Sekarang gue
melihatnya lagi, dia berbeda dari yang dulu, sangat berberda. “Haii” gue
menyapanya. Dia sedang meminum segelas minumannya dan hampir tersedak ketika gue
memanggilnya. Dia tidak langsung menyapa, pertama dia mengerutkan alisnya
seakan berfikir keras makhluk apa gue ini, kemudian dia barumenyadari
keberadaan gue. “Elu Fitri yah??” katanya ragu. Akhirnya.... dia mengenal gue juga. “iya... udah lama kita
tidak ketemu” kata gue tapi suara gue sedikit berubah tidak tahu kenapa, seakan
gue baru mengenal laki-laki didepan gue ini. “Bagaimana kabarnya?” tanyanya.
“Baik kok” jawab gue dengan cepat, perasaan gue seperti bercampur aduk, tidak
tahu kenapa. “Yuk ngobrol dulu sebentar” ajaknya. Penyanyi sedang menyanyikan
sebuah lagu diatas panggung, suasana pesta juga meriah mungkin dia sedang ingin
mengobrol tanpa harus berteriak. Aku mengikutinya, gue tidak lepas-lepas
menatap jas hitam yang dikenakannya, terlihat cocok sekali di malam yang pernuh
nostalgia. Sesampainya di balkon gedung 6 itu dia bersender di pager pembatas,
lalu menatap gue, iya menatap gue. “Elu cocok pake gaun itu” sanjungnya. Gue
pun tersipu malu, kemudian kami bercakap-cakap kejadian selama 5 bulan setelah
kelulusan kami. Setelah beberapa lama gue ingin menyinggung tentang masa kuliah
kami. mungkin dia tidak ingin mengingatnya. Itu masa tersuram yang pernah
dialaminya, yang disebabkan oleh teman sejurusannya, oleh gue sendiri.
Jika
diingat-ingat, atau mungkin sebaiknya tidak perlu diingat, gue menyakiti
hatinya waktu itu. Sejak awal gue masuk kuliah gue berteman dekat dengannya,
dia selalu menemani gue ketika gue sedang sendiri entah ke kantin atau ke
perpustakaan untuk meminjam buku. Gue pun juga sama, gue selalu mengajarinya
belajar, dia sangat susah untuk mengerti mata kuliah di jurusan kami. Gue
membantunya belajar sehingga kami bisa lulus tepat 4 tahun dan wisuda
bebarengan. Namun kejadian itu berawal ketika kami baru saja lulus skripsi
kami, dia menembakku untuk menjadi pacarnya. Awalnya gue ragu untuk
menerimanya, karena kami sudah sangat nyaman hanya sebatas teman. Akhinya gue menerima dia. Namun, umur pacaran kami hanya sebatas satu bulan. Gue juga tidak menyangka kenapa gue bisa
menjadi perempuan yang sangat cemburuan padahal dia melguekan hal tersebut
hanya sebatas fans. Kami bertengkar hebat karena dia lebih menyukai idol group
kesukaannya dari pada gue. Setiap minggu, gue harus mennunggunya sampai selesai
konser idol itu, harus rela melihat display picturenya yang berfoto perempuan
cantik nan mulus itu dan menerima foto kami berdua yang kalah banyak dengan
foto idol itu. Yap, gue saat itu sangat cemburu berat hingga semua logika
hilang. Dia mencoba untuk menjelaskan secara detail ke gue, tapi tetap saja
dimana nafsu yang berjalan di situlah penyelan terjadi. Gue pun lost contact
sampai saat ini kami bertemu, bahkan saat wisuda gue muak melihat mukanya dan
berusah menghindar bila dia ingin bertemu dengan gue.
"Dorr"
kagetnya. Lamunan gue tentang masa lalu buyar seketika dan memaksa gue untuk
kembali ke kenyataan. "Ah nggak kok gpp" kata gue yang terlontar
dengan cepat. "Dih gpp gimana?" Tanya dia aneh. Sebenarnya bukan dia
yang aneh tapi guenya aja yang salting didepannya. Apa gue ungkapkan saja
perasaan gue sekarang? Pikiran itu terlintas didalam otak gue. Ah tidak, mana
mungkin dia menerima ku lagi. Tapi pikiran itu terus mendesak di otak gue, tidak hanya itu hati lah yang
paling mengerikan, dia terus mendorong gue untuk mengucapkannya. “Jadi...”
sahut gue yang ingin menanyakan hal tersebut.
“Iya?” dia menatap gue lekat-lekat, matanya seakan membaca pikiran gue,
membaca jauh kedalam hati gue. “Gimana perasaan elu ke gue sekarang?” bodoh,
itu pertanyaan yang sangat aneh, dia hanya mengerutkan keningnya sebentar lalu
menantap jauh ke arah bintang-bintang yang bertebaran di langit.
“Sebenarnya.....” ucapnya. Gue menunggu jawaban itu, Tiba-tiba dari dalam
terdengar sebuah lagu berjudul Heavy
Rotation, kami diam sejenak, lalu tertawa geli seakan masa lalu itu masih
tetap melekat dii otak kami, “Jadi sebenarnya...” ucapnya, dan gue menunggunya
lagi, namun seseorang memanggilnya dari
arah belakang. Panggilan untuknya itu
bukan namannya? Tapi sebuah panggilan sayang. Dina mendekat, gue masih tidak
percaya kalau yang memanggil itu adalah teman dekat gue juga saat kuliah. “lagi
apa kalian berdua disini” tanya Dina. Dina langsung menghampiri dia dan
menggandeng tangannya. Sejak kapan? Mereka jadian. Suasana menjadi aneh antara
gue, Dina dan dia. Untungnya ada seseorang yang memanggil kami untuk masuk
kedalam karena acara akan dimulai. Gue berjalan dibelakang melihat mereka
berdua bermesrahan. Sejujurnya gue tidak keberatan jika mereka berpacaran atau
langsung menikah sekalipun, namun kenapa hati ini selalu berkata sebaliknhya?