(Part 1) Earth was gone, New world has come, and The true love is growing
Terompet
itu kembali terdengar, tidak hanya itu, barisan kawanan tentara ikut mengikuti
sebuah keranda yang ada di depannya. Aku mengira itu adalah sebuah peri pohon
yang tinggal di Meslodia, mungkin dia selesai mengunjungi walikota Amphonarya
yang sedang dilanda berbagai masalah. Aku hanya duduk santai dan meminum
secangkir teh. Aku melihat para pelanggan lain meninggalkan meja mereka dan
langsung mendekati rombongan, terutama kaum laki-laki. Peri pohon Meslodia
terkenal dengan kecantikannya. Tubuh tinggi, langsing dan lekukan tubuhnya
seperti gitar spanyol (spanyol adalah negara yang berada di Bumi yang sekarang
telah hancur karena ledakan bintang yang bernama matahari itu). Amphonarya
adalah salah satu negara yang diciptakan manusia setelah bumi hancur. Hanya dua
juta manusia yang selamat dari musibah itu dan menuju planet Kesmephere.
Ukurannya jauh lebih besar dari bumi, mungkin perbandingannya 1:16. Semua
manusia tepencar-pencar di planet ini selain Amphonarya ada negara lain yang
berisi manusia. Disini Meslodia adalah salah satu tetangga Amphonarya. Mereka
sangat baik dan membantu membangun negara manusia sejak 20 tahun yang lalu. Aku
tidak tahu pertemuan pertama kami seperti apa, karena aku baru berumur 10 tahun.
Dan aku sendiri, aku terpilih masuk ke kapal canggih itu yang dibuat oleh Korea
untuk selamat dari Bumi. Ayah dan Ibuku dan teman-teman ku juga tidak naik ke
kapal itu. Hanya aku, ya hanya aku, anak perempuan yang diasuh oleh nenek tua
bernama Albert, hingga aku sebesar ini sekarang.
Setelah
rombongan lewat aku membayar secangkir teh ini dan melanjutkan tujuanku ke
Meslodia. Aku harus bertemu dengan temanku yang seorang peri itu. Sebenarnya
bangsa mereka bernama Meslodianga. Namun karena kami para manusia susah
menghafalnya, kami hanya memanggil mereka Angel
dalam bahasa di negara ku dulu namanya peri.
Meslodia letaknya lumayan jauh. Dari tempat tinggalku saja di Ibu kota
Amphonarya , Narya hingga perbatasan ini saja membutuhkan waktu 2 jam, padahal
hanya berjarak 20 km. Aku merindukan bumi ku dulu, benda yang bernama mobil
itu. Disini kami kembali ke masa primitif, menggunakan kuda. Padahal kami sudah
20 tahun disini dan kami baru bisa menciptakan kereta kuda yang harganya
lumayan mahal. Jembatan yang ada di depan ku ini menghubungkan Meslodia dan
Amphonarya, panjangnya sepanjang 2 km menghubungkan ngarai yang sangat dalam.
Aku melihat matahari Och dan Tam sudah mulai condong ke utara tandanya sudah
melewati tengah hari. Setelah menyebangi perbatasan, aku di periksa oleh
penjaga, tidak sembarangan manusia dapat memasuki Meslodia hanya yang
berkeperluan aja. Aku mengeluarkan surat dari temanku itu dan lepas dari penjagaan.
Butuh waktu dua jam lagi untuk sampai ke rumah teman ku yang tempatnya di kota
Mesko. Aku harus cepat ke rumah teman ku itu karena sudah lama tidak bertemu,
10 tahun lamanya sejak aku berumur 20 tahun, namun indahnya Meslodia membuat ku
berjalan pelan dan melihat pemandangan yang indah seperti surga. Sangat indah
khusus untuk kalangan manusia. Hijau, berbukit, pelangi yang terkadang muncul
satu menit sekali. Binatang-binatang aneh yang sangat lucu. Aku mendekati
seekor Yuth, yang kalau di bumi seperti kelinci. Yuth hewan yang paling aku
suka di Meslodia, dia baik, lucu dan kadang-kadang manja. Setelah aku
bermain-main sebentar, aku pun kembali ke jalan setapak menuju ke Mesko.
Matahari Tam sudah tenggelam dan sampai didepan pintu rumah teman ku, Alya
namanya. Aku ketuk pintu rumahnya sekali, dia pun langsung membukakan pintunya.
“Hai, Yoon apa kabar??” katanya dengan menggunakan bahasa Meslodia, untungnya
aku masih mengingat benar bahasa itu. Dia langsung memelukku, aku memeluknya balik
dan menjawab “Baik kok”. Aku masuk kedalam rumahnya. Tidak berubah dari dulu
hanya begitu-begitu saja. Wajah Alya pun sama seperti dulu muda, putih, cantik,
hanya rambutnya yang bertambah panjang. Mungkin itu mukjizat para Meslodianga,
hidup hingga umur ratusan tahun. Aku masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di
kursi. Alya pun mengambil minuman lalu mendekati ku dengan tatapan tajam. “kamu
kemana aja sudah sepuluh tahun tidak datang, surat ku juga tidak dibaca” dia
menaruh secangkir teh didepan ku dan biskuit. “Iya Sabar, aku juga baru sampai,
udah ditanyain itu”. Dia tertawa lalu duduk santai di samping ku. “Bagaimana
dengan laki-laki kamu itu sudah tinggal bareng?” Meslodianga tidak kenal kata
menikah, jika sudah saling suka, langsung tinggal bersama. Dia menggeleng cemberut.
“Tidak, dia mencintai perempuan lain” katanya sedih, aku mengelus rambutnya.
Walaupun kita berbeda spesies ternyata masalah manusia dan Meslodianga sama
saja tentang cinta. “Hai Alya aku punya cerita, kenapa 10 tahun ini aku tidak
ke tempatmu” kataku. “Cerita? Memang kemana aja kamu selama ini” tanya Alya
kebingungan. “Semua diawali sejak kejadian itu”
Year 1, Kesmephere Transholt 33, 2054 (Awal
Perjalanan)
Aku
kecil, aku tidak berguna, aku hanya sampah. Aku menyebut diriku seperti itu
lagi, tapi memang begitu kenyataannya. Aku duduk terdiam, suara ribut masih
bergemuruh diluar sana. Banyak orang berlalu lalang, aku hanya mengintip di
pintu yang terbuka sedikit itu. Suara ledakan terjadi dari arah kanan ku. Aku
takut, sudah 3 jam lamanya aku disini, suara bising dan ledakan masih terjadi.
Apa aku masih akan tetap disini, desingan percikan api tiba-tiba muncul di
sebelah kiri. Tidak jauh, hanya sekitar lima meter saja. Lalu seseorang masuk
dari pintu yang rusak itu, umurnya tidak jauh berbeda dari ku mungkin dia
berumur 12 tahun, seorang laki-laki. Dia menarik ku lalu mendorongnya keluar
pintu, tidak lama terjadi ledakan dasyat di belakangku. Menghancurkan
semuanya. Termasuk punggung ku. Aku
terbangun. Nafas ku tersengal-sengal. “Kenapa harus mimpi itu lagi?” lalu aku
merendam seluruh badan ku ke dalam air. Lalu kembali termenung di dalam bathtub itu. 10 menit kemudian aku
keluar dari bak itu. Aku melihat ke cermin lalu melihat punggungku yang sudah
lebih baik. Luka bakar nya masih memerah di punggung ku. Aku harus berendam
setiap pagi untuk pengobatan, obat ini tidak ada di bumi, obat ini diberikan
oleh seorang Meslodianga. Dan kini Ia menjadi teman ku sekarang, namanya Alya.
Aku berendam cukup lama, karena aku akan melakukan hal yang besar hari ini dan
hari-hari berikutnya. Mungkin aku tidak akan kembali ke Amphonarya. Aku membersihkan tubuhku, lalu memakai
pakaian berburu yang dberikan nenek Albert, dia yang merawatku sejak aku masih
berumur 10 tahun setelah kejadian itu. Kejadian yang masih menghantuiku atau
mungkin hantu laki-laki itu. Investigasi di lancarkan di pesawat itu. Aku
terlempar keluar, namun laki-laki yang mendorongku itu tidak selamat, dia mati
terbakar karena ledakan itu demi menyelamatkan ku.
Lamunan ku buyar ketika seseraong mengutuk pintu dari luar dan berteriak, “Sudah waktunya”. Aku merapikan perbekalanku dan menuju pintu keluar, tidak lupa aku mengucapkan selamat tinggal untuk nenek Albert yang sudah mengurusku. Aku melihat ke arah pusat kota sudah banyak orang yang berkumpul disana. Semuanya adalah para sukarelawan termasuk aku sendiri. Kami bertugas untuk mencari manusia lainnya yang terdapat di Kesmephere dan membawanya ke Amphonarya, khusunya mereka yang masih terjebak di luar sana. Terdapat 24 pesawat besar yang terjebak di hutan belantara Kesmephere, kita harus mencarinya dengan nyawa taruhannya. Siang hari, ketika matahari Och dan Tam menjadi satu tepat di atas kita. Sebelah selatan Amphonarya adalah laut atau boleh dibilang samudara. Kita akan menyebrang ke Selatan menuju 4 titik pesawat yang jatuh di benua sebrang yaitu Quirt, dua peri Meslodianga menjadi petunjuk arah bersama kami. lima puluh orang, itulah jumlah kami.
Lamunan ku buyar ketika seseraong mengutuk pintu dari luar dan berteriak, “Sudah waktunya”. Aku merapikan perbekalanku dan menuju pintu keluar, tidak lupa aku mengucapkan selamat tinggal untuk nenek Albert yang sudah mengurusku. Aku melihat ke arah pusat kota sudah banyak orang yang berkumpul disana. Semuanya adalah para sukarelawan termasuk aku sendiri. Kami bertugas untuk mencari manusia lainnya yang terdapat di Kesmephere dan membawanya ke Amphonarya, khusunya mereka yang masih terjebak di luar sana. Terdapat 24 pesawat besar yang terjebak di hutan belantara Kesmephere, kita harus mencarinya dengan nyawa taruhannya. Siang hari, ketika matahari Och dan Tam menjadi satu tepat di atas kita. Sebelah selatan Amphonarya adalah laut atau boleh dibilang samudara. Kita akan menyebrang ke Selatan menuju 4 titik pesawat yang jatuh di benua sebrang yaitu Quirt, dua peri Meslodianga menjadi petunjuk arah bersama kami. lima puluh orang, itulah jumlah kami.
“Lalu apa yang
terjadi di laut sana, Aku mendengar kapal kalian hilang?” tanya Alya. Ialu aku
melanjutkan ceritaku. Seminggu pertama cuaca di laut sangat tenang matahari
bersinar cerah, Fald (sejenis burung di Kesmephere) terbang kesana kemari, kami pun bersuka cita
di kapal. Namun, pada malamnya kejanggalan terjadi, bulan Host tidak muncul,
malam gelap gulita, jarak pandang pun hanya sebetas 5 meter. Kami semua tidak
tau apa yang terjadi. Menurut para peri itu, akan terjadi badai besar yang akan
datang. Tapi itu terlalu cepat, kami tidak sempat memasang pelindung kapal dan
semua terjadi begitu saja, hantaman ombak dan angin kencang memporak porandakan
kapal. Aku tidak ingat apa yang terjadi disana aku berpegangan erat pada tiang
kapan dan aku tidak tersadarkan diri. Semua berlalu bergitu saja. Aku pingsan
kemudian tersadar, pingsan lagi, kemudian tersadar. Terakhir aku melihat kapal
sudah terbagi menjadi dua dan aku pingsan lagi.
Aku
merasa tubuhku berat, haus akan air, tetapi aku terkena air, bibir ku penuh
dengan pasir. Aku baru setengah sadar, dan aku tersadar aku sedang tengkurap.
Aku berupaya mengembalikan kesadaranku, suara ombak yang aku dengar menandakan
aku sekarnag sedang di pantai. Aku perlahan mengumpulkan kekuatan untuk bangun.
Saat aku tersadar sepenuhnya, benar aku berada di pantai, tapi bukan pantai
Amphonarya, pantainya bersih indah dan banyak pepohonan tidak jauh dari pantai.
Aku berusaha berdiri, tubuhku sakit, aku melihat banyak benjolan merah di
seluruh badan, mungkin karena terbentur saat kapal tenggelam. Untungnya bajuku
masih utuh, namun ada yang aneh di sini. Aku sendiri? Aku melihat kebelakang ,
kanan, kiri. Tidak ada apa-apa yang terlihat hanya sebuah pantai, sunyi.
“Dimana Aku ini?” Aku berusaha tenang dan mencari tanda-tanda, aku baru
tersadar, pantai ini terbentang jauh, sampai-sampai aku memperkirakan tidak ada
ujungnya garis pantai ini. Aku melihat Och dan Tam menyatu, namun kenapa mereka
menyatunya tidak di atas kepalaku, kedua matahari itu sudah condong ke utara 30
derajat, “Tidak mungkin, aku sudah pergi sejauh itu kah ke selatan?” apakah ini
benua Quirt? Aku bertanya-tanya. Tapi
tidak ada seorang pun yang menjadi sarana untuk bertanya. Aku melihat lebih
jauh ke dalam daratan. Ada bukit, ya aku melihat bukit, mungkin aku bisa
menemukan air disitu, aku mulai melangkahkan kakiku yang terasa berat, sangat
berat, aku berjalan terhuyung huyung. Matahari tidak bersahabat, keduanya
menyinariku dengan kompaknya. Aku mulai masuk ke hutan, aku melihat dedaunan
yang tumbuh dan juga batang-batang yang menjulur kesana kemari. “Tidak, dimana
aku ini, semuanya tidak ada dalam buku yang sudah ku pelajari” . terlintas
dikepala ku sesuatu yang mengerikan.
Dimana semua para relawan? Apa tidak ada yang selamat selain aku? Tidak
mungkin pasti ada, aku harus menemukannya. Aku berbicara pada diriku sendiri.
Akhirnya aku sampai di puncak bukit itu, dari atas aku melihat indahnya hutan
di daratan ini. Pepohonan berwarna warni, pelangi yang bergantian menyinari hutan
sehingga banyak dedaunan yang berpendar dan berubah warna sangat indah.
Udaranya pun segar, entah berapa lama aku berdiri disini, Aku sampai lupa untuk
mencari air, kemudian aku mengelilingi bukit itu. Untungnya aku melihat mata
air di sebelah timur bukit, aku bersyukur, aku akan selamat, walaupun hanya
untuk minum air. Aku mengambil botol air di sakuku, dan mengisinya setelah aku
meminum berliter-liter air. Kresek..
kresek.. aku mendengar sesuatu
mendekat dari sebelah kanan ku, aku sigap dengan pisau kecilku. Ketika dia
mendekat, aku langsung berdiri dengan menodongkan pisau didepan. Aku kaget,
didepan ku bukan binatang atau tanaman yang dapat bergerak, tetapi manusia.
“Ampun, aku gak salah apa-apa” dia langung menaruh tangannya di kepala. Aku
menurunkan pisauku, “kamu dari Amphonarya kan?” tanyaku, walau kami para relawan
hanya mempunya waktu sedikit untuk berkenalan tapi aku mengingatnya, dia di
dalam kapal bersama ku. Dia mengangguk dan bertanya hal yang sama pada ku.
“Apakah kita
doang yang selamat?” tanyaku memecah lamunan, setelah pertemuan itu kita duduk
di bawah pohon bersama untuk makan. “Mungkin” jawabnya, “Karena kejadian itu
sangatlah parah, kapal benar-benar hancur, ombak sangat besar, tsunami di bumi
tidak ada apa-apanya, kita beruntung bisa selamat” sambungnya. Dia juga
menceritakan saat-saat terakkhir di kapal, sangat mengenaskan. Setelah itu Dia
mengagetkanku dengan barang yang dia keluarkan dari saku kanannya. “Ini, aku
menemukan ini di pantai, sepertinya sebuah peta, aku tidak mengerti
membacanya”. Setelah aku lihat baik-baik, iya, ternyata benar, itu peta yang di
bawa oleh kedua Meslodianga. Di tulis dengan bahasa mereka dan aku dapat membacanya. “Aku bisa
membacanya” kataku, dia kaget. “oh iya, sekarang kita ada dimana? Dan kita
harus kemana untuk bisa selamat” tanyanya. Aku sendiri tidak tahu pertanyaan
kedua yang di lontarkan. Pergi kemana
agar selamat? Aku memperhatikan benua yang berada di bawah peta itu, benua
Quirt. Terdapat tanda bukit kecil sebelah selatan dari garis pantai yang
panjang. Di kanan kiri bukit itu adalah
hutan lebat. Aku menoleh ke kanan dan kiri, disekelilingnya adalah hutan, dan
sekarang aku yakin kita berada disini. Di bukit yang bernama Keirto. “Jadi kita
dimana?” tanyanya yang sudah tidak sabar. “Sekarang kita disini di bukit
Keirto” aku menjawab. Lalu dia melihat peta baik-baik. “Oh oke, apa arti
Keirto?” tanyanya, aku menganggap pertanyaan ini tidak penting sekali, tapi aku
jawab saja, “Bukit cinta”. “Bukit cinta?” dia memastikan. Kami saling
bertatapan, seakan ada yang salah dengan Bukit Cinta ini, hanya namanya yang
romantis. “Tapi aku nggak tau harus kemana?” tanyaku memecah lamunan, Dia
kembali melihat peta lekat-lekat. “ini apa?” tanyanya. Dia menunujuk ke arah
selatan dari Keirto, sebuah lambang istana. Lalu aku membacanya. “disitu
tertulis Tesko, Ibu kota para Meslodianga di benua Quirt”, “Bukankah kita harus
kita pada saat kita briefing sebelum
berangkat?” , Aku langsung teringat pada saat briefing itu dan itu benar, kita harus kesana katanya ada manusia
lain didekat sana, namun tidak diterima oleh Meslodianga yang tinggal di Tesko,
jadi mereka hidup tanpa bantuan. “Berapa waktu tempuh yang kita butuhkan sampai
kesana” tanyanya lagi. Aku menghitung dengan skala yang di ajarkan di sekolah.
Aku menghitung dengan cermat, jaraknya jauh sekali, dan kita tidak bisa berjalan
cepat di hutan ini, banyak semak belukar yang harus di potong, 2 bulan kita
mungkin akan sampai, ah tidak terlalu cepat itu, 20 bulan? Ya, dua puluh bulan,
hitungan ku kurang angka 0 satu. Tunggu 20 bulan? Itu sama saja... “Yap,
setelah ku itung-itung kita akan sampai 2 tahun lagi, hehe” jawab ku pelan. Aku
tidak mau dia kaget, tapi dia benar-benar kaget, “Whatt.... dua tahun? Berjalan
kaki?” dia frustasi, tidak hanya dia, aku juga. Kami berdua terdiam, tidak
mungkin kita akan bertahan selama itu. Walaupun kami sudah terbiasa dengan satu
hari di planet disini (satu hari planet Kesmephere merupakan 2 hari di bumi),
tapi itu sama saja dengan bunuh diri.
“Tapi kita harus
mencobanya” dia berkata. “Kita tidak mau mati di bukit ini juga kan, kita harus
mencobanya sampai ke Tesko dan tetap menyelesaikan misi, walaupun tidak akan
sempurna.” Tambahnya panjang . Aku tersenyum padanya, dan ini pertama kalinya
aku tersenyum kepadanya. “Ya, kita harus mecobanya” jawabku penuh semangat. Dia
pun berdiri dari senderannya dan melihat kearah selatan. Walaupun didepannya
hanya ada hutan yang luas, tapi aku dapat melihat di bola matanya terdapat suatu
harapan untuk mencapai Tesko. “Yuk kita berangkat” ajak ku, setelah membungkus
makanan yang tadi dibawakan olehnya. “Tunggu, kita juga harus saling menjaga
satu sama lain” katanya, menahan langkahku untuk maju. “Aku tahu itu kok, dan
aku berjanji, apalagi menjaga laki-laki kacangan kaya kamu” aku bercanda, namun
wajahnya berkerut tidak suka. “Oh iya siapa nama mu ?” tanya ku yang dari tadi
tidak sempat menanyakan namanya. “Oh iya lupa, Aku Daniel” “Aku Yoo, salam
kenal” kami berjabat tangan. Kami pun menuruni bukit ke arah selatan, matahari
Och dan Tam di belakang kami menyinari langkah kami untuk menempuh perjalanan
jauh yang mungkin tidak akan sampai.
“Waw, romantis
sekali” sahut Alya ketika aku menghentikan ceritaku karena tenggorokanku seakan
kering berbicara terus menurus. Aku tidak buru-buru untuk menjawab pernyataan
Alya. Aku meminum secangkir kopi yang dibuatkan oleh Alya. “Ya begitulah, hihi”
aku menjawab nakal. “Ngomong-ngomong kamu sudah bisa membuat kopi dengan baik,
terakhir aku kesini, rasanya masih kacau” canda ku ke Alya. Alya mengerutkan
keningnya seakan tidak suka, telinga panjangnya turun menandakan sedih. “aku
kan berusaha terus, tapi aku bisa, tanpa bantuan kamu membuat kopinya” wajahnya tersenyum terang, telinganyapun
terangkat kembali. “Jadi beneran tuh kamu sampai di Tesko selama dua tahun?”
tanya Alya lanjut kecerita. “Tidak, lebih parah dari dugaanku” aku menjawab.
“Wihh tapi asik dong berduan doang sama laki-laki, dua tahun lagi, kamu jatuh
cinta sama dia?” tanyanya, matanya yang bulat besar memelototiku dengan penuh
harapan, seakan akan ada jawaban didalam mataku ini. Tapi, mukanya yang nan
lucu dan ngegemesin itu membuatku tidak dapat menahan diri, aku mencubit
pipinya hingga kemerahan, Alya pun teriak minta ampun. “Ihhh jahat kamu Yoo”
kata Alya sambil membetulkan rambutnya. Aku hanya tertawa, aku sering mencubit
pipinya Alya yang lucu. Menggemaskan. “Ya ada deh, dengerin dulu cerita aku ini,
masih panjang tau...” jawabku, Alya lalu merapikan cara duduknya lalu duduk
dengan rapi.
Year 2, Kesmephere Lunar 7, 2055 (setahun
dari bukit Keirto)
“Yoo, posisi 4”
teriak Daniel, “Oke Siap” jawabku lalu berlalu menju sisi kanan. Makhluk yang
berbentuk rusa itu berbelok ke arah yang sama. Aku dapat melihanyat meloncati
batu itu dan setelah turun terjerembab pada perangkap yang sudah dipasang. Tapi
dia dapat meloloskan diri. Untungnya Daniel sudah menyiapkan aku di posisi ini,
aku dengan mudah memanah rusa itu, lalu mati seketika. Daniel memang ahli
strategi yang bagus, seakan dia mengetahui yang akan terjadi setelahnnya, sudah
setahun aku bersamanya dalam perjalanan ini namun aku selalu mengagumi
keahliannya. Karenanya kita masih bisa bertahan sampai sekarang, masih bisa
melanjutkan perjalanan. Setahun sejak turunnya kami dari bukit Kerito, kami
sudah hampir mati berkali-kali. Daniel selalu menolongku , seperti yang terjadi
dua bulan yang lalu, saat bulan Juan. Juan adalah bulan dimana seluruh
Kesmephere terjadi bencana alam, bencana global, hujan terus menerus, panas
matahari menusuk, ombak besar, sungai meluap dan lainnya. Daniel menolongku
ketika aku jatuh dari rumah pohon yang kami buat, sedangkan dibawahku sudah ada
aliran air yang siap menenggelamkanku. “Hoiii, bantuin angkat makhluk aneh ini,
malah bengong kamu disitu” teriak Daniel, dan aku baru terbangun dari lamunan
aku. “Siapp” aku berlari menuju Daniel yang menungguku. Kami berdua membawanya
ke api unggun untuk makan malam ini dan besok pagi. Seperti biasa, tidak perlu
disuruh, aku menguliti binatang itu dan Daniel mempersiapkan tempat untuk
memasak, lalu mengatur api. Tam dan Och sudah benar-benar tenggelam. Bulan Host
menyinari kami, dari benua Quirt ini bulan Host yang besarnya hampir sama
dengan Kesmephere menunjukan sisi lainnya. Lebih terang dan lebih Indah.
Sebelum tidur aku selalu menatap bulan itu dengan sepenuh hati dan terkadang
aku menangis merindukan nenek Albert. Dia mungkin kesepian disana. Terkadang
aku menangis kencang karena sudah tidak tahan dengan penderitaan ini, namun Daniel
selalu memberi semangat, dia selalu menemani aku. “Oh iya Dan, kamu inget hari
ini hari apa?” tanyaku ketika menyantap daging, dia bengong seakan ada yang dia
lupakan. “Hari apa? Maksdnya? Sekarang Lunar 7kan? Lalu?” tanyanya, lalu
menyantap kembali daging itu. “Kamu lupa, ini hari dimana kita meninggalkan bukit
Keirto” jawabku. Dia tercengang, seakan ada yang menusuk di lehernya. “Ah
iyaaa.... kita udah setahun berarti berjalan menuju Testo, berarti tinggal
setengah perjalanan lagi” Daniel tiba-tiba senang entah mengapa padahal
kesehariaanya dia selalu berfikir tentang perjalan ini. “Ya itu jika hitungan
kamu benar, dan gak salah arah” tambah Daniel.
Tiba-tiba mood ku berubah, aku bete, tidak nafsu makan, menyerangku dan
aku melihat Daniel dengan muka marah. “Ya aku minta maaf” katanya setelah
melihat mood aku yang jelek. Dia
memang selalu ketakuakn bila aku marah, gue pernah memukulnya ketika badmood, dan sejak saat itu dia selalu
ketakutan kalau aku sudah badmood. Aku pun kembali tertawa melihat mukanya yang
aneh sedang ketakutan, dia hanya tersenyum kecil.
Berbeda dengan
perjalanan kami yang pertama. Kali ini kita tidak bergerak lurus ke selatan, namun agak kebarat. Jika kami
bergerak lurus ke arah selatan, kita akan sampai di tengah-tengah Testo. Testo
di kelilingi jurang besar. Pintu masuk hanya ada di sebelah barat, sebuah
jembatan besar yang membentang. “Apa kita benar dengan sudut elevasi ini?”
tanyaku agak ragu. “Ya” Jawab Daniel. Aku percaya kepadanya. Sedikit lagi, satu
tahun lagi, aku dan Daniel sampai ditujuan. Aku semakin optimis, ditahun
pertama aku tidak mati, dan semakin lama aku juga semakin pintar berburu. Jadi
aku bisa bertahan hidup.
“Jadi kamu
sekarang sudah bisa berburu?” tanya Alya, memutus ceritaku. Aku mengangguk,
namun Alya seakan tidak berpercaya apa yang aku katakan barusan. “Aku bisa memburumu
nanti malam, kalau kamu tidak percaya, dan menghabisi mu sampai mati” aku
mengacam, tentu dengan nada bercandaa. Alya tertawa, “Mana bisa kamu memburu
ku, kamu tahu kekuatan Meslodianga kan?” remeh Alya. Kekuatan Meslodiaga memang
menakjubkan. Aku melihat Alya menghilangkan dirinya, hingga tidak terlihat.
Lari mereka pun sangat cepat dua kali melebihi manusia. “aku sudah berlatih sepuluh tahun ini Alya..”
“Menghadapi semua binatang buas yang mempunyai kemampuan seperti kalian” aku
tersenyum senang. “Ih awas kamu lihat saja nanti” Jawab Alya, kami tertawa.
Year 3, Derco 1 2056 (Hari terakhir)
“Ini
tempat apa?” tanya Daniel, “Tidak tahu disini hanya tertulis “Ka” yang berarti
reruntuhan” jawabku. Daniel tidak menjawab kembali. Dia hanya berjalan untuk
mencari jalan keluar. Dari pertama aku masuk ke wilayah ini, aku merasakan
sesuatu yang janggal, ini memang reruntuhan, tapi bukan reruntuhan biasa, ada
banyak ukiran-ukiran yang tidak masih jelas tertanam di dinding-dinding batu
seakan baru di tulis kemarin. Di tengah
reruntuhan kami menemukan bagian besar, bangunan yang sangat besar masih utuh,
mungkin tinggal runtuhnya saja. “Aku ke atas dulu, aku harus mencari tahu cara
tercepat keluar dari sini” Daniel mengatakan sesuatu yang membuat aku cemas
kepadanya. “jangan, jangan sendiri, biar aku juga naik bersama mu” aku teriak,
seakan aku akan ditinggal selamanya oleh Daniel. Daniel terkejut dengan
ucapanku itu. “Kamu kenapa?” tanyanya. Tiba-tiba aku baru tersadar akan
perbuatanku. Seharusnya aku tidak apa-apa, hanya di tinggal seperti itu,
padahal waktu kami dihutan, aku pernah di tinggal seharian olehnya dan aku
biasa aja. Mukaku merah padam. Jika ada kaca aku akan melihat mukaku seperti
tomat. “Ya sudah ayo kita keatas bareng” ajak Daniel. Aku kembali menyesal apa
yang aku lakukan tadi, aku bukan perempuan yang mandiri lagi, tetapi menjadi
manja dan menyusahkan Daniel. Lorongnya sangat gelap, berdebu, banyak
ukiran-ukiran aneh di sepanjang lorongnya, tidak hanya itu ada juga lukisan
manusia. Bukan, bukan manusia itu adalah Meslodianga. Tapi kenapa aneh sekali
mukanya seakan lebih tua dari biasanya. Strukturnya mukanya juga berbeda,
Apakah itu nenek moyang Alya? Tidak lama kami berada di tengah ruangan yang
luas. Aku bisa yakin ini adalah ruangan pusat. Ruangan yang besar, seperti ruang
raja. Terdapat tangga memutar keatas di ujung ruangan. “Disana, ada tangga”
teriakku. Aku dan Daniel langsung lari menuju ke tangga itu. Saat akan
melangkah, Daniel menghentikan ku, dia memeriksa tangga beton itu. “Oke masih
bagus, tapi kita harus tetap berhati-hati” katanya. Lagi-lagi aku menjadi
merasa bersalah, padahal aku sudah di beritahu berkali-kali olehnya agar tidak
ceroboh. Jalan terus berputar-putar ke atas. Sesampainya dia atas, aku dapat
melihat pemandangan yang indah. Seluruh kota dan hutan yang baru saja aku
lewati terlihat dari sini, udaranya juga sangat segar. Aku mencoba menutup mata
dan menghirup udara dalam-dalam, menenangkan pikiran. Sangat menyenangkan.
“Hai, Yoo”
Daniel berkata, kata-lata Daniel mengagetkanku. Aku membuka mata dan melihat
Daniel, menantap sesuatu yang aneh di sebelah selatan “Ada apa?” tanyaku yang
sekarang berada disebelahnya. Di menunjuk ke suatau arah di sebelah selatan.
Aku menelusuri arah tangannya, dan aku terkaget-kaget, jantungku mau copot,
tidak, berhenti, atau mungkin.. sudahlah aku tidak tahu harus berkata apa-apa
lagi. Itu adalah Tesko, ya Tesko, kota emas di tengah tengah benuah Quirt,
kediaman para Meslodianga. Kotanya terlihat dekat dari sini. Mungkin beberapa
hari lagi kita akan sampai. Aku melihat tatapan Daniel yang penuh keyakinan
akan menemukan manusia lain disana. Aku tersenyum, dan entah berapa lama aku
menatap Tesko dari atas bangunan itu.
“Reruntuhan
itu bernama Jorfas” sela Alya. Aku menatapnya bingung. Lalu dia mulai
bercerita. Dan tebakan ku benar. Meslodianga yang berada di Jorfas bukanlah
nenek moyang Meslodianga sekarang. Mereka adalah musuh Meslodianga. Tadinya
kedua suku tersebut hidup bedampingan dan bahkan membaur, namun seiring
berjalannya waktu kedua suku ini ingin memperebutkan wilayah satu sama lain.
Perang pun tak terhindarkan. Dewi fortuna memihak Meslodianga yang sekarang dan
yang laiinnya punah dalam perang. Jorfas adalah pertahanan terakhir mereka yang
kalah dan akhirnya keturunan terakhir mereka punah disitu. Sungguh malang nasib
mereka. “Apa mereka tidak ada yang melarikan diri” tanyaku pada Alya. Alya
hanya menggeleng. Meslodianga yang kalah, bunuh diri secara masal karena tidak
mau bergabung dengan Meslodianga yang menang. Bagi mereka kalah adalah sesuatu
yang memalukan. Mereka lebih baik bunuh diri dari pada menanggung malu, bahkan
oleh saudara mereka sendiri. “Reruntuhan Jorfas masih adakah sekarang? Apa
sudah dihancurkan? Aku dengar 7 tahun lalu ada pengeboman masal untuk menutup
situs itu” tanya balik Alya, namun kini aku yang terdiam seakan tidak bisa
bergerak. “Ya! sudah tidak ada, aku yakin” jawabku
Aku
dan Daniel agak lama menetap di Jorfas, menurut kami itu adalah tempat paling
aman untuk menghadapi bulan Juan. Selama bulan Juan kami terus menerus berada
di dalam gedung tinggi itu dan memakan bekal yang sudah di siapkan. “Padahal
tinggal dikit lagi” tanyaku memecah lamunan. Kita sudah terlambat dari
perkiraan yang akan sampai dalam waktu 2 tahun. Kita sudah mendekati tahun ke
empat dari bukit dimana aku dan Daniel bertemu. Gila sekali. Aku sudah muak
dengan perjalanan ini. “Sabarlah lah tinggal 4 hari lagi bulan ini selesai dan
kita bisa langsung menuju Tesko” jawab Daniel, dia berusaha menyemangatiku. “Aku
kedinginan” kata-kata itu keluar dari mulutku tanpa di pikirkan terlebih
dahulu. Padahal dingin seperti ini sudah biasa bagiku, tapi kali ini terasa
berbeda. “Yaudah sini” Daniel menyuruhku mendekatinya, lalu aku duduk disebelah
Daniel. Daniel memelukku dengan tangan nya, terasa hangat. Baru pertama kalinya
aku merasakan kehangatan seperti ini, aku berfikiran Daniel juga merasakan hal
yang sama denganku. Tak tersadar aku terlelap di pelukannya.
Keesokan paginya
aku terbangun dengan selimut yang menutupi tubuhku. Daniel sudah tidak ada.
Diluar hujan deras-sangat deras. Apa dia keluar?tidak mungkin. Aku melihat ke
lantai bawah. Air sudah menggenang hingga lantai dua. Ini merupakan banjir terhebat
dari bulan Juan tahun ini. “Yoo bangun... “ tiba-tiba suara teriakan Daniel
terdengar dari atas. “Yoo cepat kita harus membereskan semuanya lalu kita harus
keatas” perintah Daniel yang sudah siap siap membereskan semuanya. “Ada apa?”
tannyaku terheran-teharan. “Sudah nanti dulu, kita harus keatas” matanya seakan
ada sesuatu yang akan ditunjukan diatas. Aku pun bergegas membantu Daniel. Lalu
kita bergegas keatas. Bunyi gerumuh hujan dan petir dimana-mana mendampingi
langkah aku dan Daniel menuju ke puncak bangunan. Diatas aku sama sekali tidak
dapat mellihat dengan jelas. Cuaca sangat parah buruknya. “Yoo lihat itu!!”
suruh Daniel. Aku mencoba membuka mata. Lalu aku dapat melihat sinar-sinar kecil
dari arah Tesko, Sinar-sinar itu mendekat, aku masih tetap berada di belakang
dinding dan memeluk dinding itu. Anginnya sangat kecang, aku takut terjatuh
dari ketinggian. Cahaya itu semakin lama semakin jelas. Itu pesawat milik Meslodianga.
Sedetik kemudian aku merasa bangga, akan ada yang menjemput kami. Tapi, apakah
mereka dapat melihat aku dan Daniel? Itu pesawat besar, sangat besar. Tiba tiba
bumi berguncang. Aku dan Daniel kebingungan setengah mati. Kesmephere terbuat
dari lempengan yang stabil, tidak seperti bumi. Aku melihat kekanan, reruntuhan
seakan menyala terang. Sedetik kemudian aku baru tersadar, yang menyala itu
adalah ukiran-ukiran aneh di reruntuhan ini. Dan dari buku yang kupelajari dari
Alya itu adalah sejenis bom dari Meslodianga. Jantungku berhenti berdetak, apa
mereka akan menghancurkan reruntuhan ini? Tidak mungkin. “Daniel reruntuhan ini
adalah bom” teriak ku pada Daniel. Daniel baru kaget mendengarnya, bunyi keras
terdengar dimana-mana.
“Apakah benar
itu terjadi?” Alya merasa kasihan dan khawatir. “Iya” Aku menunduk, ingatan
tujuh tahun lalu kemballi kedalam otakku. Semua seakan terulang lagi, semuanya.
“Yoo, Yoo, kamu tidak apa-apa?” Alya mengguncang badanku, aku kembali tersadar.
Aku bengong? Selama itu kah, sampai harus dibangunkan oleh Alya. “Tidak, tenang
aja, hanya teringat masa lalu” jawabku tenang, aku melihat kekhawatiran dari
wajah Alya. “Eh, makan yuk itu udah di siapin makanan di Meja, udah malem juga,
dari tadi kamu cerita terus gak berhenti-henti” ajak Alya untuk turun kebawah.
Sepertinya, Ibunya sudah pulang dan membawa makanan, aku mendengar Alya teriak
pada ibunya, untuk dibelikan makanan manusia. “Ayo buruan, bentar lagi Ibuku
dateng lagi, kita harus udah dibawah” ajak Alya kembali. “Oke, kamu duluan aja,
aku nyusul nanti” jawabku. Alya hanya tersenyum lalu meninggalkan aku sendirian
di kamarnya. Tidak terasa bulan Host sudah bersinar terang dilangit Kesmephere.
Aku kembali teringat, Saat ledakan terjadi, daratan yang ada di bawah aku
longsor, aku hampir terjatuh, namun Daniel menolongku, dia menarik ku ke
pelukannya. Aku aman, untuk sementara. Sekarang ledakan berada di bawah kaki
bangunan itu. Aku merasa pijakan ku semakin lama semakin kebawah, Aku serasa
melayang, bangunan tinggi itu roboh, aku tidak tahu harus berbuat apa, Daniel
memelukku erat. Sedetik kemudian pijakan Daniel longsor, aku memgang Daniel
tepat di pergelangan tangannya. Tanganku yang satu lagi memgang dinding yang
sudah rapuh. Di belakang Daniel aku melihat sesuatu yang mengerikan. Banjir
setinggi dua lantai itu sudah meluluh lantahkan semuanya, membawa semua sisa
bangunan yang ada. “Yoo, sudah lepaskan aku, tangan kirimu berdarah, kamu juga
bisa terjatuh” suara Daniel tersamar oleh hujan deras yang turun. “Tidak, kita
pasti selamat” jawabku pasrah. Aku sudah tidak dapat merasakan tangankiriku,
yang pasti sakit sekali. “Kau bisa selam-“ “Tidak, kita berdua pasti bisa
melewati ini, aku tidak mau kehilanganmu, kamu sudah membawaku sejauh ini, aku
tidak akan meninggalkanmu, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa,
aku menyayangimu” air mata ku keluar,
namun aku tidak dapat membedakan nya dengan air hujan, tenagaku sudah habis.
Aku melihat Daniel untuk terakhirkalnya dimalam itu. Dia tersenyum kepadaku,
lalu melepaskan genggaman dengan sengaja. Tubuhku terasa lemas, aku bersandar pada
tiang yang kini sudah miring lebih dari 45 derajat. Aku tersender dengan lemas,
“Daniel, aku menyukaimu”. Tak lama bangunan ku hancur, tak ada lagi tempat
untuk bersandar, atau bahkan untuk memegang sesuatu. Lalu aku tercebur kedalam
air. Entah mengapa aku terseyum seketika sesaat sebelum banjir menelanku. Aku
melihat bulan Host yang sudah tidak tertutup awan menyinariku dengan hangat dan
penuh kenangan indah, sama seperti ketika Aku dan Daniel berperlukan bersama
sebelum tidur, dan sama seperti aku yang lagi menatapnya dari jendela kamar
Alya.
To be Continue......