Minggu, 20 Januari 2013

(C) The Chronicles of My Destination



Part 1


“Buruan, buruan” kata kakak BEM dengan muka masam, gue sudah melihatnya seperti itu dua hari ini. Gue tidak tahu apakah iya benar-benar seperti itu atau hanya akting untuk hari-hari yang menyebalkan ini. Namun, memang itu yang dialami oleh semua mahasiswa tingkat satu. Walaupun sebal, melihat kakak-kakak itu namun gue menghadapinya hanya dengan senyum saja. Ya, habis mau gimana lagi. Empat hari lamanya ospek di fakultas gue ini. Ospek pun berlalu dengan kenangan-kenangan yang cukup tak terlupakan, karena banyak yang terlupakan bagi gue. Setelah ospek berlalu seperti badai, gue mulai merasakan dunia perkuliahan yang sangat berbeda di masa-masa waktu SMA. Kuliah paling pagi dimulai jam 8, jadi gue bisa tidur malam dengan nyenyak, apalagi kosan gue sangat dekat dengan kampus.
                Selain itu, gue tidak lagi harus memakai seragam, hanya kaos saja paling. Namun, buku-buku kuliah sangatlah berat, siap-siap osteoporosis dini. Cara pengajarannya pun berbeda, sulit untuk saya jelaskan. Seminggu berlalu dibangku perkuliahan, pelajaran yang diberikan oleh dosen dapat saya ikuti dengan baik dan banyaknya waktu kosong untuk nongkrong. Waktu itu saya sedang makan di kantin suatu fakultas bersama dengan teman-teman SMA, gue bertemu dengan teman lama bernama Juan. Ia berbeda fakultas dengan gue. Juan teman gue dari SD namun berpisah saat SMP. “Halo bro, apa kabar?” tanyanya dengan gaya sok keren. “Baik kok” jawab gue. Kami pun bercerita tentang masa lalu kita, namun gue kaget ketika dia tidak mengerti tentang ospek. “Lah masa lu gak tau, waktu kita di ospek di gedung besar?” gue bertanya keheranan.
                Juan menggeleng, lalu dia berkata “Orang, gue gak ikut ospek heheeh”. Gue hanya tersenyum lebar, ketawa kecil dan mengeleng minta ampun. Dia masih sama seperti dulu, sewaktu SD dia juga tidak pernah mengerjakan pr ataupun memerhatikan guru mengajar. Kami pun berbincang hal-hal lain seperti masa SMP dan SMA. “Jadi abis ini elu ada kelas?” tanya gue. “Ya ada sih... tapi males banget masuk” jawabnya datar. Yah yasudahlah kata batin gue pasrah. Gue pun meninggalkannya karena sore gue ada kelas. Kegiatan belajar-mengajarnya ini akhirnya gue tempuh satu bulan. Dan gue mulai menyadari gue tidak bisa mengikuti pelajaran ini karena gue harus membagi belajar gue dengan cita-cita gue satu lagi dan sangat bertentangan dengan mata kuliah gue sekarang ini.  Selama beberapa hari gue bingung tidak karuan, gue tidak tahu, harus berbuat apa.
                Suatu saat gue bertemu dengan Juan lagi dikanti yang sama. Juan pun melihat muka gue yang penuh dengan teka-teki. “Kenapa elo bro?” tanyanya aneh. Gue pun duduk didepannya dan tetap diam, sampai akhirnya gue mengeluarkan sebuah kalimat “Pusing bro gila, gue bingung sama masalah yang gue ceritain ke elo itu”. “Yah lagian pake salah segala, begini deh jadinya, pasti elu dah gak ngerti palajaran sama sekali?” jawab Juan sekaligus bertanya. Gue mengangguk dengan penuh arti. Mulai hari itu gue akrab lagi dengan Juan. Tetapi keakraban itu bukan membawa gue pada penyelesaian namun mulainya kenyamanan-kenyamanan dari sebuah masalah.

Part 2



Apa yang membuat gue menjadi seperti ini? Gue berjalan lurus tanpa berbelok sedikit pun di trotoar ini. Kadang-kadang gue melompat, melangkah lebar ataupun berjalan minggir untuk menghindari lobang di trotoar, untungnya kesadaran gue untuk melakukan itu masih aktif jadi tidak kecebur ke dalam got. Mungkin sudah setengah jam gue berjalan dan sudah kembali ke tempat semula. Yah, kampus ini hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mengelilingnya. Setelah itu, gue memutuskan untuk mencari tempat istirahat. Gue duduk di kantin disuatu fakultas. “halo bro?” seseorang memanggil gue dari belakang.
Tidak perlu kaget ataupun heran, itu pasti Juan. Dan tebakan gue benar. “Gak masuk kuliah bro?” tanyanya sambil duduk di depan gue. “Males hehe” jawab gue sambil ketawa kecil. Juan adalah teman gue saat sedang cabut dari kelas. Hanya dia yang bernasip sama dengan gue. Jika masuk kelas, gue tidak bakalan mengerti apa yang dijelasin dosen. Jadi gue hanya diam menunggu bel kelas selesai. Mungkin hal tersebut juga dirasakan oleh Juan. Kami memesan makan bersama. Seperti biasa kami berbincang-bincang tentang film, game, dan dewa-dewi Yunani, atau masalah-masalah kuliah kami.
Banyak masalah yang dibahas. Kami berdua berbeda fakultas namun ketika kita sedang menceritakan masalah masing-masing pasti ada saja yang lucu dan unik. Apalagi masalah cewek, tidak ada habisnya kami membicarakan itu. Dosa-dosa bolos kelas dan titip absen kepada teman terlupakan sementara. Dan mungkin akan timbul lebih dalam lagi setelahnya. Kami di kantin itu hingga sore hari. Kami pun melanjutkan cabut kami menuju ke perpustakaan. Ini tempat paling nyaman untuk bersantai. Walaupun gue tidak menyukai pelajaran kelas, gue menyukai hal-hal lain. Seperti membaca majalah, komik, membuat cerpen, mengedit-edit sesuatu atau hal-hal lainnya. Sebaliknya Juan hanya tidur dimeja baca ini.
Dua jam di perpustakaan, banyak hal-hal yang gue selesaikan. Seperti, membaca lima bab komik, sepuluh halaman majalah, satu buah foto horror yang sudah diedit dan terakhir nge-galau dengan Ipod. Menjelang malam barulah gue dan Juan berpisah untuk pulang ke kosan masing-masing. Karena ingin membunuh waktu jadi gue putuskan untuk berjalan kaki. Gue berjalan di tempat-tempat yang gelap untuk kembali nge-galau. Gue memikirkan apa yang akan terjadi jika gue melakukan hal-hal semacam ini terus menerus. Apa yang akan terjadi di akhir semester nanti, selain libur dua bulan yang menyenangkan. Apa image gue didepan teman-teman yang telah bersusah hati sekelas dengan gue.
Pikiran-pikiran itu terus mengiang-ngiang di kepala gue hingga gue tidak sadar sudah berada didepan kosan gue. Membuka pintu dengan menggunakan kunci, menaruh tas lalu menutup pintu kembali. Semuanya seakan dilakukan diluar kesadaran gue. Rasa lapar yang mengrogoti perut gue seakan tidak terasa sama sekali, padahal gue hanya sarapan pagi dan minum susu saja. Gue pun merebahkan diri di kasur lalu terlelap hingga pagi. Keesokan paginya, gue berangkat ke kampus dengan membawa buku asal-asalan, namun sepertinya ada sedikit semangat kali ini untuk masuk kelas.
Di kampus, sebelum masuk kedalam kelas, gue menerima sebuah sms dari dia. Bukan Juan, tapi dia. Kalimat sms itu Halo, abis selesai kuliah, gue tidak ada acara bagaimana kalo kita belajar bareng buat UAS. Gue kaget melihatnya, ada yang aneh dengan dia. Tapi, gue tidak sempat memikirkannya karena kelas sudah mulai. Di dalam kelas gue memikirkan apa yang dia pikirkan hingga mengajak gue untuk belajar bareng. Padahal gue sendiri tidak bisa apa-apa.
Kelas pun selesai, saat keluar, gue sudah di sambut dengan senyuman manis dia sambil berkata “Hai”. “Jadi, mau belajar bareng gak? Kok sms gue tidak dibales?” tanyanya. Gue pun bingung menjawabnya karena hari ini gue ingin keliling kampus lagi tanpa tujuan. Namun, gue merasakan ada sesuatu yang mendorong gue untuk berubah dari dalam hati ini. “Yasudah ayo” jawab gue pasrah. Di perpustakaan kami belajar bareng, dia mengajari gue dengan sempurna, apapun yang gue tidak mengerti diajarkan olehnya.  “Udah yuk pulang, dah sore nih, besok mau belajar lagi gak?” tanyanya setelah kami lelah belajar selama satu jam.
“Ayo dah, tapi masih banyak yang belum gue mengerti” jawab gue. “Ya udah gpp nanti gue ajarin lagi” lagi-lagi wajahnya yang lucu dan cantik membuat gue mati rasa. Kami pun berpisah di luar perpustakaan. Sepertinya ini adalah saat dimana gue bisa mendekatinya dan beruaha untuk mengambil hatinya dan merubah semua sikap gue selama ini. Namun, bukan itu yang terpenting, gue pun membuka HP dan mengetik sebuah sms kepada Juan, Juan sepertinya kegalauan dan masalah gue sudah ada obatnya, maaf gue tidak bisa lagi menemani elo cabut dari kelas lagi.

Part 3




“Juan, ngumpul lagi yuks besok siang” tanya gue ditelpon, ada jeda panjang oleh Juan setelah gue berbicara seperti itu, “Eee... bukannya elo ada kuliah ya besok?” jawab Juan ragu-ragu. “Nanti gue ceritain, besok ketemu di tempat biasa” balas gue buru-buru. “Oke sipp”. Gue menutup telpon tidak seperti biasanya, seperti kembali ke sebuah jurang yang amat dalam. Gue tidak mengerti, gue bingung. Apa yang harus gue lakukan?. Gue berjalan dari kampus dengan sangat lemas, tidak bertenaga, bahkan walaupun ada senior jurusan gue didepan gue. Menyeberangi jembatan ,melewati sungai, berjalan ditrotoar. Tidak terasa sudah dua kali ini gue mengelilingi kampus. Sudah lama tidak melakukan hal ini.
                Karena sudah capek, gue putuskan untuk menuju kembali ke kosan dan terlelap dikasur seadanya. Keesokan harinya gue ke kantin suatu fakultas dimana disitulah gue dan Juan janjian. Juan terlihat duduk sendiri di meja kantin paling pojok, seperti biasa dia sudang bermain Nintendo Ds-nya dengan amat khusuk. “Halo bro” sapa gue disampingnya.” Weits, sini duduk, capek banget lu, keliling kampus lagi emang?” gue hanya mengangguk pelan menandakan iya. Gue duduk dan langsung delesot di meja. “Napa elu?” tanyanya bingung. Gue pun menceritakan kejadian-kejadian selama gue tidak bertemu dengannya dan sesaat kembali ke jalan yang benar.
                Gue menceritakan semua kejadian itu, mulai dari gue gila dikelas hingga keluar kelas secara paksa hingga dengan dia. Gue melakukan pendekatan yang lumayan ekstrem dengan dia, sampai-sampai dia tidak  ingin bertemu dengan gue. “Emang lu ngapain dia? Trus lu tau dari mana dia ngajauhin elo?” tanya Juan ditengah-tengah cerita. Gue pun menceritakan kalo gue lumayan kasar sama dia pas ngajakin nonton dan perbuatan lain yang tidak senonoh, “Yah... elunya juga sih” tanggap Juan. Kami pun diam sejenak. Dan gue mulai kembali berfikir, kenapa gue menjadi seperti ini? Gue sudah tidak ingin mengulai keberengsekan-keberengsekan gue dengan makhluk yang bernama perempuan, tapi kenapa gue masih seperti ini?
                “Oi, bengong aja elo, kesamber geledek nanti” Juan mengagetkan gue. “Iya-iya, gue mau mesen makanan dulu”. Sejam berselang ketika kita semua sudah selesai makan, tiba-tiba Juan membuat gue kaget dengan kata-katanya, “Gini bro, gua udah berubah gue abis ini mau masuk kelas, maaf gue gak bisa nemenin lu lagi cabut dari kelas” jelasnya panjang lebar. Gue hanya terdiam, “Udahlah, masalah dikelas lu cuekin aja, nanti lama-lama mereka juga lupa kok, yang penting lu masuk aja” gue pun mulai sadar apa yang dikatakan Juan benar, tapi dapat dari mana dia kata-kata itu, baru ditinggal beberapa hari. Gue hanya tersenyum dan dia pergi menuju fakultasnya.
                Gue pun mulai berfikir sejenak, Juan aja sudah berubah, kenapa gue tidak? Sebenarnya gue sudah berubah, namun mental gue sudah tidak kuat, jadi memutuskan gue terjun ke jurang lagi. Sepuluh menit duduk ditempat yang sama, melihat langit seolah ada jawaban atas kebingungan ini diatas sana. Tiba-tiba, gue berdiri sambil memukul meja dengan kencang. Apa yang gue lakukan? Apa yang gue lakukan? Apa yang gue lakukan? Seharusnya gue menghadapi masalah. Bukan melarikan diri seperti banci, lebih tepatnya apa yang gue lakuakan sekarang. Gue langsung menatap lurus kedepan meja, tanpa memerhatikan orang-orang lain yang sedang memperhatikan gue dengan aneh.
                “Gue harus berubah” batin gue bergema dengan kata-kata itu. Kemudian gue mulai berlari menuju keluar dari kantin itu. Berbelok kearah kanan, melewati trotoar, menyebrangi sungai, melewati koridor hingga sampai di depan ruang kelas. Dan sekali lagi “Gue harus berubah” lalu gue masuk ke kelas dan melupakan masalah dengan dia.


2 komentar:

  1. yg ini tambahin lagi. penasaran sama lanjutannya.

    BalasHapus
  2. haha... sabar yak.... satu-satu makasih komentarnya

    BalasHapus