Selasa, 23 Juli 2013

(C) Rindu


Seperti bisa, aku menunggunya disini bersama dengan orang-orang lain, mereka tampak bahagia karena seberntar lagi mereka akan berjumpa dengan seseorang yang mereka sayangi. Aku melihat di dinding samping kanan yang bejarak 20 meter dari tempat aku berdiri, ada sepasang anak bersama ayah mereka, mungkin mereka menunggu Ibu mereka yang sudah lama jauh dari mereka. Anak-anak itu meloncat-loncat tak sabar menunggu ibu mereka kembali ke hadapan mereka. Aku pun mengalihkan pandangan kearah kiri tepat disebelah kiri ku sepasang orang tua yang sudah menunggu anak mereka pulang. Mungkin anak itu melanjutkan sekolahnya disana dan orang tuanya menunggu kembali ketanah air tercinta. Banyak suasana menyentuh disini, begitu juga denganku yang sudah lama ingin bertemu kekasih ku. Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Mungkin jika di tambahkan, 4 tahun lamanya sudah aku dan dia berpisah. Sekitar 4 tahun lalu tepatnya di bulan Agustus, aku harus berpamitan karena aku harus mengejar cita-citaku ke Jepang, aku mendapatkan beasiswa disana untuk mengambil S2 selama 2 tahun, aku tidak di izinkan untuk pulang dari kampus ku di Jepang karena biaya untuk kembali bukanlah biaya yang murah. Setelah aku selesai dengan 2 tahunku, ketika aku kembali ke Jakarta, sehari sebelum tiba, giliran kekasihku untuk mengejar cita-citanya ke negeri yang terkenal dengan tembok raksasanya itu dengan waktu yang sama dengan ku, jadi aku harus menunggu, lagi-lagi harus menunggu dengan kurun waktu yang tidak sebentar. Janji sehidup semati kami, 4 tahun bukanlah hal yang mudah untuk bepacaran Long Distance Relationship atau bahasa gaulnya LDR. Sungguh sesuatu yang bukan main-main lagi.
                Ting Tong... bunyi pengeras suara itu membuat aku terbangun dalam lamunan. Pengumuman itu memberitahukan pesawat yang di tumpaingi kekasih ku itu harus delay selama satu jam, lagi perjumpaan kita harus terundur, aku pun sudah sangat lelah berdiri selama berjam-jam jadi aku memutuskan untuk mencari restauran yang nyaman sambil manunggu. “ada ada saja ini yang mengganggu ku” gumam ku dalam hati sambil aku duduk dengan tenang di sofa lebut. Aku jadi teringat dosa ku yang hampir terlupa, godaan besar menghampiri ketika berada ditahun ketiga aku tidak berjumpa dengan kekasihku. Waktu aku berjalan di mall daerah Pondok Indah, aku bertemu dengan mantanku bernama Ratih. Awalnya aku dan Ratih hanya bertemu dan makan bersama, lagi pula dia hanya sedang berjalan-jalan sendiri. “Memang kenapa tidak jadi menikah?” tanyaku penasaran sesudah dia memberitahukan pembatalan pernikahannya kepadaku. “Karena aku masih memikirkannya” jawabnya pendek. Dia tidak memberitahuku dengan jelas penyebanya. Lalu tak lama dia memintaku untuk mengatarkannya pulang, menuju ke apartemennya. Karena aku sendiri tidak ada kerjaan saat itu, aku pun setuju untuk mengatarnya pulang. Singkat cerita ketika aku sampai didepan pintu apartemennya. Dia mengajakku untuk masuk, aku pun sudah tahu maksudnya. Tapi aku tidak bisa menahan nafsu ku yang terpendam dalam 3 tahun belakangin ini. Dia mulai mendorong ku menuju ke tempat tidur, lalu melumat bibirku dengan bibirnya. Awalnya aku sempat terhipnotis dengan nafsunya, aku pasrah karena aku benar-benar sudah tidak tahan. Sebelum aku melepas bajunya, entah mengapa aku teringat dengan pesan kekasihku, Nadia. Aku pun melempar Ratih kesamping. Aku duduk termenung, memikirkan apa yang telah aku lakukan? Aku mengkhianati Nadia!. “Maaf aku tidak bisa, hati ku hanya untuk Nadia” aku kembali memakai bajuku yang sudah terbuka lalu keluar dari apartemen.
                Kring.... Hp aku berbunyi, lamunanku kembali buyar, ternyata Nadia sudah keluar dari pesawat. Aku buru-buru meninggalkan restoran. Aku berdiri di tempat pintu keluar dan tidak lama aku melihatnya keluar. Aku melihatnya... lebih cantik dari yang kuduga, apakah ini pengaruh dari sudah lama aku tidak melihatnya. Rindu yang sudah tidak tertahankan. Dia mencari ku, namun aku sudah menatapnya lekat-lakat, lalu dia melihat kearahku. Benar-benar sesuatu yang sangat indah, kami pun berpelukan seakan tidak mengenal malu dilihatin orang hanya untuk melepas rindu semata. “Kamu tambah cantilk” pujiku, “kamu makin keren aja”, balasnya aku mengambil barang bawaannya yang banyak sekali, mungkin oleh-oleh. Kami pun berjalan menuju ke pintu keluar. “Jadi apa kamu tetap menepati janji kita?” tanyanya memecah lamunan. Aku terkejut setengah mati. Dia menatapku dari pekukanku ke bahu kirinya dan tetap mendorong troley. “Tetap setia denganku?” tambahnya. “Iyap pasti dong” jawabku . Lalu Nadia mencubitku. “Ah jangan bohong. Jujur deh” . Aku terdiam seakan dia sudah membaca pikiranku dan sedang melihat aku dengan Ratih berduaan di kamar. Aku tersenyum. “Tuh kan... udah lah kamu kan emang kaya begitu orangnya. Nanti cerita aja. Aku gak marah kok, aku yakin cobaan pasti ada dan kamu bisa mengatasinya” dia memelukku erat. Aku merasa ciut, sekarang Nadia sudah lebih dewasa dari pada aku. Aku harus menceritakan cerita ku dengan ratih dan tidak akan mengulangi kejadian itu lagi.

Jumat, 28 Juni 2013

(C) Reuni Angkatan


Sekarang gue melihatnya lagi, dia berbeda dari yang dulu, sangat berberda. “Haii” gue menyapanya. Dia sedang meminum segelas minumannya dan hampir tersedak ketika gue memanggilnya. Dia tidak langsung menyapa, pertama dia mengerutkan alisnya seakan berfikir keras makhluk apa gue ini, kemudian dia barumenyadari keberadaan gue. “Elu Fitri yah??” katanya ragu. Akhirnya....  dia mengenal gue juga. “iya... udah lama kita tidak ketemu” kata gue tapi suara gue sedikit berubah tidak tahu kenapa, seakan gue baru mengenal laki-laki didepan gue ini. “Bagaimana kabarnya?” tanyanya. “Baik kok” jawab gue dengan cepat, perasaan gue seperti bercampur aduk, tidak tahu kenapa. “Yuk ngobrol dulu sebentar” ajaknya. Penyanyi sedang menyanyikan sebuah lagu diatas panggung, suasana pesta juga meriah mungkin dia sedang ingin mengobrol tanpa harus berteriak. Aku mengikutinya, gue tidak lepas-lepas menatap jas hitam yang dikenakannya, terlihat cocok sekali di malam yang pernuh nostalgia. Sesampainya di balkon gedung 6 itu dia bersender di pager pembatas, lalu menatap gue, iya menatap gue. “Elu cocok pake gaun itu” sanjungnya. Gue pun tersipu malu, kemudian kami bercakap-cakap kejadian selama 5 bulan setelah kelulusan kami. Setelah beberapa lama gue ingin menyinggung tentang masa kuliah kami. mungkin dia tidak ingin mengingatnya. Itu masa tersuram yang pernah dialaminya, yang disebabkan oleh teman sejurusannya, oleh gue sendiri.
Jika diingat-ingat, atau mungkin sebaiknya tidak perlu diingat, gue menyakiti hatinya waktu itu. Sejak awal gue masuk kuliah gue berteman dekat dengannya, dia selalu menemani gue ketika gue sedang sendiri entah ke kantin atau ke perpustakaan untuk meminjam buku. Gue pun juga sama, gue selalu mengajarinya belajar, dia sangat susah untuk mengerti mata kuliah di jurusan kami. Gue membantunya belajar sehingga kami bisa lulus tepat 4 tahun dan wisuda bebarengan. Namun kejadian itu berawal ketika kami baru saja lulus skripsi kami, dia menembakku untuk menjadi pacarnya. Awalnya gue ragu untuk menerimanya, karena kami sudah sangat nyaman hanya sebatas teman. Akhinya gue menerima dia. Namun, umur pacaran kami hanya sebatas satu bulan. Gue juga tidak menyangka kenapa gue bisa menjadi perempuan yang sangat cemburuan padahal dia melguekan hal tersebut hanya sebatas fans. Kami bertengkar hebat karena dia lebih menyukai idol group kesukaannya dari pada gue. Setiap minggu, gue harus mennunggunya sampai selesai konser idol itu, harus rela melihat display picturenya yang berfoto perempuan cantik nan mulus itu dan menerima foto kami berdua yang kalah banyak dengan foto idol itu. Yap, gue saat itu sangat cemburu berat hingga semua logika hilang. Dia mencoba untuk menjelaskan secara detail ke gue, tapi tetap saja dimana nafsu yang berjalan di situlah penyelan terjadi. Gue pun lost contact sampai saat ini kami bertemu, bahkan saat wisuda gue muak melihat mukanya dan berusah menghindar bila dia ingin bertemu dengan gue.
"Dorr" kagetnya. Lamunan gue tentang masa lalu buyar seketika dan memaksa gue untuk kembali ke kenyataan. "Ah nggak kok gpp" kata gue yang terlontar dengan cepat. "Dih gpp gimana?" Tanya dia aneh. Sebenarnya bukan dia yang aneh tapi guenya aja yang salting didepannya. Apa gue ungkapkan saja perasaan gue sekarang? Pikiran itu terlintas didalam otak gue. Ah tidak, mana mungkin dia menerima ku lagi. Tapi pikiran itu terus mendesak di otak gue, tidak hanya itu hati lah yang paling mengerikan, dia terus mendorong gue untuk mengucapkannya. “Jadi...” sahut gue yang ingin menanyakan hal tersebut.  “Iya?” dia menatap gue lekat-lekat, matanya seakan membaca pikiran gue, membaca jauh kedalam hati gue. “Gimana perasaan elu ke gue sekarang?” bodoh, itu pertanyaan yang sangat aneh, dia hanya mengerutkan keningnya sebentar lalu menantap jauh ke arah bintang-bintang yang bertebaran di langit. “Sebenarnya.....” ucapnya. Gue menunggu jawaban itu, Tiba-tiba dari dalam terdengar sebuah lagu berjudul Heavy Rotation, kami diam sejenak, lalu tertawa geli seakan masa lalu itu masih tetap melekat dii otak kami, “Jadi sebenarnya...” ucapnya, dan gue menunggunya lagi, namun seseorang memanggilnya  dari arah belakang.  Panggilan untuknya itu bukan namannya? Tapi sebuah panggilan sayang. Dina mendekat, gue masih tidak percaya kalau yang memanggil itu adalah teman dekat gue juga saat kuliah. “lagi apa kalian berdua disini” tanya Dina. Dina langsung menghampiri dia dan menggandeng tangannya. Sejak kapan? Mereka jadian. Suasana menjadi aneh antara gue, Dina dan dia. Untungnya ada seseorang yang memanggil kami untuk masuk kedalam karena acara akan dimulai. Gue berjalan dibelakang melihat mereka berdua bermesrahan. Sejujurnya gue tidak keberatan jika mereka berpacaran atau langsung menikah sekalipun, namun kenapa hati ini selalu berkata sebaliknhya?

Selasa, 11 Juni 2013

(C) Gossip Gebetanku


Jadi begitu ceritanya. Vina mengiyakan sesuatu yang seharusnya iya tidak suka. Iya terpaksa untuk tidak mengungkapkan di depan taman-temannya. Teman-temannya pun tidak memerhatikan terlalu jelas. Namun hanya Fani yang mengetahuinya. Fani terus memandang muka Vina seakan ada sesuatu didalam matanya. Vina pun akhirnya menatap Fani. “Kamu tidak apa-apa Vin?” tanya Fani khawatir. Sudah jelas ada yang salah dengannya. “Nggak kok, aku gpp” Vani menjawab dengan senyum yang pastinya ada sesuatu yang disembunyikan. “Udah tidak usah dipikirin, Dia gak kaya yang mereka omongin tadi kok, mungkin” jelas Fani. Vina tersentak kaget, sampai-sampai dia berhenti untuk melangkahkan kakinya. Seorang SPG hampir saja menabraknya dari belakang. “Udah aku tau kok, yuk kita ke toko sepatu itu” tambah Fani. Vina yang masih tersentak kaget langsung di geret Fani ke toko yang berada di seberang hall mall. “Gimana kamu bisa tahu fan?” tanya Vina, sambil memilih sepatu di rak paling atas. “Ketauan kok Vin dari muka kamu, kamu suka kan sama dia?” ucapan Fani langsung memukul mundur Vina. Vina hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak sepatu itu. Tidak lama dia menurunkan kepalanya seperti ada sesuatu dibawah. “Yuk kita omongin aja di foodcourt”
                “Jadi sejak kapan?, kok bisa?” tanya Fani. “Iya, aku sendiri juga gak tau kenapa? Dia itu baik banget, perhatian sama gue..” “Gak kamu doang Vina, semua orang, kata temen-temen dijurusannya dia itu playboy terus sering nidurin cewe gitu” selak Fani. “Iya Fan, tapi kan belum ada yang pernah lihat dia kaya begitu, gosip doang” Vina membela. “Ya aku sih gak maksa, banyak cewe yang jaga jarak sama dia takut jadi korban” tambah Fani. Vina hanya diam dan tidak berkata apa-apa, sibuk melihat sekitar dan orang-orang yang berlalulalang. Kedekatannya dengan cowo itu sangat membuatnya tidak nyaman, banyak yang berperasangka buruk tentang dirinya. Cowo itu banyak teman cewe tapi dia sendiri, mungkin ini yang dirasakan Vani terhadap cowo itu. “Emang udah seberapa dekat?” tanya Fani. “Yah sudah tahap modus-modusin gitu, aku juga udah kasih sinyal lampu hijau kok ke dia” beber Vina. “Buset, sejak kapan tuh, kok gue gak tau” ”yah udah lama lah pokoknya”. Tiba-tiba, mungkin dunia ini sangat lah kecil. Mereka melihat cowo itu, cowo yang mereka omongin dari tadi. Rendi. Mereka berdua sibuk berdebat, disapa, dicuekin, pura-pura gak liat, kabur? “Aduh gimana nih?” mereka berdua bertanya bebarengan.
                “Hai” Disapalah jalan yang mereka pilih. Vina terlihat salting dan Fani justru sebaliknya takut dan males. “Gue lagi sendiri aja, nyariin kamu juga sih hehe” kata Rendy. Muka napsunya sudah terlihat jelas dimukanya, itu yang di pikirkan Fani saat itu juga. “Oh kalo gitu aku tinggal yah kalian berdua” ujar Fani, namun sebelum pergi, Fani berbisik kepada Vina. Hati-hati yah. Fani pun pergi entah kemana. “Jadi? Kok kamu tahu aku ada disini?” tanya Vina. Vina mulai terngiang dengan omongan teman-temannya tentang Rendy. “Yah tau aja, yuk duduk dulu” ajak Rendy. Rendy jalan terlebih dahulu, lalu Vina berjalan dibelakang. Bisa ditebak perasaan Vina sangatlah campur aduk, antara salting dan takut. Mereka duduk tidak jauh dari tempat Vina dan Fani duduk. “Kamu bingung yah?”  Vina kaget, Rendy seakan bisa membaca pikirannya. “Iya gue tahu kok, semua yang mereka omongin itu bener” ujar Rendy. “Maksudnya apa Ren?” Vina pura-pura tidak tahu. “Gue sering mainin hati cewe dan lain sebagainya, kamu pasti tau kan?” Vina terdiam, dia heran dengan Rendy, Mengapa cowo bisa mengungkapkan kelemahannya di depan cewe yang dia  suka dan baru sekedar gebeta.  “Lalu?” Wajah Rendy memerah, terlihat sedih, dia menyesali semua perbuatannya. Vina yang merasa kasihan, memegang tangan Rendy. Dia tahu, Rendy butuh seseorang untuk mengubah hidupnya. Rendy tersentak kaget. “aku kesini untuk nembak kamu, aku sayang banget sama kamu Vin, tapi seperti ini, aku janji kalau kamu nerima aku. Aku akan berubah. Semuanya.  Jadi apa jawaban kamu?”  Dunia hening seketika. Lalu... “Iya Ren aku mau” 

Senin, 27 Mei 2013

(C) Tepi Sungai


Aku tidak akan pulang sampai kamu kembali kepada ku , aku yang salah. Baru pertama kalinya aku meelakukan kesalahan terbesar dalam hidup ku. Hanya dia satu-satunya dalam hidup ku. “Sarah...” suaraku lantang menjerit ke berbagai arah, tak henti-hentinya aku memusatkan perhatian ke arah sungai dan sekitarnya. Aku berjalan dibebatuan yang amat licin. Ini adalah tanggung jawabku. “Sarah....” sekali lagi aku menjerit, mungkin sudah ratusan kali aku memanggilnya. Aku mencoba terus berjalan melawan aliran sungai ini. Pikiranku kacau balau, tidak mengerti apa yang terjadi. Aku mengingat pesan sarah saat pertama kali datang kesini. Maukah kau menemani aku. Sebuah kalimat yang baru pertama kali diucapkannya. Aku tidak menjawab, hanya sebuah senyuman yang gue lontarkan. Dia pun membalasnya dengan senyuman, lalu dia masuk kedalam tenda. Selama berkemah, Sarah jarang untuk bergabung dengan pekemah lainnya. Dia menghabiskan waktu didalam tenda dan melihat sebuah foto, foto kenangan saat bulan madu kita di pulau Jeju, Korea. “Kamu kenapa?” aku sengaja mengagetkannya. “Nggak kok gpp” lalu dia merubah aplikasi di tabnya. “Kok kamu aneh yah, sekarang-sekarang ini” tanya ku memberanikan diri. Dia terlihat kaget dan melemparkan guling ke mukaku. “Dasar.... ngawur kamu” wajahnya mengejek. Lalu mendorong ku ke matras. “Kira-kira kedengeran gak yah?” dia menggodaku. Aku hanya tersenyum, posisinya sekarang diatas aku. “Ya tergantung, lagi pengen banget apa tidak” jawab ku, untung aku mendirikan tenda ini di paling pinggir jadi tidak banyak orang yang mondar mandir. Yah aku tidak perlu menceritakan Hal selanjutnya pada kalian.
“Sarah.... Sarah....Sarah....” hari sudah menjelang malam aku tidak bisa menemukannya. Kakiku sudah pegal, sudah berkilo-kilo aku di tepi sungai ini. Matahari sudah tidak terlihat hanya cahayanya yang kini kian meredup. Aku berusaha mendirikan sebuah tenda dari keletihanku. Tidak berhenti-berhentinya aku menangis dan menyesali keputusan aku tadi siang. Tapi keletihan aku ini melebihi semua penyesalan ku. Aku pun tertidur. Pagi-pagi sekali aku dan sarah mengikuti Rafting, namun karena kami sudah terbiasa kami berdua berjalan sendiri tanpa ditemani oleh seorang pemandu. Selain itu kami juga menyukai tantangan. Jadi pilihan inilah yang kami ambil. Pilihan yang sangat salah. Ternyata arus di sungai sangat deras, perahu kami terbalik dan kami berdua terpisah entah kemana. Aku pingsan terbawa arus. Saat aku tersadarkan diri, aku tersangkut di sebuah bebatuan. Sarah tidak ada disampingku. Matahari terbit, cahayanya membuatku terbangun. Aku harus mencarinya hingga ketemu. Aku melipat tenda ku dan pergi mencarinya. Jalan mulai tidak semulus kemarin. Aku harus berjalan menjauhi sungai karena tidak ada jalan di tepi sungai. Jalan didominasi menanjak, memasuki hutan lalu keluar lagi kearah sungai. Aku menyiapkan sebuah teropong untuk bisa melihat sungai lebiih jelas. Tebing-tebinbg di sebelah kiriku semakin tinggi, begitu juga di sebelah kananku sungainya semakin jauh kebawah. “Mengapa aku bisa selamat dari arus sungai sekencang ini?” pikirku dalam hati.  “Sarah.....” aku menerikan namanya sekali lagi. Tak jarang gema membantuku untuk memantulkan suara itu.
Aku terdiam. Aku memastikan dengan teropong ini. Ternyata tidak salah lagi. Aku berlutut. Aku lemas. Aku tahu itu Sarah, aku tidak perlu memanggilnya lagi. Dia sama sepertiku tersangkut dibebatuan tapi posisinya berbeda denganku. Posisinya terlungkup. Dengan muka berada didalam air. Kenapa? Kenapa berakhir seperti ini Air mata aku menetes hidupku seakan hancur seketika. Tapi aku sudah memutuskan aku sudah berjanji akan menemaninya. Aku pun menghampiri Sarah, sangat cepat aku menghampirinya. Tidak ada jalan menuju kebawah. Tapi toh aku masih bisa menghampirinya. Bisa menjemputnya. Atau kata yang lebih tepat dijemput oleh Sarah untuk bersamanya. Aku melompat dari tebing. 

Selasa, 21 Mei 2013

(C) Kesetiaan


Angin kencang menerpa kaca di kamar itu, suara gebrakan kencang dari samping kanannya membuatnya terbangun. Dia terjaga disetiap malam, tidak tahu apa yang harus dikhawatirkan dan apa yang harus dia lakukan. Dia kembali terlelap, mungkin terlelap dalam mimpi yang membuatnya akan terbangun semalaman ini. Malam dengan bulan pucat seperti wajah seorang wanita sesudah bersenggama. Lagi-lagi dia mulai terbangun melihat kearah yang sama didepannya. Dia tersenyum, senyumannya seperti tiga tahun lalu, dimana suasana disana seperti bunga mawar yang bermekaran di musim semi. Ketika cinta mereka bersemi. Mungkin aku tidak bisa menceritakan cinta mereka lebih lanjut, yang pasti cinta itu sangatlah setia dan sejati. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka, tapi mugkin saja bisa. Dunia tidaklah semudah yang kita kira. Hari ini matahari terbit, dia tertidur pulas, semalam dia seperti orang aneh. Merem, melek, merem, melek... selama berjam-jam. Kasihan sekali rasanya. Sinar matahari mulai menyinari ruang kamar. Hangat dari dingin malam ditambah dengan AC berunjuk pada suhu 22 derajat. Dia terbangun, rambut panjangnya lecek di gesek oleh kursi tidurnya, mukanya pun tidak kalah lesu di makan oleh keletihan semalaman. Dia memerhatikan ranjangnya lagi, seakan harus ada yang diperbaikinya. Dia mendekati, badanya letih tak bertenaga, matanya masih setengah terbukan, kalo disamakan dengan lampu, mungkin sebesar 5 watt.
Diatas aku melihat ada sebuah penampakan. Penampakan malaikat, cantik, indah, menemani indah mimpiku. Aku pun bersyukur. Itu bukan hanya sekedar mimpi namun sebuah kenyataan. Dia tersenyum seakan menunggu sesuatu , tapi toh aku hanya membuka mata saja, seperti orang normal ketika bangun dari tidurnya. Tangannya mulai membelai rambut ku serta pipi ku. Lebut sekali tangannya, aku terbangun seluruhnya. Kami berdua bertatapan, dia selalu terseyum untuk ku. Aku melihatnya pergi, aku sedih, tapi aku sadar dia tidak mungkin berada di sampingku terus. Lebih tepatnya berada dihadapan ku. Diam. Suasana hening. Aku berharap dia hanya meninggalkan ku sementara, mungkin ke toilet atau mandi, karena ini kan masih pagi. Aku teringat ketika aku memberitahukan dia tentang siapa aku ini sebenarnya. Aku melihatnya sedih, kecewa, agak lama untuk menunjukannya senyuman kearah ku. Dia hanya berkata “Tidak apa-apa yang penting kamu berusaha dulu, jangan menyerah” kata-kata itulah yang membuat aku kuat seperti ini. Melawan diri sendiri. Sesuatu yang sangat susah untuk dilakukan. Lukanya tidak terlihat namun sangat parah dan sakit, lebih sakit dari pada terlindas oleh truk. Aku kembali ke kata-katanya tadi, aku tidak tahu apakah dia berbohong atau tidak. Tapi setelah hari demi hari berlalu di ruangan ini aku yakin tidak. Dia pasti akan menunggu ku .Menunggu untuk selamanya.
Aku sudah tidak tahan 2 minggu lamanya sudah aku dikamar ini. Menunggunya. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, kenapa aku menghadapi cobaan ini, apakah aku harus melanjutkannya atau memilih yang lain. Memilih orang lain yang dapat menuntun ku ke masa depan yang lebih baik. Tapi, aku mencintainya, aku sudah mengorbankan seluruh cintaku padanya. Dan harus berakhir seperti ini. Kenapa? Kenapa Tuhan memilih dia untuk penyakit ini. Dia sudah tidak lagi bisa disembuhkan. Hanya tinggal menunggu waktu. Aku sudah berjanji padanya untuk tidak meninggalkannya ketika Ia menjemput ajalnya. Tapi..... aku menghianatinya. Kemarin aku meninggalkannya di rumah sakit. Pagi hari aku tersenyum padanya, untuk memberitahukan sesuatu. Dia hanya melihatku dengan tabung oksigen di mulutnya, badannya sudah tidak bisa bergerak hanya bola matanya saja yang dengan lekatnya melihat mataku. Kini aku tidak dapat melihat matanya lagi. Tinggal lah sebuah gundukan tanah yang menguburnya dengan batu nisan yang bertuliskan namanya. Aku berdiri disampingnya bersama suami ku yang kunikahi kemarin.  

Rabu, 15 Mei 2013

(C) Restoran Puncak


Aku dengannya disini, tapi itu seakan tidak membuatku merasakan sesuatu disini. Dia diam saja dan tidak berkata apa-apa. Jiwanya seakan melayang kemana-mana dan hanya badannya yang berada didepan ku ini. Dia menyeruput segelas es jeruknya, lalu kembali memandang ke arah kiri. Kearah hamparan luas sawah dan pengunungan. Seharusnya aku juga menikmatinya di restoran yang berada di daerah puncak ini. Tapi aku hanya terpaku padanya, aku menginginkan dia berkata sesuatu, sesuatu, apapun itu. Aku menunggunya. Semenjak dia sampai di tempat ini, ia seperti patung bisu. Sekali lagi aku menunggu.
Hingga dia pun akhirnya berdiri. Tidak ada sebab ataupun akibat yang membuatnya berdiri. Aku yang sedang memerhatikannya pun ikut terkejut. “Ada apa?” tanya ku. Aku memandangnya dengan lekat, tanpa berkedip sedikitpun. “Ikut aku” katanya . Dia menuju ke sebuah pojok restoran yang berujiung pada sebuah dermaga yang menjorok ke tebing. Aku mengingatnya, 3 tahun yang lalu dia membawa ku ketempat ini. Dia menyatakan sebuah kata-kata yang amat indah di hatiku. Kata-kata yang tidak akah hilang dalam hidupku, sebuah kata cinta yang meluluhkan hati. Tapi itu sudah lama, sebelum aku mengambil S2 di luar negeri. Mungkin hatinya seperti tertimpa beribu-ribu ton beras ketika mendengar hal itu, saat itu dia belum menyelesaikan S1nya.
Ketika dia menyelesaikan S1nya, aku juga selesai S2 aku di tahun yang sama. Aku pun pulang membawa gelar S2 untuk bekerja di Jakarta. Dia menjemputku dibandara dan membawanya ke tempat ini. Dan sekali lagi aku katakan, aku menunggu kata-katanya, sudah lama kami tidak bertemu dan mengobrol 2 tahun lamanya. “Jadi...” dia mulai mengeluarkan suaranya. “Iya?” aku berusaha memancingnya untuk mengatakan sesuatu. “Apakah sebaiknya hubungan kita di sudahi saja?” deg.... tubuhku mematung, apa aku tidak salah dengar? Dia menginginkan putus? “Hah?maksud kamu beb? Kenapa harus putus? Kita udah pacaran lama, aku pun ingin kamu melamarku, aku ingin sekali mendampingi mu dan hidup bersama kamu” kataku panjang.
Dia lunglai diatas bambu pembatas. Aku berada tepat dibelakangnya. Aku tidak bisa memahami maksudnya. “Aku baru saja lulus S1 dan belum mendapat pekerjaan, sedangkan kamu sudah punya S2 kerjaan pun mengantri didepan kamu, bagaimana aku dianggap orang nantinya. Aku yang menjadi suami nanti bukan kamu? Aku yang harus menafkai keluarga “ kata-katanya membuat aku shok setengah mati. Ini kah maksudnya? Jadi ini yang menyebabkan dia ingin putus dengan ku. Aku tidak mengerti harus berkata apa. Semua yang dikatakannya benar. Kita memang di angkatan yang sama saat kuliah. Nilai aku saat kuliah bagus-bagus dengan 24 sks setiap semesternya. Lain dengannya, banyak mata kuliah yang mengulang, mendapatkan nilai C pun sudah Alhamdulialah.
Aku mendekatinya, matanya masih menatap kearah matahari yang sudah berada diufuk siap tenggelam bersama cinta kami. Aku memeluknya dari belakang, kepala aku senderkan dipunggungnya. Aku memeluknya dengan erat tidak menginginkan dia pergi meninggalkan ku. Sudah banyak kenagan yang sudah kami lewati berdua . Aku tahu dia pasti masih mencintaiku, dia masih sayang pada ku, hanya sebuah jenjang yang membedakan kami sekarang. “Beb” dia memanggil. “Iya apa?” aku berusaha positive thinking apa yang akan dikatakannya. “Maaf beb, aku tidak bisa, sekarang perbedaan kita sudah jauh, kita sudah tidak sama seperti dulu, mahasiswa baru yang kere, mau makan harus ngutang dulu” bebernya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Aku eratkan pelukanku. Tidak, aku tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi.  

Rabu, 01 Mei 2013

(C) Telepon Rumah


Kring....  Kring....
“Halo”
“Halo Beb” Pacar ku menelepon, waw senang sekali rasanya.
“Ada apa beb? Tumben nih nelpon biasanya aku duluan” jawab ku senang.
“Lagi kangen aja, kamu lagi ngapain?”
“Biasa ini lagi belajar” aku mulai senyum-senyum sendiri.
“Oh... yaudah kalau begitu met malam beb”
“iya, met malam juga” akhirnya aku tidak harus buang-bunga pulsa untuk menelponnya.
Jleb........

Kring.... Kring....
“Halo, tadi gimana ulangan Kimianya Sukses?”  tanyaku
“Sukses dong sayang, kan kamu yang ngajarin”
“Bisa aja kamu, terus ini sekarang lagi apa?” tanya ku lagi.
“Dari kemaren nanyanya lagi apa melulu?”
Gue mulai kehabisan kata-kata, maklum udah lama banget nih pacaran. Semua  gombalan untuknya dah habis.
“Aku tadi abis ulangan matematika loh susah banget” aku mencoba mencari obrolan yang lain.
“ooo haha, yaudah yang pentingkan udah belajar, dah ... aku mau tidur dulu”
Jleb...........
Sepertinya dia bete

Kring....Kring.....
“Halo” aku mengangkat telpon
“Dek kalo nelpon jangan lama-lama dong tagihannya besar nih”
Waduh!!! Nyokap gue....
“Iya mah, lain kali gak telpon lama-lama”
“Kamu nelpon siapa sih? Pacar yak? Jangan Pacaran melulu Belajar makanya”
Gong-gongan  Nyokap pun meraung-raung di telinga ku, seperti rentetan peluru senapan mesin di perang dunia kedua.
“Nggak ah, perasaan mama aja kali”
Aku berusaha mengelak, yah walaupun nanti ada bukti yang akan di tunjukan
“Enak aja, ini mama bawa buktinya”
Tuhkan baru di bilang
Jleb..........
Aku menutup telponnya secara paksa.

Aku berfikir keras, bagaimana jika mama tahu aku selalu pacaran di telpon, aku kan cowo yang udah dewasa. Yang bisa ngatur kapan belajar kapan pacaran. Begitu saja marah-marah. Nyebelin banget. Gue gak suka sama nyokap gue.

Malam itu mama membuka selembaran tagihan telpon, yang detailnya tertulis juga disitu. Ada satu nomor yang selalu muncul. Yaitu 021-2456098. Yah benar itu nomor telpon pacar ku. Habislah aku kena omel mamah.

Catatan tagihan telpon rumah:
08765213444: Nyokap
08174647839: Santi
0937323234: Ike
021-34444888: rumah Dede
08123456709: Joko
021-2456098: Rumah Joko