Apa yang sekarang gue lakukan tidaklah penting, apalagi untuk membuat
sebuah lukisan yang tidak jelas gambarnya itu. Walaupun tidak niat sedikit, gue
harus mengerjakan dengan hati yang terbuka. “Kumpulkan!!” terdengar sebuah
suara yang tidak ingin gue denger. Karena sudah terpaksa ya sudah kumpulkan
saja. Disaat yang sama Reno melihat kanvas gue yang Full Colour . “Apaan tuh bos?” katanya dan langsung gue menutup
kertas gue. Muka merah menjalar diseluruh penjuru wajah ini. Reno menyalib gue
keluar tanpa basa-basi.
Kring... telepon gue berbunyi, telepon jadul yang besar dan susah dibawa
mengingatkan gue pada lima tahun yang lalu. Sangat memalukan ketika seseorang
menabrak gue dengan kencang, membuat gue jatuh tersungkur. Tawa membahana
mengelilingi kepala lalu menusuk kedalam gendang telinga terus masuk kehati
yang kecil ini. Untungnya perempuan mungil itu menolong gue dengan tulus, “Kamu
tidak apa-apa?” terdengar merdu seperti malaikat yang turun dari langit. Dia
membawakan telepon besar itu yang jatuh kepada gue.
“Halo, Po dimana lu?” Suara keras yang keluar dari sesuatu yang disebut
telepon jadul membuyarkan semua. “Didepan ruang kelas” dengan pendek gue
menjawab. Dia juga mentup telponnya. Diluar jendela banyak bunga yang
berterbangan, mungkin karena bulan ini cuaca sangatlah berangin, tapi bisa saja
hanya sebuah angin sepoi-sepoi yang lewat. Masih dua jam untuk menunggu, hasil
pun sudah tidak gue pikirkan. Sekali lagi angin lewat membawa bunga –bunga yang
berterbangan. Hati pun tidak kuat untuk menahan diri melihatnya dengan dekat.
Tiga lantai sangatlah capek, namun akhirnya sampai juga gue di dasar.
Ternyata bunga itu berasal dari kebun sekolah yang berada di selatan. Kuikuti
bunga-bunga yang masih berjatuhan itu. Kadang-kadang mereka terbangun sendiri
dengan hebusan kecil. Apa itu? Sesuatu mengagetkan sekali di tengah kebun.
Sebuah tas dan lukisan yang tidak bertuan tersandar di salah satu pohon.
Kudekati pohon itu dengan hati-hati. Bunga-bunga yang beterbangan itu tidak
lagi ku hiraukan. Lebih dekat, semakin mendetail apa yang ada di kanvas itu.
Namun, Kring... telepon berbunyi lagi, dengan berat hati gue angkat dan
menjawab “bentar lagi sibuk” . gue tutup dengan kesal. Gue pun terpukau dengan
lukisan yang sama-sama Full Colour.
Tapi tidak lama gue memandang, “Hai”. Siapa geranganan. Gue putar tubuh gue secepat kilat. Ah... dia,
perempuan itu apa yang dia lakukan? “Bagus gak?” tanyanya. Lagi-lagi kali ini
dengan wajah imut seimut-imutnya. “Bagus, gimana caranya” dia tersenyum lebar.
Dia mulai mengajari gue mulai dari sketsa yang kasar, lalu halus, kemudian
mulai dengan warna yang tidak gue kenali. Jadi gue hanya bisa menebak-nebak
saja. Karena gue terus-terusan menyebutkan warna merah. Disela-sela, ia
memandang gue dengan serius seperti gue itu sesuatu yang aneh di muka bumi ini.
Kring... bunyi telepon membahana di kantong celana gue. Sial... mengganggu
saja. Tombol merah gue pencet dengan cepat. Tapi lagi-lagi berbunyi lagi. Gue
pikir ini sesuatu yang penting.
Perempuan itu menunggu gue dengan setia. “oi po.. dah mau mulai nih” . gue
bingung. Lalu gue menjawab “Oke” . Hanya satu kata, namun setidaknya dia sudah
tahu maksud gue itu. Gue memandang perempuan itu. “Mau pergi?” katanya dengan
lirih. Gue mengangguk dengan penuh perasaan. Dia bangun dari duduknya yang di
depan kanvas lalu mendekati gue. “Rani” dia menyodorkan tangannya. “Pon” sahut
gue lalu meninggalkannya sendiri.
Balik ke lantai tiga sangat lah berat, lebih berat dari pada saat gue
turun. Diatas gue disodorkan oleh sebuah kanvas yang tidak lain kanvas gue tadi. “Apa nama
tema ini?” astaga gue lupa tadi. Seharusnya tema merupakan suatu yang penting.
Namun sekali lagi gue lihat kanvas gue. Seorang perempuan berdiri di ujung dan
ujung lainnya adalah kanvas warnanya pun Full
colour sepertinya. Gue pun menjawab “Gadis berkanvas merah”