Part 1
“Buruan, buruan”
kata kakak BEM dengan muka masam, gue sudah melihatnya seperti itu dua hari
ini. Gue tidak tahu apakah iya benar-benar seperti itu atau hanya akting untuk
hari-hari yang menyebalkan ini. Namun, memang itu yang dialami oleh semua
mahasiswa tingkat satu. Walaupun sebal, melihat kakak-kakak itu namun gue
menghadapinya hanya dengan senyum saja. Ya, habis mau gimana lagi. Empat hari
lamanya ospek di fakultas gue ini. Ospek pun berlalu dengan kenangan-kenangan
yang cukup tak terlupakan, karena banyak yang terlupakan bagi gue. Setelah
ospek berlalu seperti badai, gue mulai merasakan dunia perkuliahan yang sangat
berbeda di masa-masa waktu SMA. Kuliah paling pagi dimulai jam 8, jadi gue bisa
tidur malam dengan nyenyak, apalagi kosan gue sangat dekat dengan kampus.
Selain
itu, gue tidak lagi harus memakai seragam, hanya kaos saja paling. Namun,
buku-buku kuliah sangatlah berat, siap-siap osteoporosis dini. Cara
pengajarannya pun berbeda, sulit untuk saya jelaskan. Seminggu berlalu dibangku
perkuliahan, pelajaran yang diberikan oleh dosen dapat saya ikuti dengan baik
dan banyaknya waktu kosong untuk nongkrong. Waktu itu saya sedang makan di
kantin suatu fakultas bersama dengan teman-teman SMA, gue bertemu dengan teman
lama bernama Juan. Ia berbeda fakultas dengan gue. Juan teman gue dari SD namun
berpisah saat SMP. “Halo bro, apa kabar?” tanyanya dengan gaya sok keren. “Baik
kok” jawab gue. Kami pun bercerita tentang masa lalu kita, namun gue kaget
ketika dia tidak mengerti tentang ospek. “Lah masa lu gak tau, waktu kita di
ospek di gedung besar?” gue bertanya keheranan.
Juan
menggeleng, lalu dia berkata “Orang, gue gak ikut ospek heheeh”. Gue hanya
tersenyum lebar, ketawa kecil dan mengeleng minta ampun. Dia masih sama seperti
dulu, sewaktu SD dia juga tidak pernah mengerjakan pr ataupun memerhatikan guru
mengajar. Kami pun berbincang hal-hal lain seperti masa SMP dan SMA. “Jadi abis
ini elu ada kelas?” tanya gue. “Ya ada sih... tapi males banget masuk” jawabnya
datar. Yah yasudahlah kata batin gue
pasrah. Gue pun meninggalkannya karena sore gue ada kelas. Kegiatan
belajar-mengajarnya ini akhirnya gue tempuh satu bulan. Dan gue mulai menyadari
gue tidak bisa mengikuti pelajaran ini karena gue harus membagi belajar gue
dengan cita-cita gue satu lagi dan sangat bertentangan dengan mata kuliah gue
sekarang ini. Selama beberapa hari gue
bingung tidak karuan, gue tidak tahu, harus berbuat apa.
Suatu
saat gue bertemu dengan Juan lagi dikanti yang sama. Juan pun melihat muka gue
yang penuh dengan teka-teki. “Kenapa elo bro?” tanyanya aneh. Gue pun duduk
didepannya dan tetap diam, sampai akhirnya gue mengeluarkan sebuah kalimat
“Pusing bro gila, gue bingung sama masalah yang gue ceritain ke elo itu”. “Yah
lagian pake salah segala, begini deh jadinya, pasti elu dah gak ngerti
palajaran sama sekali?” jawab Juan sekaligus bertanya. Gue mengangguk dengan
penuh arti. Mulai hari itu gue akrab lagi dengan Juan. Tetapi keakraban itu
bukan membawa gue pada penyelesaian namun mulainya kenyamanan-kenyamanan dari
sebuah masalah.
Part 2
Part 3
Part 2
Apa yang membuat gue menjadi seperti ini? Gue berjalan lurus tanpa berbelok
sedikit pun di trotoar ini. Kadang-kadang gue melompat, melangkah lebar ataupun
berjalan minggir untuk menghindari lobang di trotoar, untungnya kesadaran gue
untuk melakukan itu masih aktif jadi tidak kecebur ke dalam got. Mungkin sudah
setengah jam gue berjalan dan sudah kembali ke tempat semula. Yah, kampus ini
hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk mengelilingnya. Setelah itu, gue
memutuskan untuk mencari tempat istirahat. Gue duduk di kantin disuatu
fakultas. “halo bro?” seseorang memanggil gue dari belakang.
Tidak perlu kaget ataupun heran, itu pasti Juan. Dan tebakan gue benar.
“Gak masuk kuliah bro?” tanyanya sambil duduk di depan gue. “Males hehe” jawab
gue sambil ketawa kecil. Juan adalah teman gue saat sedang cabut dari kelas.
Hanya dia yang bernasip sama dengan gue. Jika masuk kelas, gue tidak bakalan
mengerti apa yang dijelasin dosen. Jadi gue hanya diam menunggu bel kelas
selesai. Mungkin hal tersebut juga dirasakan oleh Juan. Kami memesan makan
bersama. Seperti biasa kami berbincang-bincang tentang film, game, dan
dewa-dewi Yunani, atau masalah-masalah kuliah kami.
Banyak masalah yang dibahas. Kami berdua berbeda fakultas namun ketika kita
sedang menceritakan masalah masing-masing pasti ada saja yang lucu dan unik.
Apalagi masalah cewek, tidak ada habisnya kami membicarakan itu. Dosa-dosa
bolos kelas dan titip absen kepada teman terlupakan sementara. Dan mungkin akan
timbul lebih dalam lagi setelahnya. Kami di kantin itu hingga sore hari. Kami
pun melanjutkan cabut kami menuju ke perpustakaan. Ini tempat paling nyaman
untuk bersantai. Walaupun gue tidak menyukai pelajaran kelas, gue menyukai
hal-hal lain. Seperti membaca majalah, komik, membuat cerpen, mengedit-edit
sesuatu atau hal-hal lainnya. Sebaliknya Juan hanya tidur dimeja baca ini.
Dua jam di perpustakaan, banyak hal-hal yang gue selesaikan. Seperti,
membaca lima bab komik, sepuluh halaman majalah, satu buah foto horror yang
sudah diedit dan terakhir nge-galau
dengan Ipod. Menjelang malam barulah gue dan Juan berpisah untuk pulang ke
kosan masing-masing. Karena ingin membunuh waktu jadi gue putuskan untuk berjalan
kaki. Gue berjalan di tempat-tempat yang gelap untuk kembali nge-galau. Gue memikirkan apa yang akan
terjadi jika gue melakukan hal-hal semacam ini terus menerus. Apa yang akan
terjadi di akhir semester nanti, selain libur dua bulan yang menyenangkan. Apa image gue didepan teman-teman yang telah
bersusah hati sekelas dengan gue.
Pikiran-pikiran itu terus mengiang-ngiang di kepala gue hingga gue tidak
sadar sudah berada didepan kosan gue. Membuka pintu dengan menggunakan kunci,
menaruh tas lalu menutup pintu kembali. Semuanya seakan dilakukan diluar
kesadaran gue. Rasa lapar yang mengrogoti perut gue seakan tidak terasa sama
sekali, padahal gue hanya sarapan pagi dan minum susu saja. Gue pun merebahkan
diri di kasur lalu terlelap hingga pagi. Keesokan paginya, gue berangkat ke
kampus dengan membawa buku asal-asalan, namun sepertinya ada sedikit semangat
kali ini untuk masuk kelas.
Di kampus, sebelum masuk kedalam kelas, gue menerima sebuah sms dari dia.
Bukan Juan, tapi dia. Kalimat sms itu Halo, abis selesai kuliah, gue tidak ada acara bagaimana kalo kita belajar
bareng buat UAS. Gue kaget melihatnya, ada yang aneh dengan dia. Tapi, gue
tidak sempat memikirkannya karena kelas sudah mulai. Di dalam kelas gue
memikirkan apa yang dia pikirkan hingga mengajak gue untuk belajar bareng.
Padahal gue sendiri tidak bisa apa-apa.
Kelas pun selesai, saat keluar, gue sudah di sambut dengan senyuman manis
dia sambil berkata “Hai”. “Jadi, mau belajar bareng gak? Kok sms gue tidak
dibales?” tanyanya. Gue pun bingung menjawabnya karena hari ini gue ingin
keliling kampus lagi tanpa tujuan. Namun, gue merasakan ada sesuatu yang
mendorong gue untuk berubah dari dalam hati ini. “Yasudah ayo” jawab gue
pasrah. Di perpustakaan kami belajar bareng, dia mengajari gue dengan sempurna,
apapun yang gue tidak mengerti diajarkan olehnya. “Udah yuk pulang, dah sore nih, besok mau
belajar lagi gak?” tanyanya setelah kami lelah belajar selama satu jam.
“Ayo dah, tapi masih banyak yang belum gue mengerti” jawab gue. “Ya udah
gpp nanti gue ajarin lagi” lagi-lagi wajahnya yang lucu dan cantik membuat gue
mati rasa. Kami pun berpisah di luar perpustakaan. Sepertinya ini adalah saat
dimana gue bisa mendekatinya dan beruaha untuk mengambil hatinya dan merubah
semua sikap gue selama ini. Namun, bukan itu yang terpenting, gue pun membuka
HP dan mengetik sebuah sms kepada Juan, Juan
sepertinya kegalauan dan masalah gue sudah ada obatnya, maaf gue tidak bisa
lagi menemani elo cabut dari kelas lagi.
Part 3
“Juan, ngumpul
lagi yuks besok siang” tanya gue ditelpon, ada jeda panjang oleh Juan setelah
gue berbicara seperti itu, “Eee... bukannya elo ada kuliah ya besok?” jawab
Juan ragu-ragu. “Nanti gue ceritain, besok ketemu di tempat biasa” balas gue
buru-buru. “Oke sipp”. Gue menutup telpon tidak seperti biasanya, seperti
kembali ke sebuah jurang yang amat dalam. Gue tidak mengerti, gue bingung. Apa
yang harus gue lakukan?. Gue berjalan dari kampus dengan sangat lemas, tidak
bertenaga, bahkan walaupun ada senior jurusan gue didepan gue. Menyeberangi
jembatan ,melewati sungai, berjalan ditrotoar. Tidak terasa sudah dua kali ini
gue mengelilingi kampus. Sudah lama tidak melakukan hal ini.
Karena
sudah capek, gue putuskan untuk menuju kembali ke kosan dan terlelap dikasur
seadanya. Keesokan harinya gue ke kantin suatu fakultas dimana disitulah gue
dan Juan janjian. Juan terlihat duduk sendiri di meja kantin paling pojok,
seperti biasa dia sudang bermain Nintendo Ds-nya dengan amat khusuk. “Halo bro”
sapa gue disampingnya.” Weits, sini duduk, capek banget lu, keliling kampus
lagi emang?” gue hanya mengangguk pelan menandakan iya. Gue duduk dan langsung
delesot di meja. “Napa elu?” tanyanya bingung. Gue pun menceritakan
kejadian-kejadian selama gue tidak bertemu dengannya dan sesaat kembali ke
jalan yang benar.
Gue
menceritakan semua kejadian itu, mulai dari gue gila dikelas hingga keluar
kelas secara paksa hingga dengan dia. Gue melakukan pendekatan yang lumayan ekstrem dengan dia, sampai-sampai dia
tidak ingin bertemu dengan gue. “Emang
lu ngapain dia? Trus lu tau dari mana dia ngajauhin elo?” tanya Juan
ditengah-tengah cerita. Gue pun menceritakan kalo gue lumayan kasar sama dia
pas ngajakin nonton dan perbuatan lain yang tidak senonoh, “Yah... elunya juga
sih” tanggap Juan. Kami pun diam sejenak. Dan gue mulai kembali berfikir,
kenapa gue menjadi seperti ini? Gue sudah tidak ingin mengulai
keberengsekan-keberengsekan gue dengan makhluk yang bernama perempuan, tapi
kenapa gue masih seperti ini?
“Oi,
bengong aja elo, kesamber geledek nanti” Juan mengagetkan gue. “Iya-iya, gue
mau mesen makanan dulu”. Sejam berselang ketika kita semua sudah selesai makan,
tiba-tiba Juan membuat gue kaget dengan kata-katanya, “Gini bro, gua udah
berubah gue abis ini mau masuk kelas, maaf gue gak bisa nemenin lu lagi cabut
dari kelas” jelasnya panjang lebar. Gue hanya terdiam, “Udahlah, masalah
dikelas lu cuekin aja, nanti lama-lama mereka juga lupa kok, yang penting lu
masuk aja” gue pun mulai sadar apa yang dikatakan Juan benar, tapi dapat dari
mana dia kata-kata itu, baru ditinggal beberapa hari. Gue hanya tersenyum dan
dia pergi menuju fakultasnya.
Gue
pun mulai berfikir sejenak, Juan aja sudah berubah, kenapa gue tidak?
Sebenarnya gue sudah berubah, namun mental gue sudah tidak kuat, jadi
memutuskan gue terjun ke jurang lagi. Sepuluh menit duduk ditempat yang sama,
melihat langit seolah ada jawaban atas kebingungan ini diatas sana. Tiba-tiba,
gue berdiri sambil memukul meja dengan kencang. Apa yang gue lakukan? Apa yang
gue lakukan? Apa yang gue lakukan? Seharusnya gue menghadapi masalah. Bukan
melarikan diri seperti banci, lebih tepatnya apa yang gue lakuakan sekarang.
Gue langsung menatap lurus kedepan meja, tanpa memerhatikan orang-orang lain
yang sedang memperhatikan gue dengan aneh.
“Gue
harus berubah” batin gue bergema dengan kata-kata itu. Kemudian gue mulai
berlari menuju keluar dari kantin itu. Berbelok kearah kanan, melewati trotoar,
menyebrangi sungai, melewati koridor hingga sampai di depan ruang kelas. Dan
sekali lagi “Gue harus berubah” lalu gue masuk ke kelas dan melupakan masalah
dengan dia.
yg ini tambahin lagi. penasaran sama lanjutannya.
BalasHapushaha... sabar yak.... satu-satu makasih komentarnya
BalasHapus