Senin, 27 Mei 2013

(C) Tepi Sungai


Aku tidak akan pulang sampai kamu kembali kepada ku , aku yang salah. Baru pertama kalinya aku meelakukan kesalahan terbesar dalam hidup ku. Hanya dia satu-satunya dalam hidup ku. “Sarah...” suaraku lantang menjerit ke berbagai arah, tak henti-hentinya aku memusatkan perhatian ke arah sungai dan sekitarnya. Aku berjalan dibebatuan yang amat licin. Ini adalah tanggung jawabku. “Sarah....” sekali lagi aku menjerit, mungkin sudah ratusan kali aku memanggilnya. Aku mencoba terus berjalan melawan aliran sungai ini. Pikiranku kacau balau, tidak mengerti apa yang terjadi. Aku mengingat pesan sarah saat pertama kali datang kesini. Maukah kau menemani aku. Sebuah kalimat yang baru pertama kali diucapkannya. Aku tidak menjawab, hanya sebuah senyuman yang gue lontarkan. Dia pun membalasnya dengan senyuman, lalu dia masuk kedalam tenda. Selama berkemah, Sarah jarang untuk bergabung dengan pekemah lainnya. Dia menghabiskan waktu didalam tenda dan melihat sebuah foto, foto kenangan saat bulan madu kita di pulau Jeju, Korea. “Kamu kenapa?” aku sengaja mengagetkannya. “Nggak kok gpp” lalu dia merubah aplikasi di tabnya. “Kok kamu aneh yah, sekarang-sekarang ini” tanya ku memberanikan diri. Dia terlihat kaget dan melemparkan guling ke mukaku. “Dasar.... ngawur kamu” wajahnya mengejek. Lalu mendorong ku ke matras. “Kira-kira kedengeran gak yah?” dia menggodaku. Aku hanya tersenyum, posisinya sekarang diatas aku. “Ya tergantung, lagi pengen banget apa tidak” jawab ku, untung aku mendirikan tenda ini di paling pinggir jadi tidak banyak orang yang mondar mandir. Yah aku tidak perlu menceritakan Hal selanjutnya pada kalian.
“Sarah.... Sarah....Sarah....” hari sudah menjelang malam aku tidak bisa menemukannya. Kakiku sudah pegal, sudah berkilo-kilo aku di tepi sungai ini. Matahari sudah tidak terlihat hanya cahayanya yang kini kian meredup. Aku berusaha mendirikan sebuah tenda dari keletihanku. Tidak berhenti-berhentinya aku menangis dan menyesali keputusan aku tadi siang. Tapi keletihan aku ini melebihi semua penyesalan ku. Aku pun tertidur. Pagi-pagi sekali aku dan sarah mengikuti Rafting, namun karena kami sudah terbiasa kami berdua berjalan sendiri tanpa ditemani oleh seorang pemandu. Selain itu kami juga menyukai tantangan. Jadi pilihan inilah yang kami ambil. Pilihan yang sangat salah. Ternyata arus di sungai sangat deras, perahu kami terbalik dan kami berdua terpisah entah kemana. Aku pingsan terbawa arus. Saat aku tersadarkan diri, aku tersangkut di sebuah bebatuan. Sarah tidak ada disampingku. Matahari terbit, cahayanya membuatku terbangun. Aku harus mencarinya hingga ketemu. Aku melipat tenda ku dan pergi mencarinya. Jalan mulai tidak semulus kemarin. Aku harus berjalan menjauhi sungai karena tidak ada jalan di tepi sungai. Jalan didominasi menanjak, memasuki hutan lalu keluar lagi kearah sungai. Aku menyiapkan sebuah teropong untuk bisa melihat sungai lebiih jelas. Tebing-tebinbg di sebelah kiriku semakin tinggi, begitu juga di sebelah kananku sungainya semakin jauh kebawah. “Mengapa aku bisa selamat dari arus sungai sekencang ini?” pikirku dalam hati.  “Sarah.....” aku menerikan namanya sekali lagi. Tak jarang gema membantuku untuk memantulkan suara itu.
Aku terdiam. Aku memastikan dengan teropong ini. Ternyata tidak salah lagi. Aku berlutut. Aku lemas. Aku tahu itu Sarah, aku tidak perlu memanggilnya lagi. Dia sama sepertiku tersangkut dibebatuan tapi posisinya berbeda denganku. Posisinya terlungkup. Dengan muka berada didalam air. Kenapa? Kenapa berakhir seperti ini Air mata aku menetes hidupku seakan hancur seketika. Tapi aku sudah memutuskan aku sudah berjanji akan menemaninya. Aku pun menghampiri Sarah, sangat cepat aku menghampirinya. Tidak ada jalan menuju kebawah. Tapi toh aku masih bisa menghampirinya. Bisa menjemputnya. Atau kata yang lebih tepat dijemput oleh Sarah untuk bersamanya. Aku melompat dari tebing. 

Selasa, 21 Mei 2013

(C) Kesetiaan


Angin kencang menerpa kaca di kamar itu, suara gebrakan kencang dari samping kanannya membuatnya terbangun. Dia terjaga disetiap malam, tidak tahu apa yang harus dikhawatirkan dan apa yang harus dia lakukan. Dia kembali terlelap, mungkin terlelap dalam mimpi yang membuatnya akan terbangun semalaman ini. Malam dengan bulan pucat seperti wajah seorang wanita sesudah bersenggama. Lagi-lagi dia mulai terbangun melihat kearah yang sama didepannya. Dia tersenyum, senyumannya seperti tiga tahun lalu, dimana suasana disana seperti bunga mawar yang bermekaran di musim semi. Ketika cinta mereka bersemi. Mungkin aku tidak bisa menceritakan cinta mereka lebih lanjut, yang pasti cinta itu sangatlah setia dan sejati. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka, tapi mugkin saja bisa. Dunia tidaklah semudah yang kita kira. Hari ini matahari terbit, dia tertidur pulas, semalam dia seperti orang aneh. Merem, melek, merem, melek... selama berjam-jam. Kasihan sekali rasanya. Sinar matahari mulai menyinari ruang kamar. Hangat dari dingin malam ditambah dengan AC berunjuk pada suhu 22 derajat. Dia terbangun, rambut panjangnya lecek di gesek oleh kursi tidurnya, mukanya pun tidak kalah lesu di makan oleh keletihan semalaman. Dia memerhatikan ranjangnya lagi, seakan harus ada yang diperbaikinya. Dia mendekati, badanya letih tak bertenaga, matanya masih setengah terbukan, kalo disamakan dengan lampu, mungkin sebesar 5 watt.
Diatas aku melihat ada sebuah penampakan. Penampakan malaikat, cantik, indah, menemani indah mimpiku. Aku pun bersyukur. Itu bukan hanya sekedar mimpi namun sebuah kenyataan. Dia tersenyum seakan menunggu sesuatu , tapi toh aku hanya membuka mata saja, seperti orang normal ketika bangun dari tidurnya. Tangannya mulai membelai rambut ku serta pipi ku. Lebut sekali tangannya, aku terbangun seluruhnya. Kami berdua bertatapan, dia selalu terseyum untuk ku. Aku melihatnya pergi, aku sedih, tapi aku sadar dia tidak mungkin berada di sampingku terus. Lebih tepatnya berada dihadapan ku. Diam. Suasana hening. Aku berharap dia hanya meninggalkan ku sementara, mungkin ke toilet atau mandi, karena ini kan masih pagi. Aku teringat ketika aku memberitahukan dia tentang siapa aku ini sebenarnya. Aku melihatnya sedih, kecewa, agak lama untuk menunjukannya senyuman kearah ku. Dia hanya berkata “Tidak apa-apa yang penting kamu berusaha dulu, jangan menyerah” kata-kata itulah yang membuat aku kuat seperti ini. Melawan diri sendiri. Sesuatu yang sangat susah untuk dilakukan. Lukanya tidak terlihat namun sangat parah dan sakit, lebih sakit dari pada terlindas oleh truk. Aku kembali ke kata-katanya tadi, aku tidak tahu apakah dia berbohong atau tidak. Tapi setelah hari demi hari berlalu di ruangan ini aku yakin tidak. Dia pasti akan menunggu ku .Menunggu untuk selamanya.
Aku sudah tidak tahan 2 minggu lamanya sudah aku dikamar ini. Menunggunya. Aku selalu berdoa kepada Tuhan, kenapa aku menghadapi cobaan ini, apakah aku harus melanjutkannya atau memilih yang lain. Memilih orang lain yang dapat menuntun ku ke masa depan yang lebih baik. Tapi, aku mencintainya, aku sudah mengorbankan seluruh cintaku padanya. Dan harus berakhir seperti ini. Kenapa? Kenapa Tuhan memilih dia untuk penyakit ini. Dia sudah tidak lagi bisa disembuhkan. Hanya tinggal menunggu waktu. Aku sudah berjanji padanya untuk tidak meninggalkannya ketika Ia menjemput ajalnya. Tapi..... aku menghianatinya. Kemarin aku meninggalkannya di rumah sakit. Pagi hari aku tersenyum padanya, untuk memberitahukan sesuatu. Dia hanya melihatku dengan tabung oksigen di mulutnya, badannya sudah tidak bisa bergerak hanya bola matanya saja yang dengan lekatnya melihat mataku. Kini aku tidak dapat melihat matanya lagi. Tinggal lah sebuah gundukan tanah yang menguburnya dengan batu nisan yang bertuliskan namanya. Aku berdiri disampingnya bersama suami ku yang kunikahi kemarin.  

Rabu, 15 Mei 2013

(C) Restoran Puncak


Aku dengannya disini, tapi itu seakan tidak membuatku merasakan sesuatu disini. Dia diam saja dan tidak berkata apa-apa. Jiwanya seakan melayang kemana-mana dan hanya badannya yang berada didepan ku ini. Dia menyeruput segelas es jeruknya, lalu kembali memandang ke arah kiri. Kearah hamparan luas sawah dan pengunungan. Seharusnya aku juga menikmatinya di restoran yang berada di daerah puncak ini. Tapi aku hanya terpaku padanya, aku menginginkan dia berkata sesuatu, sesuatu, apapun itu. Aku menunggunya. Semenjak dia sampai di tempat ini, ia seperti patung bisu. Sekali lagi aku menunggu.
Hingga dia pun akhirnya berdiri. Tidak ada sebab ataupun akibat yang membuatnya berdiri. Aku yang sedang memerhatikannya pun ikut terkejut. “Ada apa?” tanya ku. Aku memandangnya dengan lekat, tanpa berkedip sedikitpun. “Ikut aku” katanya . Dia menuju ke sebuah pojok restoran yang berujiung pada sebuah dermaga yang menjorok ke tebing. Aku mengingatnya, 3 tahun yang lalu dia membawa ku ketempat ini. Dia menyatakan sebuah kata-kata yang amat indah di hatiku. Kata-kata yang tidak akah hilang dalam hidupku, sebuah kata cinta yang meluluhkan hati. Tapi itu sudah lama, sebelum aku mengambil S2 di luar negeri. Mungkin hatinya seperti tertimpa beribu-ribu ton beras ketika mendengar hal itu, saat itu dia belum menyelesaikan S1nya.
Ketika dia menyelesaikan S1nya, aku juga selesai S2 aku di tahun yang sama. Aku pun pulang membawa gelar S2 untuk bekerja di Jakarta. Dia menjemputku dibandara dan membawanya ke tempat ini. Dan sekali lagi aku katakan, aku menunggu kata-katanya, sudah lama kami tidak bertemu dan mengobrol 2 tahun lamanya. “Jadi...” dia mulai mengeluarkan suaranya. “Iya?” aku berusaha memancingnya untuk mengatakan sesuatu. “Apakah sebaiknya hubungan kita di sudahi saja?” deg.... tubuhku mematung, apa aku tidak salah dengar? Dia menginginkan putus? “Hah?maksud kamu beb? Kenapa harus putus? Kita udah pacaran lama, aku pun ingin kamu melamarku, aku ingin sekali mendampingi mu dan hidup bersama kamu” kataku panjang.
Dia lunglai diatas bambu pembatas. Aku berada tepat dibelakangnya. Aku tidak bisa memahami maksudnya. “Aku baru saja lulus S1 dan belum mendapat pekerjaan, sedangkan kamu sudah punya S2 kerjaan pun mengantri didepan kamu, bagaimana aku dianggap orang nantinya. Aku yang menjadi suami nanti bukan kamu? Aku yang harus menafkai keluarga “ kata-katanya membuat aku shok setengah mati. Ini kah maksudnya? Jadi ini yang menyebabkan dia ingin putus dengan ku. Aku tidak mengerti harus berkata apa. Semua yang dikatakannya benar. Kita memang di angkatan yang sama saat kuliah. Nilai aku saat kuliah bagus-bagus dengan 24 sks setiap semesternya. Lain dengannya, banyak mata kuliah yang mengulang, mendapatkan nilai C pun sudah Alhamdulialah.
Aku mendekatinya, matanya masih menatap kearah matahari yang sudah berada diufuk siap tenggelam bersama cinta kami. Aku memeluknya dari belakang, kepala aku senderkan dipunggungnya. Aku memeluknya dengan erat tidak menginginkan dia pergi meninggalkan ku. Sudah banyak kenagan yang sudah kami lewati berdua . Aku tahu dia pasti masih mencintaiku, dia masih sayang pada ku, hanya sebuah jenjang yang membedakan kami sekarang. “Beb” dia memanggil. “Iya apa?” aku berusaha positive thinking apa yang akan dikatakannya. “Maaf beb, aku tidak bisa, sekarang perbedaan kita sudah jauh, kita sudah tidak sama seperti dulu, mahasiswa baru yang kere, mau makan harus ngutang dulu” bebernya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Aku eratkan pelukanku. Tidak, aku tidak akan melepaskannya apapun yang terjadi.  

Rabu, 01 Mei 2013

(C) Telepon Rumah


Kring....  Kring....
“Halo”
“Halo Beb” Pacar ku menelepon, waw senang sekali rasanya.
“Ada apa beb? Tumben nih nelpon biasanya aku duluan” jawab ku senang.
“Lagi kangen aja, kamu lagi ngapain?”
“Biasa ini lagi belajar” aku mulai senyum-senyum sendiri.
“Oh... yaudah kalau begitu met malam beb”
“iya, met malam juga” akhirnya aku tidak harus buang-bunga pulsa untuk menelponnya.
Jleb........

Kring.... Kring....
“Halo, tadi gimana ulangan Kimianya Sukses?”  tanyaku
“Sukses dong sayang, kan kamu yang ngajarin”
“Bisa aja kamu, terus ini sekarang lagi apa?” tanya ku lagi.
“Dari kemaren nanyanya lagi apa melulu?”
Gue mulai kehabisan kata-kata, maklum udah lama banget nih pacaran. Semua  gombalan untuknya dah habis.
“Aku tadi abis ulangan matematika loh susah banget” aku mencoba mencari obrolan yang lain.
“ooo haha, yaudah yang pentingkan udah belajar, dah ... aku mau tidur dulu”
Jleb...........
Sepertinya dia bete

Kring....Kring.....
“Halo” aku mengangkat telpon
“Dek kalo nelpon jangan lama-lama dong tagihannya besar nih”
Waduh!!! Nyokap gue....
“Iya mah, lain kali gak telpon lama-lama”
“Kamu nelpon siapa sih? Pacar yak? Jangan Pacaran melulu Belajar makanya”
Gong-gongan  Nyokap pun meraung-raung di telinga ku, seperti rentetan peluru senapan mesin di perang dunia kedua.
“Nggak ah, perasaan mama aja kali”
Aku berusaha mengelak, yah walaupun nanti ada bukti yang akan di tunjukan
“Enak aja, ini mama bawa buktinya”
Tuhkan baru di bilang
Jleb..........
Aku menutup telponnya secara paksa.

Aku berfikir keras, bagaimana jika mama tahu aku selalu pacaran di telpon, aku kan cowo yang udah dewasa. Yang bisa ngatur kapan belajar kapan pacaran. Begitu saja marah-marah. Nyebelin banget. Gue gak suka sama nyokap gue.

Malam itu mama membuka selembaran tagihan telpon, yang detailnya tertulis juga disitu. Ada satu nomor yang selalu muncul. Yaitu 021-2456098. Yah benar itu nomor telpon pacar ku. Habislah aku kena omel mamah.

Catatan tagihan telpon rumah:
08765213444: Nyokap
08174647839: Santi
0937323234: Ike
021-34444888: rumah Dede
08123456709: Joko
021-2456098: Rumah Joko