seberntar lagi mereka akan berjumpa dengan seseorang yang mereka sayangi. Aku melihat di dinding samping kanan yang bejarak 20 meter dari tempat aku berdiri, ada sepasang anak bersama ayah mereka, mungkin mereka menunggu Ibu mereka yang sudah lama jauh dari mereka. Anak-anak itu meloncat-loncat tak sabar menunggu ibu mereka kembali ke hadapan mereka. Aku pun mengalihkan pandangan kearah kiri tepat disebelah kiri ku sepasang orang tua yang sudah menunggu anak mereka pulang. Mungkin anak itu melanjutkan sekolahnya disana dan orang tuanya menunggu kembali ketanah air tercinta. Banyak suasana menyentuh disini, begitu juga denganku yang sudah lama ingin bertemu kekasih ku. Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Mungkin jika di tambahkan, 4 tahun lamanya sudah aku dan dia berpisah. Sekitar 4 tahun lalu tepatnya di bulan Agustus, aku harus berpamitan karena aku harus mengejar cita-citaku ke Jepang, aku mendapatkan beasiswa disana untuk mengambil S2 selama 2 tahun, aku tidak di izinkan untuk pulang dari kampus ku di Jepang karena biaya untuk kembali bukanlah biaya yang murah. Setelah aku selesai dengan 2 tahunku, ketika aku kembali ke Jakarta, sehari sebelum tiba, giliran kekasihku untuk mengejar cita-citanya ke negeri yang terkenal dengan tembok raksasanya itu dengan waktu yang sama dengan ku, jadi aku harus menunggu, lagi-lagi harus menunggu dengan kurun waktu yang tidak sebentar. Janji sehidup semati kami, 4 tahun bukanlah hal yang mudah untuk bepacaran Long Distance Relationship atau bahasa gaulnya LDR. Sungguh sesuatu yang bukan main-main lagi.
                Ting Tong... bunyi pengeras suara itu membuat aku terbangun dalam lamunan. Pengumuman itu memberitahukan pesawat yang di tumpaingi kekasih ku itu harus delay selama satu jam, lagi perjumpaan kita harus terundur, aku pun sudah sangat lelah berdiri selama berjam-jam jadi aku memutuskan untuk mencari restauran yang nyaman sambil manunggu. “ada ada saja ini yang mengganggu ku” gumam ku dalam hati sambil aku duduk dengan tenang di sofa lebut. Aku jadi teringat dosa ku yang hampir terlupa, godaan besar menghampiri ketika berada ditahun ketiga aku tidak berjumpa dengan kekasihku. Waktu aku berjalan di mall daerah Pondok Indah, aku bertemu dengan mantanku bernama Ratih. Awalnya aku dan Ratih hanya bertemu dan makan bersama, lagi pula dia hanya sedang berjalan-jalan sendiri. “Memang kenapa tidak jadi menikah?” tanyaku penasaran sesudah dia memberitahukan pembatalan pernikahannya kepadaku. “Karena aku masih memikirkannya” jawabnya pendek. Dia tidak memberitahuku dengan jelas penyebanya. Lalu tak lama dia memintaku untuk mengatarkannya pulang, menuju ke apartemennya. Karena aku sendiri tidak ada kerjaan saat itu, aku pun setuju untuk mengatarnya pulang. Singkat cerita ketika aku sampai didepan pintu apartemennya. Dia mengajakku untuk masuk, aku pun sudah tahu maksudnya. Tapi aku tidak bisa menahan nafsu ku yang terpendam dalam 3 tahun belakangin ini. Dia mulai mendorong ku menuju ke tempat tidur, lalu melumat bibirku dengan bibirnya. Awalnya aku sempat terhipnotis dengan nafsunya, aku pasrah karena aku benar-benar sudah tidak tahan. Sebelum aku melepas bajunya, entah mengapa aku teringat dengan pesan kekasihku, Nadia. Aku pun melempar Ratih kesamping. Aku duduk termenung, memikirkan apa yang telah aku lakukan? Aku mengkhianati Nadia!. “Maaf aku tidak bisa, hati ku hanya untuk Nadia” aku kembali memakai bajuku yang sudah terbuka lalu keluar dari apartemen.
                Kring.... Hp aku berbunyi, lamunanku kembali buyar, ternyata Nadia sudah keluar dari pesawat. Aku buru-buru meninggalkan restoran. Aku berdiri di tempat pintu keluar dan tidak lama aku melihatnya keluar. Aku melihatnya... lebih cantik dari yang kuduga, apakah ini pengaruh dari sudah lama aku tidak melihatnya. Rindu yang sudah tidak tertahankan. Dia mencari ku, namun aku sudah menatapnya lekat-lakat, lalu dia melihat kearahku. Benar-benar sesuatu yang sangat indah, kami pun berpelukan seakan tidak mengenal malu dilihatin orang hanya untuk melepas rindu semata. “Kamu tambah cantilk” pujiku, “kamu makin keren aja”, balasnya aku mengambil barang bawaannya yang banyak sekali, mungkin oleh-oleh. Kami pun berjalan menuju ke pintu keluar. “Jadi apa kamu tetap menepati janji kita?” tanyanya memecah lamunan. Aku terkejut setengah mati. Dia menatapku dari pekukanku ke bahu kirinya dan tetap mendorong troley. “Tetap setia denganku?” tambahnya. “Iyap pasti dong” jawabku . Lalu Nadia mencubitku. “Ah jangan bohong. Jujur deh” . Aku terdiam seakan dia sudah membaca pikiranku dan sedang melihat aku dengan Ratih berduaan di kamar. Aku tersenyum. “Tuh kan... udah lah kamu kan emang kaya begitu orangnya. Nanti cerita aja. Aku gak marah kok, aku yakin cobaan pasti ada dan kamu bisa mengatasinya” dia memelukku erat. Aku merasa ciut, sekarang Nadia sudah lebih dewasa dari pada aku. Aku harus menceritakan cerita ku dengan ratih dan tidak akan mengulangi kejadian itu lagi.

Selasa, 11 Juni 2013

(C) Gossip Gebetanku


Jadi begitu ceritanya. Vina mengiyakan sesuatu yang seharusnya iya tidak suka. Iya terpaksa untuk tidak mengungkapkan di depan taman-temannya. Teman-temannya pun tidak memerhatikan terlalu jelas. Namun hanya Fani yang mengetahuinya. Fani terus memandang muka Vina seakan ada sesuatu didalam matanya. Vina pun akhirnya menatap Fani. “Kamu tidak apa-apa Vin?” tanya Fani khawatir. Sudah jelas ada yang salah dengannya. “Nggak kok, aku gpp” Vani menjawab dengan senyum yang pastinya ada sesuatu yang disembunyikan. “Udah tidak usah dipikirin, Dia gak kaya yang mereka omongin tadi kok, mungkin” jelas Fani. Vina tersentak kaget, sampai-sampai dia berhenti untuk melangkahkan kakinya. Seorang SPG hampir saja menabraknya dari belakang. “Udah aku tau kok, yuk kita ke toko sepatu itu” tambah Fani. Vina yang masih tersentak kaget langsung di geret Fani ke toko yang berada di seberang hall mall. “Gimana kamu bisa tahu fan?” tanya Vina, sambil memilih sepatu di rak paling atas. “Ketauan kok Vin dari muka kamu, kamu suka kan sama dia?” ucapan Fani langsung memukul mundur Vina. Vina hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak sepatu itu. Tidak lama dia menurunkan kepalanya seperti ada sesuatu dibawah. “Yuk kita omongin aja di foodcourt”
                “Jadi sejak kapan?, kok bisa?” tanya Fani. “Iya, aku sendiri juga gak tau kenapa? Dia itu baik banget, perhatian sama gue..” “Gak kamu doang Vina, semua orang, kata temen-temen dijurusannya dia itu playboy terus sering nidurin cewe gitu” selak Fani. “Iya Fan, tapi kan belum ada yang pernah lihat dia kaya begitu, gosip doang” Vina membela. “Ya aku sih gak maksa, banyak cewe yang jaga jarak sama dia takut jadi korban” tambah Fani. Vina hanya diam dan tidak berkata apa-apa, sibuk melihat sekitar dan orang-orang yang berlalulalang. Kedekatannya dengan cowo itu sangat membuatnya tidak nyaman, banyak yang berperasangka buruk tentang dirinya. Cowo itu banyak teman cewe tapi dia sendiri, mungkin ini yang dirasakan Vani terhadap cowo itu. “Emang udah seberapa dekat?” tanya Fani. “Yah sudah tahap modus-modusin gitu, aku juga udah kasih sinyal lampu hijau kok ke dia” beber Vina. “Buset, sejak kapan tuh, kok gue gak tau” ”yah udah lama lah pokoknya”. Tiba-tiba, mungkin dunia ini sangat lah kecil. Mereka melihat cowo itu, cowo yang mereka omongin dari tadi. Rendi. Mereka berdua sibuk berdebat, disapa, dicuekin, pura-pura gak liat, kabur? “Aduh gimana nih?” mereka berdua bertanya bebarengan.
                “Hai” Disapalah jalan yang mereka pilih. Vina terlihat salting dan Fani justru sebaliknya takut dan males. “Gue lagi sendiri aja, nyariin kamu juga sih hehe” kata Rendy. Muka napsunya sudah terlihat jelas dimukanya, itu yang di pikirkan Fani saat itu juga. “Oh kalo gitu aku tinggal yah kalian berdua” ujar Fani, namun sebelum pergi, Fani berbisik kepada Vina. Hati-hati yah. Fani pun pergi entah kemana. “Jadi? Kok kamu tahu aku ada disini?” tanya Vina. Vina mulai terngiang dengan omongan teman-temannya tentang Rendy. “Yah tau aja, yuk duduk dulu” ajak Rendy. Rendy jalan terlebih dahulu, lalu Vina berjalan dibelakang. Bisa ditebak perasaan Vina sangatlah campur aduk, antara salting dan takut. Mereka duduk tidak jauh dari tempat Vina dan Fani duduk. “Kamu bingung yah?”  Vina kaget, Rendy seakan bisa membaca pikirannya. “Iya gue tahu kok, semua yang mereka omongin itu bener” ujar Rendy. “Maksudnya apa Ren?” Vina pura-pura tidak tahu. “Gue sering mainin hati cewe dan lain sebagainya, kamu pasti tau kan?” Vina terdiam, dia heran dengan Rendy, Mengapa cowo bisa mengungkapkan kelemahannya di depan cewe yang dia  suka dan baru sekedar gebeta.  “Lalu?” Wajah Rendy memerah, terlihat sedih, dia menyesali semua perbuatannya. Vina yang merasa kasihan, memegang tangan Rendy. Dia tahu, Rendy butuh seseorang untuk mengubah hidupnya. Rendy tersentak kaget. “aku kesini untuk nembak kamu, aku sayang banget sama kamu Vin, tapi seperti ini, aku janji kalau kamu nerima aku. Aku akan berubah. Semuanya.  Jadi apa jawaban kamu?”  Dunia hening seketika. Lalu... “Iya Ren aku mau” 

Senin, 27 Mei 2013

(C) Tepi Sungai


Aku tidak akan pulang sampai kamu kembali kepada ku , aku yang salah. Baru pertama kalinya aku meelakukan kesalahan terbesar dalam hidup ku. Hanya dia satu-satunya dalam hidup ku. “Sarah...” suaraku lantang menjerit ke berbagai arah, tak henti-hentinya aku memusatkan perhatian ke arah sungai dan sekitarnya. Aku berjalan dibebatuan yang amat licin. Ini adalah tanggung jawabku. “Sarah....” sekali lagi aku menjerit, mungkin sudah ratusan kali aku memanggilnya. Aku mencoba terus berjalan melawan aliran sungai ini. Pikiranku kacau balau, tidak mengerti apa yang terjadi. Aku mengingat pesan sarah saat pertama kali datang kesini. Maukah kau menemani aku. Sebuah kalimat yang baru pertama kali diucapkannya. Aku tidak menjawab, hanya sebuah senyuman yang gue lontarkan. Dia pun membalasnya dengan senyuman, lalu dia masuk kedalam tenda. Selama berkemah, Sarah jarang untuk bergabung dengan pekemah lainnya. Dia menghabiskan waktu didalam tenda dan melihat sebuah foto, foto kenangan saat bulan madu kita di pulau Jeju, Korea. “Kamu kenapa?” aku sengaja mengagetkannya. “Nggak kok gpp” lalu dia merubah aplikasi di tabnya. “Kok kamu aneh yah, sekarang-sekarang ini” tanya ku memberanikan diri. Dia terlihat kaget dan melemparkan guling ke mukaku. “Dasar.... ngawur kamu” wajahnya mengejek. Lalu mendorong ku ke matras. “Kira-kira kedengeran gak yah?” dia menggodaku. Aku hanya tersenyum, posisinya sekarang diatas aku. “Ya tergantung, lagi pengen banget apa tidak” jawab ku, untung aku mendirikan tenda ini di paling pinggir jadi tidak banyak orang yang mondar mandir. Yah aku tidak perlu menceritakan Hal selanjutnya pada kalian.
“Sarah.... Sarah....Sarah....” hari sudah menjelang malam aku tidak bisa menemukannya. Kakiku sudah pegal, sudah berkilo-kilo aku di tepi sungai ini. Matahari sudah tidak terlihat hanya cahayanya yang kini kian meredup. Aku berusaha mendirikan sebuah tenda dari keletihanku. Tidak berhenti-berhentinya aku menangis dan menyesali keputusan aku tadi siang. Tapi keletihan aku ini melebihi semua penyesalan ku. Aku pun tertidur. Pagi-pagi sekali aku dan sarah mengikuti Rafting, namun karena kami sudah terbiasa kami berdua berjalan sendiri tanpa ditemani oleh seorang pemandu. Selain itu kami juga menyukai tantangan. Jadi pilihan inilah yang kami ambil. Pilihan yang sangat salah. Ternyata arus di sungai sangat deras, perahu kami terbalik dan kami berdua terpisah entah kemana. Aku pingsan terbawa arus. Saat aku tersadarkan diri, aku tersangkut di sebuah bebatuan. Sarah tidak ada disampingku. Matahari terbit, cahayanya membuatku terbangun. Aku harus mencarinya hingga ketemu. Aku melipat tenda ku dan pergi mencarinya. Jalan mulai tidak semulus kemarin. Aku harus berjalan menjauhi sungai karena tidak ada jalan di tepi sungai. Jalan didominasi menanjak, memasuki hutan lalu keluar lagi kearah sungai. Aku menyiapkan sebuah teropong untuk bisa melihat sungai lebiih jelas. Tebing-tebinbg di sebelah kiriku semakin tinggi, begitu juga di sebelah kananku sungainya semakin jauh kebawah. “Mengapa aku bisa selamat dari arus sungai sekencang ini?” pikirku dalam hati.  “Sarah.....” aku menerikan namanya sekali lagi. Tak jarang gema membantuku untuk memantulkan suara itu.
Aku terdiam. Aku memastikan dengan teropong ini. Ternyata tidak salah lagi. Aku berlutut. Aku lemas. Aku tahu itu Sarah, aku tidak perlu memanggilnya lagi. Dia sama sepertiku tersangkut dibebatuan tapi posisinya berbeda denganku. Posisinya terlungkup. Dengan muka berada didalam air. Kenapa? Kenapa berakhir seperti ini Air mata aku menetes hidupku seakan hancur seketika. Tapi aku sudah memutuskan aku sudah berjanji akan menemaninya. Aku pun menghampiri Sarah, sangat cepat aku menghampirinya. Tidak ada jalan menuju kebawah. Tapi toh aku masih bisa menghampirinya. Bisa menjemputnya. Atau kata yang lebih tepat dijemput oleh Sarah untuk bersamanya. Aku melompat dari tebing. 

Rabu, 24 April 2013

(C) Apakah aku bisa seperti mereka??



Jalan? Aku sudah biasa melakukan itu, kalau pun teman gue menyuruh gue naik ke mobil tapi aku tetap saja menginginkan jalan, yah , walaupun aku sendiri sepertinya tidak memungkinkan untuk berjalan jauh. “brukk” Rena dengan sigap menangkap aku. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Rena peduli. “Nggak kok gpp hehe, makasih” ujar ku dengan ramah. Aku pun kembali berjalan. Kemudian Nattali yang berada disamping kiri ku menyuruh ku untuk naik taksi. “Nggak kok Nat, jalan aja” kataku. Sebenarnya bukan aku yang tidak peduli dengan kepedulian mereka terhadap aku, tetapi aku ingin seperti yang lainnya. Seperti perempuan normal. Aku melihat jam, yang ternyata sebentar lagi jam kuliah akan dimulai. Tersisa 10 menit lagi. “Nat, Ren kalian duluan saja, sebentar lagi masuk” ujar aku. “Nanti kamu gimana?” tanya Nattali. “Udah kita barengan aja sampai kelas” tambah Rena. Kami pun sampai didepan  gedung kuliahku, tetapi kelas ku sekarang berada dilantai empat. Rena dan Nattali membantu ku untuk menaiki tangga. Tidak jarang aku hampir terpelesat. Tepat pukul 08.15 aku sampai didepan kelas. Greeekk. “Maaf pak terlambat” kata kami bertiga. “Kalian dari mana saja, ayo cepat masuk” kata Pak Tono. Untungnya mata kuliah sekarang ini yang mengajar Pak Tono, dia baik masih mengizinkan murid yang lainnya masuk jika terlambat.

Aku menempati kursi disamping Ghina yang berada di baris ke tiga. Hari ini aku sama sekali tidak menyimak pelajaran Pak Tono. Aku berfikir, apa yang terjadi pada aku sekarang? Kenapa semua orang membuat pengecualian kepada ku? Aku tahu aku sedang sakit, ini adalah penyakit teraneh yang aku derita. Kaki aku jadi cacat seperti ini karena sebuah virus yang menyerang saat aku terkena penyakit typus beberapa bulan yang lalu. Virus itu menyerang sel-sel yang ada di kaki ku jadi cara jalan aku terganggu. Boleh dibilang seperti pinguin. Namun aku tidak ingin di perlakukan seperti ini. Banyak keringanan yang aku dapat. Aku ingin seperti perempuan lainnya. Tanpa sadar aku menetaskan air mata dan menetes membasahi buku ku. “Kamu gak apa-apa Nad?” tanya Ghina yang mungkin melihat aku menangis. Aku pun terlonjak kaget lalu segera menghapus air mata ku. “Gpp aku baik-baik saja”. Pelajaran Pak tono pun selesai, aku tidak tahan untuk segera pergi ke kamar mandi. Kebelet pipis. Aku pun beranjak dari kursi ku lalu menuju kekamar mandi. Aku melihat Nattali dan Rena sedang asik mengobrol dengan yang lainnya. Aku tidak ingin menggangu mereka hanya untuk menemani aku ke kamar mandi. Aku pun pergi sendirian.

Aku lupa kalau kamar mandi tidak ada dilantai empat, aku harus turun ke lantai tiga. Aku melihat tangga, seperti melihat sebuah tepi jurang. Aku harus bisa melewati ini, aku tidak mau merepotkan yang lain ujar ku dalam hati. Aku turun satu langkah, lalu langkah kedua, disusul langkah ketiga. Aku berhasil sampai di pertengahan anak tangga. Aku kembali menuruni anak tangga itu lagi. Tapi, ketika aku menuruni anak tangga terakhir aku terpeleset dan jatuh. Untungnya aku dapat menahan jatuh ku memakai tangan. Brukk, adohhh aku menjerit. Aku melihat seseorang menghampiri aku. Aku mengira itu salah satu dari Nattali atau Rena. “Kamu baik-baik saja” ujarnya. Aku terkaget.  Bukan suara perempuan, tetapi suara laki-laki. Dia membantuku untuk berdiri. “Makasih yah” kataku kepadanya. “sama-sama” balasnya. Ini pertama kalinya, aku merasakan hal yang berbeda bertemu dengan laki-laki. Perasaan apa ini? “Nadya... Kamu kemana aja?, Kita khawatir” Nattali memanggil dari atas diikuti oleh Rena. Aku pun melepaskan pandangan dari laki-laki itu, lalu kami meninggalkannya. Ketika aku melihat kebelakang, dia masih melihatku dengan senyumannya yang manis. “Rena, Nattalie” aku memanggil mereka berdua. “Iya kenapa?” “Sepertinya aku jatuh cinta sama laki-laki tadi” kataku polos, mereka memandang ku kaget. Wajahku memerah. “Ehh Cieee.... tenang nanti kita bantuin” ujar Rena. Tetapi apakah dia tahu kalau aku itu perempuan cacat? Aku tidak bisa berjalan dengan normal? Apakah aku bisa berpacaran seperti perempuan lainnya?

Selasa, 02 April 2013

(C) Mungkinkah?


Ini hari yang sangat menyenangkan, gue bersama dengan pacar berjalan-jalan di sebuah taman. Taman ini sudah sering gue kunjungi setiap sore bersama pacar untuk melepas penat seharian kuliah. Gue dan pacar gue berbeda fakultas, namun kami di angkatan yang sama. Tidak ada obrolan sepanjang ini, hingga pacar gue mengatakan sesuatu “Ngomong kek, dari tadi diem aja”. Aku tersenyum lebar, gue memang orang yang malas ngomong. “Gimana skripsinya?” tanya gue memecah keheningan. “Yah, gitu deh, dah jadi sih, tinggal nunggu sidang aja, kamu sendiri gimana?” balasnya ke gue. “Ya sama juga” jawab gue. Kemudian kami duduk di salah satu bangku taman. Kami membicarakan semua tentang skripsi kami. “Lihat deh, itu anak yang pake kaos kuning lucu banget” Kata Vanna yang mengalihkan topik. “Iya, luc—“  gue tidak bisa menuruskan perkataan gue, seluruh tubuh gue tebujur kaku kesakitan. Gue pun berusahan menyembunyikannya dari Vanna, tapi semakin lama semakin parah. “Beb, kamu gpp?” tanya Vanna. Tadinya Vanna kebingungan melihat sikap gue seperti ini, tapi dia akhirnya mengerti penyakit gue sedang kambuh. Vanna pun langsung mengambil alat pembantu pernapasan dari tas gue. “Udah tenang beb, jangan di lawan” Vanna memeluk gue. Badan gue kejang-kejang tak karuan. Untungnya alat pernapasan ini membantu gue. Kejang-kejang gue perlahan hilang dan badan gue kembali tenang.
Vanna pun membuka pelukannya. “Beb, udah gak kejang lagikan?” tanyanya prihatin. Gue lelah akibat kejang-kejang tadi jadi gue hanya bisa menggeleng. “Yaudah, ayo kita pulang”. Stamina gue belum kembali pulih jadi beberapa kali gue harus istirahat duduk. Vanna dengan ikhlasnya mengurus gue yang sakit ini. Sesampainya di tempat kos gue, gue langsung tepar, hari sudah malam sekitar pukul 20.00. Vanna langsung menuju dapur belakang dan membuatkan gue nasi goreng. “Van, udah gak usah nanti aku aja yang buat, kamu pulang aja ke kosan” kataku. “Gak kok beb gpp. Aku mau ngurusin kamu dulu” jawabnya santai. Vanna pun kembali ke dapur, tak lama kemudian Vanna membawakan dua piring nasi goreng lengkap dengan telur dan sayurannya. Kami makan berdua di kosan. Setelah selesai makan Vanna bertanya yang membuat gue kaget, “Boleh gak aku nginep disini?” “Yah terserah kamu, lagi pula ini udah malam” jawab gue. Vanna kebinguan ketika ingin tidur dimana, dia pun naik ke keranjang gue. “Maaf ya jadi sempit nih” gue hanya terdiam, melihat Vanna terlentang di samping gue. Tapi, hasrat gue memuncak, ingin melakukan hal yang tidak-tidak. Gue pun berusaha menahannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Namun... “Beb, kamu mau gak jadi guling aku” kalimat itu terlontar begitu saja. Aku melihat tatapannya yang bingung. “Boleh beb, tapi jangan macem-macem yah, awas kamu!!” gue hanya tersenyum “Makasih ya beb, atas semuanya tadi” “Iya sama-sama “ dan kami tertidur lelap.
...
Beberapa minggu kemudian, kami sidang skripsi dan kami berdua lulus dengan nilai yang memuaskan. Untungnya kami berdua sudah dapat pekerjaan, walaupun wisuda masih menunggu waktu. Namun, gue malah semakin deg-degan gak karuan. Gue ingin melamar Vanna. Gue ingin dia menjadi pendamping hidup gue selamanya. Tapi  gue sangat ragu dengan keadaan gue ini, yang berpenyakitan. Mungkinkah dia mau?.  “Van, aku pengen ngomong sesuatu nih” kata gue. “mau ngomongin apa sih? Kok kayaknya penting bener” Vanna tersenyum lebar. Gue yakin dari senyumannya, dia tahu apa yang akan gue lakukan. Gue mengajaknya ke taman kampus yang baru. Taman yang sangat Indah dan pastinya sepi, tidak banyak orang. Gue pun memberikannya sebuah cincin sambil berkata “Mau kah kau menikah dengan ku?, walaupun aku ini mempunyai penyakit aneh yang akan memngganggu keluarga, keuangan dan mungkin wak—“ Vanna menutup bibir gue dengan satu jarinya. Lalu mendekat perlahan. “Apapun keadan kamu, aku mau menikah dengan mu”  Vanna memasukan jari manis kanan ke cincin yang aku pegang.