Senin, 06 Januari 2014

The Decade of Kesmephere Love


(Part 1) Earth was gone, New world has come, and The true love is growing          

         Terompet itu kembali terdengar, tidak hanya itu, barisan kawanan tentara ikut mengikuti sebuah keranda yang ada di depannya. Aku mengira itu adalah sebuah peri pohon yang tinggal di Meslodia, mungkin dia selesai mengunjungi walikota Amphonarya yang sedang dilanda berbagai masalah. Aku hanya duduk santai dan meminum secangkir teh. Aku melihat para pelanggan lain meninggalkan meja mereka dan langsung mendekati rombongan, terutama kaum laki-laki. Peri pohon Meslodia terkenal dengan kecantikannya. Tubuh tinggi, langsing dan lekukan tubuhnya seperti gitar spanyol (spanyol adalah negara yang berada di Bumi yang sekarang telah hancur karena ledakan bintang yang bernama matahari itu). Amphonarya adalah salah satu negara yang diciptakan manusia setelah bumi hancur. Hanya dua juta manusia yang selamat dari musibah itu dan menuju planet Kesmephere. Ukurannya jauh lebih besar dari bumi, mungkin perbandingannya 1:16. Semua manusia tepencar-pencar di planet ini selain Amphonarya ada negara lain yang berisi manusia. Disini Meslodia adalah salah satu tetangga Amphonarya. Mereka sangat baik dan membantu membangun negara manusia sejak 20 tahun yang lalu. Aku tidak tahu pertemuan pertama kami seperti apa, karena aku baru berumur 10 tahun. Dan aku sendiri, aku terpilih masuk ke kapal canggih itu yang dibuat oleh Korea untuk selamat dari Bumi. Ayah dan Ibuku dan teman-teman ku juga tidak naik ke kapal itu. Hanya aku, ya hanya aku, anak perempuan yang diasuh oleh nenek tua bernama Albert, hingga aku sebesar ini sekarang.
Setelah rombongan lewat aku membayar secangkir teh ini dan melanjutkan tujuanku ke Meslodia. Aku harus bertemu dengan temanku yang seorang peri itu. Sebenarnya bangsa mereka bernama Meslodianga. Namun karena kami para manusia susah menghafalnya, kami hanya memanggil mereka Angel dalam bahasa di negara ku dulu namanya peri. Meslodia letaknya lumayan jauh. Dari tempat tinggalku saja di Ibu kota Amphonarya , Narya hingga perbatasan ini saja membutuhkan waktu 2 jam, padahal hanya berjarak 20 km. Aku merindukan bumi ku dulu, benda yang bernama mobil itu. Disini kami kembali ke masa primitif, menggunakan kuda. Padahal kami sudah 20 tahun disini dan kami baru bisa menciptakan kereta kuda yang harganya lumayan mahal. Jembatan yang ada di depan ku ini menghubungkan Meslodia dan Amphonarya, panjangnya sepanjang 2 km menghubungkan ngarai yang sangat dalam. Aku melihat matahari Och dan Tam sudah mulai condong ke utara tandanya sudah melewati tengah hari. Setelah menyebangi perbatasan, aku di periksa oleh penjaga, tidak sembarangan manusia dapat memasuki Meslodia hanya yang berkeperluan aja. Aku mengeluarkan surat dari temanku itu dan lepas dari penjagaan. Butuh waktu dua jam lagi untuk sampai ke rumah teman ku yang tempatnya di kota Mesko. Aku harus cepat ke rumah teman ku itu karena sudah lama tidak bertemu, 10 tahun lamanya sejak aku berumur 20 tahun, namun indahnya Meslodia membuat ku berjalan pelan dan melihat pemandangan yang indah seperti surga. Sangat indah khusus untuk kalangan manusia. Hijau, berbukit, pelangi yang terkadang muncul satu menit sekali. Binatang-binatang aneh yang sangat lucu. Aku mendekati seekor Yuth, yang kalau di bumi seperti kelinci. Yuth hewan yang paling aku suka di Meslodia, dia baik, lucu dan kadang-kadang manja. Setelah aku bermain-main sebentar, aku pun kembali ke jalan setapak menuju ke Mesko. Matahari Tam sudah tenggelam dan sampai didepan pintu rumah teman ku, Alya namanya. Aku ketuk pintu rumahnya sekali, dia pun langsung membukakan pintunya. “Hai, Yoon apa kabar??” katanya dengan menggunakan bahasa Meslodia, untungnya aku masih mengingat benar bahasa itu. Dia langsung memelukku, aku memeluknya balik dan menjawab “Baik kok”. Aku masuk kedalam rumahnya. Tidak berubah dari dulu hanya begitu-begitu saja. Wajah Alya pun sama seperti dulu muda, putih, cantik, hanya rambutnya yang bertambah panjang. Mungkin itu mukjizat para Meslodianga, hidup hingga umur ratusan tahun. Aku masuk ke dalam kamarnya lalu duduk di kursi. Alya pun mengambil minuman lalu mendekati ku dengan tatapan tajam. “kamu kemana aja sudah sepuluh tahun tidak datang, surat ku juga tidak dibaca” dia menaruh secangkir teh didepan ku dan biskuit. “Iya Sabar, aku juga baru sampai, udah ditanyain itu”. Dia tertawa lalu duduk santai di samping ku. “Bagaimana dengan laki-laki kamu itu sudah tinggal bareng?” Meslodianga tidak kenal kata menikah, jika sudah saling suka, langsung tinggal bersama. Dia menggeleng cemberut. “Tidak, dia mencintai perempuan lain” katanya sedih, aku mengelus rambutnya. Walaupun kita berbeda spesies ternyata masalah manusia dan Meslodianga sama saja tentang cinta. “Hai Alya aku punya cerita, kenapa 10 tahun ini aku tidak ke tempatmu” kataku. “Cerita? Memang kemana aja kamu selama ini” tanya Alya kebingungan. “Semua diawali sejak kejadian itu”

Year 1, Kesmephere Transholt 33, 2054 (Awal Perjalanan)
                Aku kecil, aku tidak berguna, aku hanya sampah. Aku menyebut diriku seperti itu lagi, tapi memang begitu kenyataannya. Aku duduk terdiam, suara ribut masih bergemuruh diluar sana. Banyak orang berlalu lalang, aku hanya mengintip di pintu yang terbuka sedikit itu. Suara ledakan terjadi dari arah kanan ku. Aku takut, sudah 3 jam lamanya aku disini, suara bising dan ledakan masih terjadi. Apa aku masih akan tetap disini, desingan percikan api tiba-tiba muncul di sebelah kiri. Tidak jauh, hanya sekitar lima meter saja. Lalu seseorang masuk dari pintu yang rusak itu, umurnya tidak jauh berbeda dari ku mungkin dia berumur 12 tahun, seorang laki-laki. Dia menarik ku lalu mendorongnya keluar pintu, tidak lama terjadi ledakan dasyat di belakangku. Menghancurkan semuanya.  Termasuk punggung ku. Aku terbangun. Nafas ku tersengal-sengal. “Kenapa harus mimpi itu lagi?” lalu aku merendam seluruh badan ku ke dalam air. Lalu kembali termenung di dalam bathtub itu. 10 menit kemudian aku keluar dari bak itu. Aku melihat ke cermin lalu melihat punggungku yang sudah lebih baik. Luka bakar nya masih memerah di punggung ku. Aku harus berendam setiap pagi untuk pengobatan, obat ini tidak ada di bumi, obat ini diberikan oleh seorang Meslodianga. Dan kini Ia menjadi teman ku sekarang, namanya Alya. Aku berendam cukup lama, karena aku akan melakukan hal yang besar hari ini dan hari-hari berikutnya. Mungkin aku tidak akan kembali ke Amphonarya.  Aku membersihkan tubuhku, lalu memakai pakaian berburu yang dberikan nenek Albert, dia yang merawatku sejak aku masih berumur 10 tahun setelah kejadian itu. Kejadian yang masih menghantuiku atau mungkin hantu laki-laki itu. Investigasi di lancarkan di pesawat itu. Aku terlempar keluar, namun laki-laki yang mendorongku itu tidak selamat, dia mati terbakar karena ledakan itu demi menyelamatkan ku.
                   Lamunan ku buyar ketika seseraong mengutuk pintu dari luar dan berteriak, “Sudah waktunya”. Aku merapikan perbekalanku dan menuju pintu keluar, tidak lupa aku mengucapkan selamat tinggal untuk nenek Albert yang sudah mengurusku. Aku melihat ke arah pusat kota sudah banyak orang yang berkumpul disana. Semuanya adalah para sukarelawan termasuk aku sendiri. Kami bertugas untuk mencari manusia lainnya yang terdapat di Kesmephere dan membawanya ke Amphonarya, khusunya mereka yang masih terjebak di luar sana. Terdapat 24 pesawat besar yang terjebak di hutan belantara Kesmephere, kita harus mencarinya dengan nyawa taruhannya. Siang hari, ketika matahari Och dan Tam menjadi satu tepat di atas kita. Sebelah selatan Amphonarya adalah laut atau boleh dibilang samudara. Kita akan menyebrang ke Selatan menuju 4 titik pesawat yang jatuh di benua sebrang yaitu Quirt, dua peri Meslodianga menjadi petunjuk arah bersama kami. lima puluh orang, itulah jumlah kami.
“Lalu apa yang terjadi di laut sana, Aku mendengar kapal kalian hilang?” tanya Alya. Ialu aku melanjutkan ceritaku. Seminggu pertama cuaca di laut sangat tenang matahari bersinar cerah, Fald (sejenis burung di Kesmephere)  terbang kesana kemari, kami pun bersuka cita di kapal. Namun, pada malamnya kejanggalan terjadi, bulan Host tidak muncul, malam gelap gulita, jarak pandang pun hanya sebetas 5 meter. Kami semua tidak tau apa yang terjadi. Menurut para peri itu, akan terjadi badai besar yang akan datang. Tapi itu terlalu cepat, kami tidak sempat memasang pelindung kapal dan semua terjadi begitu saja, hantaman ombak dan angin kencang memporak porandakan kapal. Aku tidak ingat apa yang terjadi disana aku berpegangan erat pada tiang kapan dan aku tidak tersadarkan diri. Semua berlalu bergitu saja. Aku pingsan kemudian tersadar, pingsan lagi, kemudian tersadar. Terakhir aku melihat kapal sudah terbagi menjadi dua dan aku pingsan lagi.
                Aku merasa tubuhku berat, haus akan air, tetapi aku terkena air, bibir ku penuh dengan pasir. Aku baru setengah sadar, dan aku tersadar aku sedang tengkurap. Aku berupaya mengembalikan kesadaranku, suara ombak yang aku dengar menandakan aku sekarnag sedang di pantai. Aku perlahan mengumpulkan kekuatan untuk bangun. Saat aku tersadar sepenuhnya, benar aku berada di pantai, tapi bukan pantai Amphonarya, pantainya bersih indah dan banyak pepohonan tidak jauh dari pantai. Aku berusaha berdiri, tubuhku sakit, aku melihat banyak benjolan merah di seluruh badan, mungkin karena terbentur saat kapal tenggelam. Untungnya bajuku masih utuh, namun ada yang aneh di sini. Aku sendiri? Aku melihat kebelakang , kanan, kiri. Tidak ada apa-apa yang terlihat hanya sebuah pantai, sunyi. “Dimana Aku ini?” Aku berusaha tenang dan mencari tanda-tanda, aku baru tersadar, pantai ini terbentang jauh, sampai-sampai aku memperkirakan tidak ada ujungnya garis pantai ini. Aku melihat Och dan Tam menyatu, namun kenapa mereka menyatunya tidak di atas kepalaku, kedua matahari itu sudah condong ke utara 30 derajat, “Tidak mungkin, aku sudah pergi sejauh itu kah ke selatan?” apakah ini benua Quirt? Aku bertanya-tanya.  Tapi tidak ada seorang pun yang menjadi sarana untuk bertanya. Aku melihat lebih jauh ke dalam daratan. Ada bukit, ya aku melihat bukit, mungkin aku bisa menemukan air disitu, aku mulai melangkahkan kakiku yang terasa berat, sangat berat, aku berjalan terhuyung huyung. Matahari tidak bersahabat, keduanya menyinariku dengan kompaknya. Aku mulai masuk ke hutan, aku melihat dedaunan yang tumbuh dan juga batang-batang yang menjulur kesana kemari. “Tidak, dimana aku ini, semuanya tidak ada dalam buku yang sudah ku pelajari” . terlintas dikepala ku sesuatu yang mengerikan.  Dimana semua para relawan? Apa tidak ada yang selamat selain aku? Tidak mungkin pasti ada, aku harus menemukannya. Aku berbicara pada diriku sendiri. Akhirnya aku sampai di puncak bukit itu, dari atas aku melihat indahnya hutan di daratan ini. Pepohonan berwarna warni, pelangi yang bergantian menyinari hutan sehingga banyak dedaunan yang berpendar dan berubah warna sangat indah. Udaranya pun segar, entah berapa lama aku berdiri disini, Aku sampai lupa untuk mencari air, kemudian aku mengelilingi bukit itu. Untungnya aku melihat mata air di sebelah timur bukit, aku bersyukur, aku akan selamat, walaupun hanya untuk minum air. Aku mengambil botol air di sakuku, dan mengisinya setelah aku meminum berliter-liter air. Kresek.. kresek..  aku mendengar sesuatu mendekat dari sebelah kanan ku, aku sigap dengan pisau kecilku. Ketika dia mendekat, aku langsung berdiri dengan menodongkan pisau didepan. Aku kaget, didepan ku bukan binatang atau tanaman yang dapat bergerak, tetapi manusia. “Ampun, aku gak salah apa-apa” dia langung menaruh tangannya di kepala. Aku menurunkan pisauku, “kamu dari Amphonarya kan?” tanyaku, walau kami para relawan hanya mempunya waktu sedikit untuk berkenalan tapi aku mengingatnya, dia di dalam kapal bersama ku. Dia mengangguk dan bertanya hal yang sama pada ku.
“Apakah kita doang yang selamat?” tanyaku memecah lamunan, setelah pertemuan itu kita duduk di bawah pohon bersama untuk makan. “Mungkin” jawabnya, “Karena kejadian itu sangatlah parah, kapal benar-benar hancur, ombak sangat besar, tsunami di bumi tidak ada apa-apanya, kita beruntung bisa selamat” sambungnya. Dia juga menceritakan saat-saat terakkhir di kapal, sangat mengenaskan. Setelah itu Dia mengagetkanku dengan barang yang dia keluarkan dari saku kanannya. “Ini, aku menemukan ini di pantai, sepertinya sebuah peta, aku tidak mengerti membacanya”. Setelah aku lihat baik-baik, iya, ternyata benar, itu peta yang di bawa oleh kedua Meslodianga. Di tulis dengan bahasa mereka  dan aku dapat membacanya. “Aku bisa membacanya” kataku, dia kaget. “oh iya, sekarang kita ada dimana? Dan kita harus kemana untuk bisa selamat” tanyanya. Aku sendiri tidak tahu pertanyaan kedua yang di lontarkan.  Pergi kemana agar selamat? Aku memperhatikan benua yang berada di bawah peta itu, benua Quirt. Terdapat tanda bukit kecil sebelah selatan dari garis pantai yang panjang.  Di kanan kiri bukit itu adalah hutan lebat. Aku menoleh ke kanan dan kiri, disekelilingnya adalah hutan, dan sekarang aku yakin kita berada disini. Di bukit yang bernama Keirto. “Jadi kita dimana?” tanyanya yang sudah tidak sabar. “Sekarang kita disini di bukit Keirto” aku menjawab. Lalu dia melihat peta baik-baik. “Oh oke, apa arti Keirto?” tanyanya, aku menganggap pertanyaan ini tidak penting sekali, tapi aku jawab saja, “Bukit cinta”. “Bukit cinta?” dia memastikan. Kami saling bertatapan, seakan ada yang salah dengan Bukit Cinta ini, hanya namanya yang romantis. “Tapi aku nggak tau harus kemana?” tanyaku memecah lamunan, Dia kembali melihat peta lekat-lekat. “ini apa?” tanyanya. Dia menunujuk ke arah selatan dari Keirto, sebuah lambang istana. Lalu aku membacanya. “disitu tertulis Tesko, Ibu kota para Meslodianga di benua Quirt”, “Bukankah kita harus kita pada saat kita briefing sebelum berangkat?” , Aku langsung teringat pada saat briefing itu dan itu benar, kita harus kesana katanya ada manusia lain didekat sana, namun tidak diterima oleh Meslodianga yang tinggal di Tesko, jadi mereka hidup tanpa bantuan. “Berapa waktu tempuh yang kita butuhkan sampai kesana” tanyanya lagi. Aku menghitung dengan skala yang di ajarkan di sekolah. Aku menghitung dengan cermat, jaraknya jauh sekali, dan kita tidak bisa berjalan cepat di hutan ini, banyak semak belukar yang harus di potong, 2 bulan kita mungkin akan sampai, ah tidak terlalu cepat itu, 20 bulan? Ya, dua puluh bulan, hitungan ku kurang angka 0 satu. Tunggu 20 bulan? Itu sama saja... “Yap, setelah ku itung-itung kita akan sampai 2 tahun lagi, hehe” jawab ku pelan. Aku tidak mau dia kaget, tapi dia benar-benar kaget, “Whatt.... dua tahun? Berjalan kaki?” dia frustasi, tidak hanya dia, aku juga. Kami berdua terdiam, tidak mungkin kita akan bertahan selama itu. Walaupun kami sudah terbiasa dengan satu hari di planet disini (satu hari planet Kesmephere merupakan 2 hari di bumi), tapi itu sama saja dengan bunuh diri.
“Tapi kita harus mencobanya” dia berkata. “Kita tidak mau mati di bukit ini juga kan, kita harus mencobanya sampai ke Tesko dan tetap menyelesaikan misi, walaupun tidak akan sempurna.” Tambahnya panjang . Aku tersenyum padanya, dan ini pertama kalinya aku tersenyum kepadanya. “Ya, kita harus mecobanya” jawabku penuh semangat. Dia pun berdiri dari senderannya dan melihat kearah selatan. Walaupun didepannya hanya ada hutan yang luas, tapi aku dapat melihat di bola matanya terdapat suatu harapan untuk mencapai Tesko. “Yuk kita berangkat” ajak ku, setelah membungkus makanan yang tadi dibawakan olehnya. “Tunggu, kita juga harus saling menjaga satu sama lain” katanya, menahan langkahku untuk maju. “Aku tahu itu kok, dan aku berjanji, apalagi menjaga laki-laki kacangan kaya kamu” aku bercanda, namun wajahnya berkerut tidak suka. “Oh iya siapa nama mu ?” tanya ku yang dari tadi tidak sempat menanyakan namanya. “Oh iya lupa, Aku Daniel” “Aku Yoo, salam kenal” kami berjabat tangan. Kami pun menuruni bukit ke arah selatan, matahari Och dan Tam di belakang kami menyinari langkah kami untuk menempuh perjalanan jauh yang mungkin tidak akan sampai.
“Waw, romantis sekali” sahut Alya ketika aku menghentikan ceritaku karena tenggorokanku seakan kering berbicara terus menurus. Aku tidak buru-buru untuk menjawab pernyataan Alya. Aku meminum secangkir kopi yang dibuatkan oleh Alya. “Ya begitulah, hihi” aku menjawab nakal. “Ngomong-ngomong kamu sudah bisa membuat kopi dengan baik, terakhir aku kesini, rasanya masih kacau” canda ku ke Alya. Alya mengerutkan keningnya seakan tidak suka, telinga panjangnya turun menandakan sedih. “aku kan berusaha terus, tapi aku bisa, tanpa bantuan kamu membuat kopinya”  wajahnya tersenyum terang, telinganyapun terangkat kembali. “Jadi beneran tuh kamu sampai di Tesko selama dua tahun?” tanya Alya lanjut kecerita. “Tidak, lebih parah dari dugaanku” aku menjawab. “Wihh tapi asik dong berduan doang sama laki-laki, dua tahun lagi, kamu jatuh cinta sama dia?” tanyanya, matanya yang bulat besar memelototiku dengan penuh harapan, seakan akan ada jawaban didalam mataku ini. Tapi, mukanya yang nan lucu dan ngegemesin itu membuatku tidak dapat menahan diri, aku mencubit pipinya hingga kemerahan, Alya pun teriak minta ampun. “Ihhh jahat kamu Yoo” kata Alya sambil membetulkan rambutnya. Aku hanya tertawa, aku sering mencubit pipinya Alya yang lucu. Menggemaskan. “Ya ada deh, dengerin dulu cerita aku ini, masih panjang tau...” jawabku, Alya lalu merapikan cara duduknya lalu duduk dengan rapi.

Year 2, Kesmephere Lunar 7, 2055 (setahun dari bukit Keirto)
“Yoo, posisi 4” teriak Daniel, “Oke Siap” jawabku lalu berlalu menju sisi kanan. Makhluk yang berbentuk rusa itu berbelok ke arah yang sama. Aku dapat melihanyat meloncati batu itu dan setelah turun terjerembab pada perangkap yang sudah dipasang. Tapi dia dapat meloloskan diri. Untungnya Daniel sudah menyiapkan aku di posisi ini, aku dengan mudah memanah rusa itu, lalu mati seketika. Daniel memang ahli strategi yang bagus, seakan dia mengetahui yang akan terjadi setelahnnya, sudah setahun aku bersamanya dalam perjalanan ini namun aku selalu mengagumi keahliannya. Karenanya kita masih bisa bertahan sampai sekarang, masih bisa melanjutkan perjalanan. Setahun sejak turunnya kami dari bukit Kerito, kami sudah hampir mati berkali-kali. Daniel selalu menolongku , seperti yang terjadi dua bulan yang lalu, saat bulan Juan. Juan adalah bulan dimana seluruh Kesmephere terjadi bencana alam, bencana global, hujan terus menerus, panas matahari menusuk, ombak besar, sungai meluap dan lainnya. Daniel menolongku ketika aku jatuh dari rumah pohon yang kami buat, sedangkan dibawahku sudah ada aliran air yang siap menenggelamkanku. “Hoiii, bantuin angkat makhluk aneh ini, malah bengong kamu disitu” teriak Daniel, dan aku baru terbangun dari lamunan aku. “Siapp” aku berlari menuju Daniel yang menungguku. Kami berdua membawanya ke api unggun untuk makan malam ini dan besok pagi. Seperti biasa, tidak perlu disuruh, aku menguliti binatang itu dan Daniel mempersiapkan tempat untuk memasak, lalu mengatur api. Tam dan Och sudah benar-benar tenggelam. Bulan Host menyinari kami, dari benua Quirt ini bulan Host yang besarnya hampir sama dengan Kesmephere menunjukan sisi lainnya. Lebih terang dan lebih Indah. Sebelum tidur aku selalu menatap bulan itu dengan sepenuh hati dan terkadang aku menangis merindukan nenek Albert. Dia mungkin kesepian disana. Terkadang aku menangis kencang karena sudah tidak tahan dengan penderitaan ini, namun Daniel selalu memberi semangat, dia selalu menemani aku. “Oh iya Dan, kamu inget hari ini hari apa?” tanyaku ketika menyantap daging, dia bengong seakan ada yang dia lupakan. “Hari apa? Maksdnya? Sekarang Lunar 7kan? Lalu?” tanyanya, lalu menyantap kembali daging itu. “Kamu lupa, ini hari dimana kita meninggalkan bukit Keirto” jawabku. Dia tercengang, seakan ada yang menusuk di lehernya. “Ah iyaaa.... kita udah setahun berarti berjalan menuju Testo, berarti tinggal setengah perjalanan lagi” Daniel tiba-tiba senang entah mengapa padahal kesehariaanya dia selalu berfikir tentang perjalan ini. “Ya itu jika hitungan kamu benar, dan gak salah arah” tambah Daniel.  Tiba-tiba mood ku berubah, aku bete, tidak nafsu makan, menyerangku dan aku melihat Daniel dengan muka marah. “Ya aku minta maaf” katanya setelah melihat mood aku yang jelek. Dia memang selalu ketakuakn bila aku marah, gue pernah memukulnya ketika badmood, dan sejak saat itu dia selalu ketakutan kalau aku sudah badmood. Aku pun kembali tertawa melihat mukanya yang aneh sedang ketakutan, dia hanya tersenyum kecil.
Berbeda dengan perjalanan kami yang pertama. Kali ini kita tidak bergerak lurus ke  selatan, namun agak kebarat. Jika kami bergerak lurus ke arah selatan, kita akan sampai di tengah-tengah Testo. Testo di kelilingi jurang besar. Pintu masuk hanya ada di sebelah barat, sebuah jembatan besar yang membentang. “Apa kita benar dengan sudut elevasi ini?” tanyaku agak ragu. “Ya” Jawab Daniel. Aku percaya kepadanya. Sedikit lagi, satu tahun lagi, aku dan Daniel sampai ditujuan. Aku semakin optimis, ditahun pertama aku tidak mati, dan semakin lama aku juga semakin pintar berburu. Jadi aku bisa bertahan hidup.
“Jadi kamu sekarang sudah bisa berburu?” tanya Alya, memutus ceritaku. Aku mengangguk, namun Alya seakan tidak berpercaya apa yang aku katakan barusan. “Aku bisa memburumu nanti malam, kalau kamu tidak percaya, dan menghabisi mu sampai mati” aku mengacam, tentu dengan nada bercandaa. Alya tertawa, “Mana bisa kamu memburu ku, kamu tahu kekuatan Meslodianga kan?” remeh Alya. Kekuatan Meslodiaga memang menakjubkan. Aku melihat Alya menghilangkan dirinya, hingga tidak terlihat. Lari mereka pun sangat cepat dua kali melebihi manusia.  “aku sudah berlatih sepuluh tahun ini Alya..” “Menghadapi semua binatang buas yang mempunyai kemampuan seperti kalian” aku tersenyum senang. “Ih awas kamu lihat saja nanti” Jawab Alya, kami tertawa.

Year 3, Derco 1 2056 (Hari terakhir)
                “Ini tempat apa?” tanya Daniel, “Tidak tahu disini hanya tertulis “Ka” yang berarti reruntuhan” jawabku. Daniel tidak menjawab kembali. Dia hanya berjalan untuk mencari jalan keluar. Dari pertama aku masuk ke wilayah ini, aku merasakan sesuatu yang janggal, ini memang reruntuhan, tapi bukan reruntuhan biasa, ada banyak ukiran-ukiran yang tidak masih jelas tertanam di dinding-dinding batu seakan baru di tulis kemarin.  Di tengah reruntuhan kami menemukan bagian besar, bangunan yang sangat besar masih utuh, mungkin tinggal runtuhnya saja. “Aku ke atas dulu, aku harus mencari tahu cara tercepat keluar dari sini” Daniel mengatakan sesuatu yang membuat aku cemas kepadanya. “jangan, jangan sendiri, biar aku juga naik bersama mu” aku teriak, seakan aku akan ditinggal selamanya oleh Daniel. Daniel terkejut dengan ucapanku itu. “Kamu kenapa?” tanyanya. Tiba-tiba aku baru tersadar akan perbuatanku. Seharusnya aku tidak apa-apa, hanya di tinggal seperti itu, padahal waktu kami dihutan, aku pernah di tinggal seharian olehnya dan aku biasa aja. Mukaku merah padam. Jika ada kaca aku akan melihat mukaku seperti tomat. “Ya sudah ayo kita keatas bareng” ajak Daniel. Aku kembali menyesal apa yang aku lakukan tadi, aku bukan perempuan yang mandiri lagi, tetapi menjadi manja dan menyusahkan Daniel. Lorongnya sangat gelap, berdebu, banyak ukiran-ukiran aneh di sepanjang lorongnya, tidak hanya itu ada juga lukisan manusia. Bukan, bukan manusia itu adalah Meslodianga. Tapi kenapa aneh sekali mukanya seakan lebih tua dari biasanya. Strukturnya mukanya juga berbeda, Apakah itu nenek moyang Alya? Tidak lama kami berada di tengah ruangan yang luas. Aku bisa yakin ini adalah ruangan pusat. Ruangan yang besar, seperti ruang raja. Terdapat tangga memutar keatas di ujung ruangan. “Disana, ada tangga” teriakku. Aku dan Daniel langsung lari menuju ke tangga itu. Saat akan melangkah, Daniel menghentikan ku, dia memeriksa tangga beton itu. “Oke masih bagus, tapi kita harus tetap berhati-hati” katanya. Lagi-lagi aku menjadi merasa bersalah, padahal aku sudah di beritahu berkali-kali olehnya agar tidak ceroboh. Jalan terus berputar-putar ke atas. Sesampainya dia atas, aku dapat melihat pemandangan yang indah. Seluruh kota dan hutan yang baru saja aku lewati terlihat dari sini, udaranya juga sangat segar. Aku mencoba menutup mata dan menghirup udara dalam-dalam, menenangkan pikiran. Sangat menyenangkan.
“Hai, Yoo” Daniel berkata, kata-lata Daniel mengagetkanku. Aku membuka mata dan melihat Daniel, menantap sesuatu yang aneh di sebelah selatan “Ada apa?” tanyaku yang sekarang berada disebelahnya. Di menunjuk ke suatau arah di sebelah selatan. Aku menelusuri arah tangannya, dan aku terkaget-kaget, jantungku mau copot, tidak, berhenti, atau mungkin.. sudahlah aku tidak tahu harus berkata apa-apa lagi. Itu adalah Tesko, ya Tesko, kota emas di tengah tengah benuah Quirt, kediaman para Meslodianga. Kotanya terlihat dekat dari sini. Mungkin beberapa hari lagi kita akan sampai. Aku melihat tatapan Daniel yang penuh keyakinan akan menemukan manusia lain disana. Aku tersenyum, dan entah berapa lama aku menatap Tesko dari atas bangunan itu.
                “Reruntuhan itu bernama Jorfas” sela Alya. Aku menatapnya bingung. Lalu dia mulai bercerita. Dan tebakan ku benar. Meslodianga yang berada di Jorfas bukanlah nenek moyang Meslodianga sekarang. Mereka adalah musuh Meslodianga. Tadinya kedua suku tersebut hidup bedampingan dan bahkan membaur, namun seiring berjalannya waktu kedua suku ini ingin memperebutkan wilayah satu sama lain. Perang pun tak terhindarkan. Dewi fortuna memihak Meslodianga yang sekarang dan yang laiinnya punah dalam perang. Jorfas adalah pertahanan terakhir mereka yang kalah dan akhirnya keturunan terakhir mereka punah disitu. Sungguh malang nasib mereka. “Apa mereka tidak ada yang melarikan diri” tanyaku pada Alya. Alya hanya menggeleng. Meslodianga yang kalah, bunuh diri secara masal karena tidak mau bergabung dengan Meslodianga yang menang. Bagi mereka kalah adalah sesuatu yang memalukan. Mereka lebih baik bunuh diri dari pada menanggung malu, bahkan oleh saudara mereka sendiri. “Reruntuhan Jorfas masih adakah sekarang? Apa sudah dihancurkan? Aku dengar 7 tahun lalu ada pengeboman masal untuk menutup situs itu” tanya balik Alya, namun kini aku yang terdiam seakan tidak bisa bergerak. “Ya! sudah tidak ada, aku yakin” jawabku
                Aku dan Daniel agak lama menetap di Jorfas, menurut kami itu adalah tempat paling aman untuk menghadapi bulan Juan. Selama bulan Juan kami terus menerus berada di dalam gedung tinggi itu dan memakan bekal yang sudah di siapkan. “Padahal tinggal dikit lagi” tanyaku memecah lamunan. Kita sudah terlambat dari perkiraan yang akan sampai dalam waktu 2 tahun. Kita sudah mendekati tahun ke empat dari bukit dimana aku dan Daniel bertemu. Gila sekali. Aku sudah muak dengan perjalanan ini. “Sabarlah lah tinggal 4 hari lagi bulan ini selesai dan kita bisa langsung menuju Tesko” jawab Daniel, dia berusaha menyemangatiku. “Aku kedinginan” kata-kata itu keluar dari mulutku tanpa di pikirkan terlebih dahulu. Padahal dingin seperti ini sudah biasa bagiku, tapi kali ini terasa berbeda. “Yaudah sini” Daniel menyuruhku mendekatinya, lalu aku duduk disebelah Daniel. Daniel memelukku dengan tangan nya, terasa hangat. Baru pertama kalinya aku merasakan kehangatan seperti ini, aku berfikiran Daniel juga merasakan hal yang sama denganku. Tak tersadar aku terlelap di pelukannya.
Keesokan paginya aku terbangun dengan selimut yang menutupi tubuhku. Daniel sudah tidak ada. Diluar hujan deras-sangat deras. Apa dia keluar?tidak mungkin. Aku melihat ke lantai bawah. Air sudah menggenang hingga lantai dua. Ini merupakan banjir terhebat dari bulan Juan tahun ini. “Yoo bangun... “ tiba-tiba suara teriakan Daniel terdengar dari atas. “Yoo cepat kita harus membereskan semuanya lalu kita harus keatas” perintah Daniel yang sudah siap siap membereskan semuanya. “Ada apa?” tannyaku terheran-teharan. “Sudah nanti dulu, kita harus keatas” matanya seakan ada sesuatu yang akan ditunjukan diatas. Aku pun bergegas membantu Daniel. Lalu kita bergegas keatas. Bunyi gerumuh hujan dan petir dimana-mana mendampingi langkah aku dan Daniel menuju ke puncak bangunan. Diatas aku sama sekali tidak dapat mellihat dengan jelas. Cuaca sangat parah buruknya. “Yoo lihat itu!!” suruh Daniel. Aku mencoba membuka mata. Lalu aku dapat melihat sinar-sinar kecil dari arah Tesko, Sinar-sinar itu mendekat, aku masih tetap berada di belakang dinding dan memeluk dinding itu. Anginnya sangat kecang, aku takut terjatuh dari ketinggian. Cahaya itu semakin lama semakin jelas. Itu pesawat milik Meslodianga. Sedetik kemudian aku merasa bangga, akan ada yang menjemput kami. Tapi, apakah mereka dapat melihat aku dan Daniel? Itu pesawat besar, sangat besar. Tiba tiba bumi berguncang. Aku dan Daniel kebingungan setengah mati. Kesmephere terbuat dari lempengan yang stabil, tidak seperti bumi. Aku melihat kekanan, reruntuhan seakan menyala terang. Sedetik kemudian aku baru tersadar, yang menyala itu adalah ukiran-ukiran aneh di reruntuhan ini. Dan dari buku yang kupelajari dari Alya itu adalah sejenis bom dari Meslodianga. Jantungku berhenti berdetak, apa mereka akan menghancurkan reruntuhan ini? Tidak mungkin. “Daniel reruntuhan ini adalah bom” teriak ku pada Daniel. Daniel baru kaget mendengarnya, bunyi keras terdengar dimana-mana.
“Apakah benar itu terjadi?” Alya merasa kasihan dan khawatir. “Iya” Aku menunduk, ingatan tujuh tahun lalu kemballi kedalam otakku. Semua seakan terulang lagi, semuanya. “Yoo, Yoo, kamu tidak apa-apa?” Alya mengguncang badanku, aku kembali tersadar. Aku bengong? Selama itu kah, sampai harus dibangunkan oleh Alya. “Tidak, tenang aja, hanya teringat masa lalu” jawabku tenang, aku melihat kekhawatiran dari wajah Alya. “Eh, makan yuk itu udah di siapin makanan di Meja, udah malem juga, dari tadi kamu cerita terus gak berhenti-henti” ajak Alya untuk turun kebawah. Sepertinya, Ibunya sudah pulang dan membawa makanan, aku mendengar Alya teriak pada ibunya, untuk dibelikan makanan manusia. “Ayo buruan, bentar lagi Ibuku dateng lagi, kita harus udah dibawah” ajak Alya kembali. “Oke, kamu duluan aja, aku nyusul nanti” jawabku. Alya hanya tersenyum lalu meninggalkan aku sendirian di kamarnya. Tidak terasa bulan Host sudah bersinar terang dilangit Kesmephere. Aku kembali teringat, Saat ledakan terjadi, daratan yang ada di bawah aku longsor, aku hampir terjatuh, namun Daniel menolongku, dia menarik ku ke pelukannya. Aku aman, untuk sementara. Sekarang ledakan berada di bawah kaki bangunan itu. Aku merasa pijakan ku semakin lama semakin kebawah, Aku serasa melayang, bangunan tinggi itu roboh, aku tidak tahu harus berbuat apa, Daniel memelukku erat. Sedetik kemudian pijakan Daniel longsor, aku memgang Daniel tepat di pergelangan tangannya. Tanganku yang satu lagi memgang dinding yang sudah rapuh. Di belakang Daniel aku melihat sesuatu yang mengerikan. Banjir setinggi dua lantai itu sudah meluluh lantahkan semuanya, membawa semua sisa bangunan yang ada. “Yoo, sudah lepaskan aku, tangan kirimu berdarah, kamu juga bisa terjatuh” suara Daniel tersamar oleh hujan deras yang turun. “Tidak, kita pasti selamat” jawabku pasrah. Aku sudah tidak dapat merasakan tangankiriku, yang pasti sakit sekali. “Kau bisa selam-“ “Tidak, kita berdua pasti bisa melewati ini, aku tidak mau kehilanganmu, kamu sudah membawaku sejauh ini, aku tidak akan meninggalkanmu, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa, aku  menyayangimu” air mata ku keluar, namun aku tidak dapat membedakan nya dengan air hujan, tenagaku sudah habis. Aku melihat Daniel untuk terakhirkalnya dimalam itu. Dia tersenyum kepadaku, lalu melepaskan genggaman dengan sengaja. Tubuhku terasa lemas, aku bersandar pada tiang yang kini sudah miring lebih dari 45 derajat. Aku tersender dengan lemas, “Daniel, aku menyukaimu”. Tak lama bangunan ku hancur, tak ada lagi tempat untuk bersandar, atau bahkan untuk memegang sesuatu. Lalu aku tercebur kedalam air. Entah mengapa aku terseyum seketika sesaat sebelum banjir menelanku. Aku melihat bulan Host yang sudah tidak tertutup awan menyinariku dengan hangat dan penuh kenangan indah, sama seperti ketika Aku dan Daniel berperlukan bersama sebelum tidur, dan sama seperti aku yang lagi menatapnya dari jendela kamar Alya.

To be Continue......
               

Selasa, 30 Juli 2013

(C) For Fara


Aku keluar dari pertikaian itu, baru dan pertama kalinya. Keanapa dia harus marah pada ku padahal kami teman sekaligus menyandang status mantan, aku keluar sekaligus menarik Fara dari cengkramannya. Tidak hanya aku yang menarik Fara, Andrew pun ikut menarik Linda dari jambakan Fara. Seharusnya aku tadi yang bermasalah dengan Linda namun Fara membelaku. Emosinya pun memuncak lalu menampar Linda dengan keras. Sebelumnya aku yang hanya diam saja, mendengar makian dari Linda yang sangat sadis itu. Dan berakhir dengan eksekusi dari Fara. Fara tidak tega melihatku di hina, mungkin karena aku pacarnya. Aku membawa Fara menuju teras belakang, lalu menenangkannya. “Kamu kenapa sih beb?” tanyaku. Dia melihatku dengan tajam, seakan aku sudah tau jawaban yang aku tanyakan kepadanya. Pertama kalinya selama 2 tahun kami pacaran dia semarah ini. “Gitu aja nanya” Jawab Fara judes. Aku hanya terdiam, melihatnya yang masih cemberut. “Ya.. aku gak mau aja kamu dikatain kaya begitu, jelas-jelas kamu yang lagi ngobrol dengan Andrew, kenapa dia yang nyamber?” tambahnya. Aku bingung menjelaskannya. Andrew adalah sahabat gue dari SMA, dia yang selalu memberi modal pada bisnis ku, bisnis yang boleh dibilang iseng-iseng berhadiah. Aku berbisnis merchendise Idol Group Jepang dan Korea, aku mengimportnya dari sana dan menjualnya disini. Masalah terjadi ketika Andrew jadian dengan Lidia. Masalah bukan datang dari Andrew namun Lidialah. Lidia adalah mantan ku sebelum aku berpacaran dengan Fara, kami putus karena Lidia orang yang matre, aku tidak sanggup dengan permintaanya, meminta ini – itu dengan harga yang tidak murah. Kami putus dengan dendam yang tidak terukur. Lidia ingin membalaskan dendamnya dengan meminta Andrew menyuntikan modalnya kepadaku.
                “Tapi aku tidak tahu harus gimana lagi” jawabku. “Yaudah biarin, kamu kan bisa cari orang lain yang bisa modalin kamu” jawab Fara mukanya masih marah, aku hanya berdiri frustasi menatap langit, aku mencari jawaban dari kefrustasian ku ini. Sebelum masalah terjadi, aku sudah mencari-cari orang yang dapat memodaliku namun, sampe sekarang aku belum menemukannya. Sebenarnya suntikan dana yang dihentikan tidak membuatku goyah, namun bagaimana dengan Fara dia pasti akan tidak suka dengan gaya hidup setelah ini. Dia sudah biasa hidup enak dengan orang tuanya dan akan berhemat-hematan denganku. Butuh waktu berbulan-bulan untuk kembali hidup seperti sekarang. Aku tidak mau keuanganku dicampuri dengan keuangan orang tau ku. Aku mau memberi uang pada orang tuaku namun, aku tidak suka meminta uang pada orang tuaku, itulah prinsipku dalam hidup. Aku masih menatap jauh kebintang-bintang malam dari teras villa dikawasan puncak. “Tio” panggil Andrew dari belakang. Aku tahu dari tatapannya sepertinya Ia ingin membicarakan sesuatu yang penting kepada ku. Aku menatap Fara sebentar lalu mengikuti Andrew. Aku dibawa ke garasi mobil. Aku melihat Lidia sudah berada di dalam mobil Lamborghini kepunyaan Andrew. Wajahnya melihatku dengan sangat jijik tak karuan. “Jadi..  maaf gue nggak bisa modalin lu lagi, Lidia melarangnya” kata Andrew. Jawaban itu seakan mengutuk gue untuk masa depan ku dengan Fara. “Apa tidak bisa diam-diam saja?” kataku memelas. “Tidak bisa Lidia memegang semua rekening ku sekarang, maaf” jawab Andrew menyerah. Belum aku menjawab, kelakson mobil lamborghini itu sudah meraung-raung keras, aku tahu Lidia sudah tidak sabar ingin pergi dari pesta ini karena melihat aku.
                Andrew langsung meninggalkan gue sendiri di garansi dan melajukan mobilnya di tengah malam menuju Jakarta. Aku hanya terdiam benar-benar diam, aku tidak mengerti apa yang aku harus lakukan sekarang. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Fara yang ternyata mengupping dibelakang pintu garasi. Aku tidak berkata dengan sedikit pun hanya tatapan kosong yang aku tunjukan untuk Fara. Fara pun mengerti apa yang terjadi tadi aku dengan Andrew. Fara pun datang memelukku, terasa hangat dan tentram. “sudah beb gpp, aku mau kok susah-susah sedikit, asal aku bisa bersama kamu” bisik Fara. Aku diam, aku bersyukur, “Terima Kasih sayang”­ 

Selasa, 23 Juli 2013

(C) Rindu


Seperti bisa, aku menunggunya disini bersama dengan orang-orang lain, mereka tampak bahagia karena seberntar lagi mereka akan berjumpa dengan seseorang yang mereka sayangi. Aku melihat di dinding samping kanan yang bejarak 20 meter dari tempat aku berdiri, ada sepasang anak bersama ayah mereka, mungkin mereka menunggu Ibu mereka yang sudah lama jauh dari mereka. Anak-anak itu meloncat-loncat tak sabar menunggu ibu mereka kembali ke hadapan mereka. Aku pun mengalihkan pandangan kearah kiri tepat disebelah kiri ku sepasang orang tua yang sudah menunggu anak mereka pulang. Mungkin anak itu melanjutkan sekolahnya disana dan orang tuanya menunggu kembali ketanah air tercinta. Banyak suasana menyentuh disini, begitu juga denganku yang sudah lama ingin bertemu kekasih ku. Sudah dua tahun aku tidak bertemu dengannya. Mungkin jika di tambahkan, 4 tahun lamanya sudah aku dan dia berpisah. Sekitar 4 tahun lalu tepatnya di bulan Agustus, aku harus berpamitan karena aku harus mengejar cita-citaku ke Jepang, aku mendapatkan beasiswa disana untuk mengambil S2 selama 2 tahun, aku tidak di izinkan untuk pulang dari kampus ku di Jepang karena biaya untuk kembali bukanlah biaya yang murah. Setelah aku selesai dengan 2 tahunku, ketika aku kembali ke Jakarta, sehari sebelum tiba, giliran kekasihku untuk mengejar cita-citanya ke negeri yang terkenal dengan tembok raksasanya itu dengan waktu yang sama dengan ku, jadi aku harus menunggu, lagi-lagi harus menunggu dengan kurun waktu yang tidak sebentar. Janji sehidup semati kami, 4 tahun bukanlah hal yang mudah untuk bepacaran Long Distance Relationship atau bahasa gaulnya LDR. Sungguh sesuatu yang bukan main-main lagi.
                Ting Tong... bunyi pengeras suara itu membuat aku terbangun dalam lamunan. Pengumuman itu memberitahukan pesawat yang di tumpaingi kekasih ku itu harus delay selama satu jam, lagi perjumpaan kita harus terundur, aku pun sudah sangat lelah berdiri selama berjam-jam jadi aku memutuskan untuk mencari restauran yang nyaman sambil manunggu. “ada ada saja ini yang mengganggu ku” gumam ku dalam hati sambil aku duduk dengan tenang di sofa lebut. Aku jadi teringat dosa ku yang hampir terlupa, godaan besar menghampiri ketika berada ditahun ketiga aku tidak berjumpa dengan kekasihku. Waktu aku berjalan di mall daerah Pondok Indah, aku bertemu dengan mantanku bernama Ratih. Awalnya aku dan Ratih hanya bertemu dan makan bersama, lagi pula dia hanya sedang berjalan-jalan sendiri. “Memang kenapa tidak jadi menikah?” tanyaku penasaran sesudah dia memberitahukan pembatalan pernikahannya kepadaku. “Karena aku masih memikirkannya” jawabnya pendek. Dia tidak memberitahuku dengan jelas penyebanya. Lalu tak lama dia memintaku untuk mengatarkannya pulang, menuju ke apartemennya. Karena aku sendiri tidak ada kerjaan saat itu, aku pun setuju untuk mengatarnya pulang. Singkat cerita ketika aku sampai didepan pintu apartemennya. Dia mengajakku untuk masuk, aku pun sudah tahu maksudnya. Tapi aku tidak bisa menahan nafsu ku yang terpendam dalam 3 tahun belakangin ini. Dia mulai mendorong ku menuju ke tempat tidur, lalu melumat bibirku dengan bibirnya. Awalnya aku sempat terhipnotis dengan nafsunya, aku pasrah karena aku benar-benar sudah tidak tahan. Sebelum aku melepas bajunya, entah mengapa aku teringat dengan pesan kekasihku, Nadia. Aku pun melempar Ratih kesamping. Aku duduk termenung, memikirkan apa yang telah aku lakukan? Aku mengkhianati Nadia!. “Maaf aku tidak bisa, hati ku hanya untuk Nadia” aku kembali memakai bajuku yang sudah terbuka lalu keluar dari apartemen.
                Kring.... Hp aku berbunyi, lamunanku kembali buyar, ternyata Nadia sudah keluar dari pesawat. Aku buru-buru meninggalkan restoran. Aku berdiri di tempat pintu keluar dan tidak lama aku melihatnya keluar. Aku melihatnya... lebih cantik dari yang kuduga, apakah ini pengaruh dari sudah lama aku tidak melihatnya. Rindu yang sudah tidak tertahankan. Dia mencari ku, namun aku sudah menatapnya lekat-lakat, lalu dia melihat kearahku. Benar-benar sesuatu yang sangat indah, kami pun berpelukan seakan tidak mengenal malu dilihatin orang hanya untuk melepas rindu semata. “Kamu tambah cantilk” pujiku, “kamu makin keren aja”, balasnya aku mengambil barang bawaannya yang banyak sekali, mungkin oleh-oleh. Kami pun berjalan menuju ke pintu keluar. “Jadi apa kamu tetap menepati janji kita?” tanyanya memecah lamunan. Aku terkejut setengah mati. Dia menatapku dari pekukanku ke bahu kirinya dan tetap mendorong troley. “Tetap setia denganku?” tambahnya. “Iyap pasti dong” jawabku . Lalu Nadia mencubitku. “Ah jangan bohong. Jujur deh” . Aku terdiam seakan dia sudah membaca pikiranku dan sedang melihat aku dengan Ratih berduaan di kamar. Aku tersenyum. “Tuh kan... udah lah kamu kan emang kaya begitu orangnya. Nanti cerita aja. Aku gak marah kok, aku yakin cobaan pasti ada dan kamu bisa mengatasinya” dia memelukku erat. Aku merasa ciut, sekarang Nadia sudah lebih dewasa dari pada aku. Aku harus menceritakan cerita ku dengan ratih dan tidak akan mengulangi kejadian itu lagi.

Jumat, 28 Juni 2013

(C) Reuni Angkatan


Sekarang gue melihatnya lagi, dia berbeda dari yang dulu, sangat berberda. “Haii” gue menyapanya. Dia sedang meminum segelas minumannya dan hampir tersedak ketika gue memanggilnya. Dia tidak langsung menyapa, pertama dia mengerutkan alisnya seakan berfikir keras makhluk apa gue ini, kemudian dia barumenyadari keberadaan gue. “Elu Fitri yah??” katanya ragu. Akhirnya....  dia mengenal gue juga. “iya... udah lama kita tidak ketemu” kata gue tapi suara gue sedikit berubah tidak tahu kenapa, seakan gue baru mengenal laki-laki didepan gue ini. “Bagaimana kabarnya?” tanyanya. “Baik kok” jawab gue dengan cepat, perasaan gue seperti bercampur aduk, tidak tahu kenapa. “Yuk ngobrol dulu sebentar” ajaknya. Penyanyi sedang menyanyikan sebuah lagu diatas panggung, suasana pesta juga meriah mungkin dia sedang ingin mengobrol tanpa harus berteriak. Aku mengikutinya, gue tidak lepas-lepas menatap jas hitam yang dikenakannya, terlihat cocok sekali di malam yang pernuh nostalgia. Sesampainya di balkon gedung 6 itu dia bersender di pager pembatas, lalu menatap gue, iya menatap gue. “Elu cocok pake gaun itu” sanjungnya. Gue pun tersipu malu, kemudian kami bercakap-cakap kejadian selama 5 bulan setelah kelulusan kami. Setelah beberapa lama gue ingin menyinggung tentang masa kuliah kami. mungkin dia tidak ingin mengingatnya. Itu masa tersuram yang pernah dialaminya, yang disebabkan oleh teman sejurusannya, oleh gue sendiri.
Jika diingat-ingat, atau mungkin sebaiknya tidak perlu diingat, gue menyakiti hatinya waktu itu. Sejak awal gue masuk kuliah gue berteman dekat dengannya, dia selalu menemani gue ketika gue sedang sendiri entah ke kantin atau ke perpustakaan untuk meminjam buku. Gue pun juga sama, gue selalu mengajarinya belajar, dia sangat susah untuk mengerti mata kuliah di jurusan kami. Gue membantunya belajar sehingga kami bisa lulus tepat 4 tahun dan wisuda bebarengan. Namun kejadian itu berawal ketika kami baru saja lulus skripsi kami, dia menembakku untuk menjadi pacarnya. Awalnya gue ragu untuk menerimanya, karena kami sudah sangat nyaman hanya sebatas teman. Akhinya gue menerima dia. Namun, umur pacaran kami hanya sebatas satu bulan. Gue juga tidak menyangka kenapa gue bisa menjadi perempuan yang sangat cemburuan padahal dia melguekan hal tersebut hanya sebatas fans. Kami bertengkar hebat karena dia lebih menyukai idol group kesukaannya dari pada gue. Setiap minggu, gue harus mennunggunya sampai selesai konser idol itu, harus rela melihat display picturenya yang berfoto perempuan cantik nan mulus itu dan menerima foto kami berdua yang kalah banyak dengan foto idol itu. Yap, gue saat itu sangat cemburu berat hingga semua logika hilang. Dia mencoba untuk menjelaskan secara detail ke gue, tapi tetap saja dimana nafsu yang berjalan di situlah penyelan terjadi. Gue pun lost contact sampai saat ini kami bertemu, bahkan saat wisuda gue muak melihat mukanya dan berusah menghindar bila dia ingin bertemu dengan gue.
"Dorr" kagetnya. Lamunan gue tentang masa lalu buyar seketika dan memaksa gue untuk kembali ke kenyataan. "Ah nggak kok gpp" kata gue yang terlontar dengan cepat. "Dih gpp gimana?" Tanya dia aneh. Sebenarnya bukan dia yang aneh tapi guenya aja yang salting didepannya. Apa gue ungkapkan saja perasaan gue sekarang? Pikiran itu terlintas didalam otak gue. Ah tidak, mana mungkin dia menerima ku lagi. Tapi pikiran itu terus mendesak di otak gue, tidak hanya itu hati lah yang paling mengerikan, dia terus mendorong gue untuk mengucapkannya. “Jadi...” sahut gue yang ingin menanyakan hal tersebut.  “Iya?” dia menatap gue lekat-lekat, matanya seakan membaca pikiran gue, membaca jauh kedalam hati gue. “Gimana perasaan elu ke gue sekarang?” bodoh, itu pertanyaan yang sangat aneh, dia hanya mengerutkan keningnya sebentar lalu menantap jauh ke arah bintang-bintang yang bertebaran di langit. “Sebenarnya.....” ucapnya. Gue menunggu jawaban itu, Tiba-tiba dari dalam terdengar sebuah lagu berjudul Heavy Rotation, kami diam sejenak, lalu tertawa geli seakan masa lalu itu masih tetap melekat dii otak kami, “Jadi sebenarnya...” ucapnya, dan gue menunggunya lagi, namun seseorang memanggilnya  dari arah belakang.  Panggilan untuknya itu bukan namannya? Tapi sebuah panggilan sayang. Dina mendekat, gue masih tidak percaya kalau yang memanggil itu adalah teman dekat gue juga saat kuliah. “lagi apa kalian berdua disini” tanya Dina. Dina langsung menghampiri dia dan menggandeng tangannya. Sejak kapan? Mereka jadian. Suasana menjadi aneh antara gue, Dina dan dia. Untungnya ada seseorang yang memanggil kami untuk masuk kedalam karena acara akan dimulai. Gue berjalan dibelakang melihat mereka berdua bermesrahan. Sejujurnya gue tidak keberatan jika mereka berpacaran atau langsung menikah sekalipun, namun kenapa hati ini selalu berkata sebaliknhya?

Selasa, 11 Juni 2013

(C) Gossip Gebetanku


Jadi begitu ceritanya. Vina mengiyakan sesuatu yang seharusnya iya tidak suka. Iya terpaksa untuk tidak mengungkapkan di depan taman-temannya. Teman-temannya pun tidak memerhatikan terlalu jelas. Namun hanya Fani yang mengetahuinya. Fani terus memandang muka Vina seakan ada sesuatu didalam matanya. Vina pun akhirnya menatap Fani. “Kamu tidak apa-apa Vin?” tanya Fani khawatir. Sudah jelas ada yang salah dengannya. “Nggak kok, aku gpp” Vani menjawab dengan senyum yang pastinya ada sesuatu yang disembunyikan. “Udah tidak usah dipikirin, Dia gak kaya yang mereka omongin tadi kok, mungkin” jelas Fani. Vina tersentak kaget, sampai-sampai dia berhenti untuk melangkahkan kakinya. Seorang SPG hampir saja menabraknya dari belakang. “Udah aku tau kok, yuk kita ke toko sepatu itu” tambah Fani. Vina yang masih tersentak kaget langsung di geret Fani ke toko yang berada di seberang hall mall. “Gimana kamu bisa tahu fan?” tanya Vina, sambil memilih sepatu di rak paling atas. “Ketauan kok Vin dari muka kamu, kamu suka kan sama dia?” ucapan Fani langsung memukul mundur Vina. Vina hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah rak-rak sepatu itu. Tidak lama dia menurunkan kepalanya seperti ada sesuatu dibawah. “Yuk kita omongin aja di foodcourt”
                “Jadi sejak kapan?, kok bisa?” tanya Fani. “Iya, aku sendiri juga gak tau kenapa? Dia itu baik banget, perhatian sama gue..” “Gak kamu doang Vina, semua orang, kata temen-temen dijurusannya dia itu playboy terus sering nidurin cewe gitu” selak Fani. “Iya Fan, tapi kan belum ada yang pernah lihat dia kaya begitu, gosip doang” Vina membela. “Ya aku sih gak maksa, banyak cewe yang jaga jarak sama dia takut jadi korban” tambah Fani. Vina hanya diam dan tidak berkata apa-apa, sibuk melihat sekitar dan orang-orang yang berlalulalang. Kedekatannya dengan cowo itu sangat membuatnya tidak nyaman, banyak yang berperasangka buruk tentang dirinya. Cowo itu banyak teman cewe tapi dia sendiri, mungkin ini yang dirasakan Vani terhadap cowo itu. “Emang udah seberapa dekat?” tanya Fani. “Yah sudah tahap modus-modusin gitu, aku juga udah kasih sinyal lampu hijau kok ke dia” beber Vina. “Buset, sejak kapan tuh, kok gue gak tau” ”yah udah lama lah pokoknya”. Tiba-tiba, mungkin dunia ini sangat lah kecil. Mereka melihat cowo itu, cowo yang mereka omongin dari tadi. Rendi. Mereka berdua sibuk berdebat, disapa, dicuekin, pura-pura gak liat, kabur? “Aduh gimana nih?” mereka berdua bertanya bebarengan.
                “Hai” Disapalah jalan yang mereka pilih. Vina terlihat salting dan Fani justru sebaliknya takut dan males. “Gue lagi sendiri aja, nyariin kamu juga sih hehe” kata Rendy. Muka napsunya sudah terlihat jelas dimukanya, itu yang di pikirkan Fani saat itu juga. “Oh kalo gitu aku tinggal yah kalian berdua” ujar Fani, namun sebelum pergi, Fani berbisik kepada Vina. Hati-hati yah. Fani pun pergi entah kemana. “Jadi? Kok kamu tahu aku ada disini?” tanya Vina. Vina mulai terngiang dengan omongan teman-temannya tentang Rendy. “Yah tau aja, yuk duduk dulu” ajak Rendy. Rendy jalan terlebih dahulu, lalu Vina berjalan dibelakang. Bisa ditebak perasaan Vina sangatlah campur aduk, antara salting dan takut. Mereka duduk tidak jauh dari tempat Vina dan Fani duduk. “Kamu bingung yah?”  Vina kaget, Rendy seakan bisa membaca pikirannya. “Iya gue tahu kok, semua yang mereka omongin itu bener” ujar Rendy. “Maksudnya apa Ren?” Vina pura-pura tidak tahu. “Gue sering mainin hati cewe dan lain sebagainya, kamu pasti tau kan?” Vina terdiam, dia heran dengan Rendy, Mengapa cowo bisa mengungkapkan kelemahannya di depan cewe yang dia  suka dan baru sekedar gebeta.  “Lalu?” Wajah Rendy memerah, terlihat sedih, dia menyesali semua perbuatannya. Vina yang merasa kasihan, memegang tangan Rendy. Dia tahu, Rendy butuh seseorang untuk mengubah hidupnya. Rendy tersentak kaget. “aku kesini untuk nembak kamu, aku sayang banget sama kamu Vin, tapi seperti ini, aku janji kalau kamu nerima aku. Aku akan berubah. Semuanya.  Jadi apa jawaban kamu?”  Dunia hening seketika. Lalu... “Iya Ren aku mau” 

Senin, 27 Mei 2013

(C) Tepi Sungai


Aku tidak akan pulang sampai kamu kembali kepada ku , aku yang salah. Baru pertama kalinya aku meelakukan kesalahan terbesar dalam hidup ku. Hanya dia satu-satunya dalam hidup ku. “Sarah...” suaraku lantang menjerit ke berbagai arah, tak henti-hentinya aku memusatkan perhatian ke arah sungai dan sekitarnya. Aku berjalan dibebatuan yang amat licin. Ini adalah tanggung jawabku. “Sarah....” sekali lagi aku menjerit, mungkin sudah ratusan kali aku memanggilnya. Aku mencoba terus berjalan melawan aliran sungai ini. Pikiranku kacau balau, tidak mengerti apa yang terjadi. Aku mengingat pesan sarah saat pertama kali datang kesini. Maukah kau menemani aku. Sebuah kalimat yang baru pertama kali diucapkannya. Aku tidak menjawab, hanya sebuah senyuman yang gue lontarkan. Dia pun membalasnya dengan senyuman, lalu dia masuk kedalam tenda. Selama berkemah, Sarah jarang untuk bergabung dengan pekemah lainnya. Dia menghabiskan waktu didalam tenda dan melihat sebuah foto, foto kenangan saat bulan madu kita di pulau Jeju, Korea. “Kamu kenapa?” aku sengaja mengagetkannya. “Nggak kok gpp” lalu dia merubah aplikasi di tabnya. “Kok kamu aneh yah, sekarang-sekarang ini” tanya ku memberanikan diri. Dia terlihat kaget dan melemparkan guling ke mukaku. “Dasar.... ngawur kamu” wajahnya mengejek. Lalu mendorong ku ke matras. “Kira-kira kedengeran gak yah?” dia menggodaku. Aku hanya tersenyum, posisinya sekarang diatas aku. “Ya tergantung, lagi pengen banget apa tidak” jawab ku, untung aku mendirikan tenda ini di paling pinggir jadi tidak banyak orang yang mondar mandir. Yah aku tidak perlu menceritakan Hal selanjutnya pada kalian.
“Sarah.... Sarah....Sarah....” hari sudah menjelang malam aku tidak bisa menemukannya. Kakiku sudah pegal, sudah berkilo-kilo aku di tepi sungai ini. Matahari sudah tidak terlihat hanya cahayanya yang kini kian meredup. Aku berusaha mendirikan sebuah tenda dari keletihanku. Tidak berhenti-berhentinya aku menangis dan menyesali keputusan aku tadi siang. Tapi keletihan aku ini melebihi semua penyesalan ku. Aku pun tertidur. Pagi-pagi sekali aku dan sarah mengikuti Rafting, namun karena kami sudah terbiasa kami berdua berjalan sendiri tanpa ditemani oleh seorang pemandu. Selain itu kami juga menyukai tantangan. Jadi pilihan inilah yang kami ambil. Pilihan yang sangat salah. Ternyata arus di sungai sangat deras, perahu kami terbalik dan kami berdua terpisah entah kemana. Aku pingsan terbawa arus. Saat aku tersadarkan diri, aku tersangkut di sebuah bebatuan. Sarah tidak ada disampingku. Matahari terbit, cahayanya membuatku terbangun. Aku harus mencarinya hingga ketemu. Aku melipat tenda ku dan pergi mencarinya. Jalan mulai tidak semulus kemarin. Aku harus berjalan menjauhi sungai karena tidak ada jalan di tepi sungai. Jalan didominasi menanjak, memasuki hutan lalu keluar lagi kearah sungai. Aku menyiapkan sebuah teropong untuk bisa melihat sungai lebiih jelas. Tebing-tebinbg di sebelah kiriku semakin tinggi, begitu juga di sebelah kananku sungainya semakin jauh kebawah. “Mengapa aku bisa selamat dari arus sungai sekencang ini?” pikirku dalam hati.  “Sarah.....” aku menerikan namanya sekali lagi. Tak jarang gema membantuku untuk memantulkan suara itu.
Aku terdiam. Aku memastikan dengan teropong ini. Ternyata tidak salah lagi. Aku berlutut. Aku lemas. Aku tahu itu Sarah, aku tidak perlu memanggilnya lagi. Dia sama sepertiku tersangkut dibebatuan tapi posisinya berbeda denganku. Posisinya terlungkup. Dengan muka berada didalam air. Kenapa? Kenapa berakhir seperti ini Air mata aku menetes hidupku seakan hancur seketika. Tapi aku sudah memutuskan aku sudah berjanji akan menemaninya. Aku pun menghampiri Sarah, sangat cepat aku menghampirinya. Tidak ada jalan menuju kebawah. Tapi toh aku masih bisa menghampirinya. Bisa menjemputnya. Atau kata yang lebih tepat dijemput oleh Sarah untuk bersamanya. Aku melompat dari tebing. 

Selasa, 21 Mei 2013

(C) Kesetiaan


Angin kencang menerpa kaca di kamar itu, suara gebrakan kencang dari samping kanannya membuatnya terbangun. Dia terjaga disetiap malam, tidak tahu apa yang harus dikhawatirkan dan apa yang harus dia lakukan. Dia kembali terlelap, mungkin terlelap dalam mimpi yang membuatnya akan terbangun semalaman ini. Malam dengan bulan pucat seperti wajah seorang wanita sesudah bersenggama. Lagi-lagi dia mulai terbangun melihat kearah yang sama didepannya. Dia tersenyum, senyumannya seperti tiga tahun lalu, dimana suasana disana seperti bunga mawar yang bermekaran di musim semi. Ketika cinta mereka bersemi. Mungkin aku tidak bisa menceritakan cinta mereka lebih lanjut, yang pasti cinta itu sangatlah setia dan sejati. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka, tapi mugkin saja bisa. Dunia tidaklah semudah yang kita kira. Hari ini matahari terbit, dia tertidur pulas, semalam dia seperti orang aneh. Merem, melek, merem, melek... selama berjam-jam. Kasihan sekali rasanya. Sinar matahari mulai menyinari ruang kamar. Hangat dari dingin malam ditambah dengan AC berunjuk pada suhu 22 derajat. Dia terbangun, rambut panjangnya lecek di gesek oleh kursi tidurnya, mukanya pun tidak kalah lesu di makan oleh keletihan semalaman. Dia memerhatikan ranjangnya lagi, seakan harus ada yang diperbaikinya. Dia mendekati, badanya letih tak bertenaga, matanya masih setengah terbukan, kalo disamakan dengan lampu, mungkin sebesar 5 watt.
Diatas aku melihat ada sebuah penampakan. Penampakan malaikat, cantik, indah, menemani indah mimpiku. Aku pun bersyukur. Itu bukan hanya sekedar mimpi namun sebuah kenyataan. Dia tersenyum seakan menunggu sesuatu , tapi toh aku hanya membuka mata saja, seperti orang normal ketika bangun dari tidurnya. Tangannya mulai membelai rambut ku serta pipi ku. Lebut sekali tangannya, aku terbangun seluruhnya. Kami berdua bertatapan, dia selalu terseyum untuk ku. Aku melihatnya pergi, aku sedih, tapi aku sadar dia tidak mungkin berada di sampingku terus. Lebih tepatnya berada dihadapan ku. Diam. Suasana hening. Aku berharap dia hanya meninggalkan ku sementara, mungkin ke toilet atau mandi, karena ini kan masih pagi. Aku teringat ketika aku memberitahukan dia tentang siapa aku ini sebenarnya. Aku melihatnya sedih, kecewa, agak lama untuk menunjukannya senyuman kearah ku. Dia hanya berkata “Tidak apa-apa yang penting kamu berusaha dulu, jangan menyerah” kata-kata itulah yang membuat aku kuat seperti ini. Melawan diri sendiri. Sesuatu yang sangat susah untuk dilakukan. Lukanya tidak terlihat namun sangat parah dan sakit, lebih sakit dari pada terlindas oleh truk. Aku kembali ke kata-katanya tadi, aku tidak tahu apakah dia berbohong atau tidak. Tapi setelah hari demi hari berlalu di ruangan ini aku yakin tidak. Dia pasti akan menunggu ku .Menunggu untuk selamanya.
Aku sudah tidak tahan 2 minggu lamanya sudah aku dikamar ini. Menunggunya. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, kenapa aku menghadapi cobaan ini, apakah aku harus melanjutkannya atau memilih yang lain. Memilih orang lain yang dapat menuntun ku ke masa depan yang lebih baik. Tapi, aku mencintainya, aku sudah mengorbankan seluruh cintaku padanya. Dan harus berakhir seperti ini. Kenapa? Kenapa Tuhan memilih dia untuk penyakit ini. Dia sudah tidak lagi bisa disembuhkan. Hanya tinggal menunggu waktu. Aku sudah berjanji padanya untuk tidak meninggalkannya ketika Ia menjemput ajalnya. Tapi..... aku menghianatinya. Kemarin aku meninggalkannya di rumah sakit. Pagi hari aku tersenyum padanya, untuk memberitahukan sesuatu. Dia hanya melihatku dengan tabung oksigen di mulutnya, badannya sudah tidak bisa bergerak hanya bola matanya saja yang dengan lekatnya melihat mataku. Kini aku tidak dapat melihat matanya lagi. Tinggal lah sebuah gundukan tanah yang menguburnya dengan batu nisan yang bertuliskan namanya. Aku berdiri disampingnya bersama suami ku yang kunikahi kemarin.