Kamis, 25 Oktober 2012

(C) Gadis Berponi


Lima bab novel telah gue baca di bangku taman ini pada malam hari. Orang semilir berganti melewati depan gue. Gue hanya bisa memandang keceriaan mata-mata mereka di taman yang kecil ini. Di sebelah kanan ada beberapa anak-anak berumur kira-kira tujuh tahun bermain kejar-kejaran, mereka yang dikejar oleh satu temannya harus jongkok untuk menyelamatkan diri, itu permainan lama yang disebut Tak Jongkok. Terdengar kegaduhan disisi sebelah kiri. Gue langsung mengalihkan pandangan kesisi itu. Seorang anak yang berumuran sama terjatuh dari sepeda. Untungnya orang tuanya langsung menghampiri dan membantunya berdiri. Gue hanya tersenyum melihatnya, lucu sekali wajah anak itu.
Suasana berubah ketika gue mangalihkan pandangan ke depan, tepat lurus kearah jam dua belas. Seorang gadis duduk berhadapan dengan gue. Kapan dia berada disana? Tapi bukan itu yang membuat gue kaget. Walau dia duduk diseberang sana sejauh dua ratus meter, gue bisa melihat buku yang dibacanya. The Hunger Games  karangan Suzane Collines, buku yang sama dengan buku yang gue baca barusan. Selanjutnya gue menatap wajahnya yang... Arkh!!! susah sekali untuk menafsirkannya. Matanya sangat indah, hidungnya mancung dan bibirnya sangat sensual. Dan Gue yakin umurnya seumuran gue.
Tapi yang membuat gue suka melihatnya adalah poni yang di gerai menutupi dahinya. Sudah lama gue tidak melihat gadis SMA yang berponi. Kebanyakan dari mereka dibelah tengah atau memamerkan dahinya, seperti yang terjadi di SMA gue sekrang ini. Namun, gue terlalu lama melihatnya, dia langsung mengangkat kepalanya dan matanya tertuju ke arah gue. Gue pun langsung mengalihkan pandangan ketempat lain. Sedetik mata kami saling memandang, dia tersenyum kepada gue. Gue pun tidak berani melihatnya lagi dan gue merasa malu duduk disini lagi. Jadi gue memutuskan untuk pulang kerumah.
Keesokan hari gue malanjutkan membaca beberpa bab novel di taman itu. Gue duduk di tempat yang sama. Tidak ada tanda-tanda kehadiran gadis berponi itu lagi. Setelah membaca dan menutup buku novel gue itu, Dia sudah berada dibangku kemarin dengan buku yang sama dengan gue. Gue tidak tahan untuk berkenalan dengan gadis berponi itu. Beberapa kata-kata gue atur untuk berkenalan dengannya, pemilihan kata yang tepat bisa membuat perempuan jatuh hati dalam satu kali pertemuan. Yah.. tapi memang agak susah untuk melakukan itu.
Dengan sedikit keberanian gue menghampirinya. “Hai” sapa gue. Dia langsung mengalihkan matanya dari buku itu kearah gue. “Hai juga” jawabnya, lalu matanya menuju kearah buku yang gue baca “Baca Hunger Games juga ya?” katanya mengagetkan gue. “Iya hehe” jawab gue lalu duduk di sampingnya tanpa disuruh. “Gimana bagus kan ya ceritanya ?” tanya gue memulai obrolan. Kemudian dia langsung bercerita dengan panjang lebar, kami tidak saling kenal sebelumnya tapi dia sangat friendly dan lucu. “Kenapa?” tanyanya ketika gue terlalu lama menatapnya seusai cerita.
“Oh.. Nggak kok gpp” gue tersipu malu, lalu dia tertawa kecil mungkin melihat muka gue yang merah seperti tomat sekarang. “Nama lo siapa?” tanya gue memecah kesunyian. Dia terdiam sebentar “Angel” jawabnya agak malu. “Mmm.. nama yang bagus. Gue Redi. Salam kenal” Kami pun berjabat tangan. Selanjutnya kami saling bercakap-cakap. Ia bercerita tentang rumahnya yang sempit, pohon beringin besar yang berada di sebelah kanan kiri rumahnya dan banyaknya rumput ilalang disekitar rumah. Gue pun mendengarkannya dengan seksama, walaupun cukup aneh bercerita tentang begituan pada orang yang belum dikenal.
“Pulang yuk sudah malam “ ajaknya. Tidak terasa kami mengobrol sampai  pukul 9.30 malam. “Ayuk” jawab gue. Kami keluar taman bersama. “Oke gue ke arah sana ya? Seneng gue bisa kenalan sama kamu” gue hanya memandang matanya dengan lekat serta poninya yang membuat gue suka padanya. “Mau gue anterin” tawar gue. “Nggak usah nanti kamu kemaleman sampai rumah, cuman dikomplek YudhaWisma rumah gue” jawabnya. “Oke bye” “bye” bales gue. Gue pun pulang kerumah dengan perasaan senang.
...
“Eh bro katanya lu kenalan ya sama cewe?” tanya Egra temen gue saat kumpul di sebuah Mall. ‘Iya bro, cantik banget” jawab gue dengan bangga. “Emang sekolah dimana?” tanya Uni sekaligus mengagetkan gue. Disaat yang sama gue tersadar kalau gue lupa nanya Angel sekolah dimana. “Lupa nanya gue, hehe” jawab gue sedikit malu. “Jiahh... elu gimana dah? Yang penting poni-an kan Red? Gak keliatan dahinya” ejek Uni sekaligus mengakhiri obrolan kami.
Di perjalanan menuju ke rumah. Gue melewati suatu perumahan bernama YudhaWisma. Gue pun menyuruh Egra untuk mampir sebentar. “Dia kaya ya?” tanya Uni setelah melihat rumah-rumah di komplek YudhaWisma itu besar-besar, minimal berlantai dua. “Ngak kok, katanya rumahnya kecil” jawab gue. Dari ujung ke ujung komplek kita mencari rumah itu, tapi tidak ada yang kecil. Jangankan yang kecil, yang tidak bertingkat saja tidak ada.
“Salah kali lu bro, kita sudah mencari dari ujung-ujung nih” kata Egra frustasi. “Coba deh Gra belok kesana” gue mengarahkan mobil kesebuah tempat sepi yang setengah dari jalan itu adalah kebun dan tanah kosong. “Dih masa disini Red, yang bener saja?” Egra takut melihat setelah tiga rumah dilewati, sebuah tanah kosong di kanan dan kiri. Saat itu menunjukan pukul depalan kurang tapi, suasana disitu sangat seram hingga gue melihat sesuatu yang dikatakan Angel. Dua pohon beringin besar dikanan kiri rumah, ilalang di sekitarnya, rumah kecil?
“Stop gra berhenti” teriak gue. “Hah, masa disini si bro yang bener aja lu, serem banget” sahut Egra. Namun gua tidak menghiraukan dan langsung keluar dari mobil. Gue berlari menuju kearah yang gue lihat itu, sebuah tanah kosong. Dan gue berhenti di tengah tanah kosong itu dengan sangat penasaran. “Oke, Dua buah pohon beringin diantara rumah” gue melihat kearah dua buah pohon itu. “ilalang sekitarnya” gue menelusuri ilalang-ilalang itu dari kanan kekiri. “Dimana rumahnya? hanya ada ku... bu....ran!!!” gue tersentak kaget. Jantung gue serasa ingin copot. Gue mendekati kuburan itu dan disitu tertulis sebuah nama.
Namanya adalah Angel, meninggal tepat sebelas hari yang lalu. Bulu kuduk gue sekarang terangkat maksimal. Tiba-tiba, Sebuah suara memanggil terdengar dari sebuah pohon sebelah kanan. “Hai Redi, selamat datang di rumah aku”






"Angel" kata gue terbata-bata, kaget melihatnya muncul di sebelah kanan gue. Dia tidak berwujud hantu, dia tidak melayang, dia masih berponi. Sama seperti yang gue temui kemaren di taman. "Ee...lo... Ha..n.." Gue tidak bisa menyelesaikan kalimat gue. Angel hanya tersenyum manis dan mulai mendekat. Tadinya gue ingin lari, tapi tidak bisa, gue merinding. Lalu Angel melihat kearah kuburan. "Ini Kuburan gue. Gue di kubur seadanya didaerah ini" jelasnya. Namun gue masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi disini. "Jadi kamu ini hantu" gue berusaha menenangkan diri. Dia mengangguk pelan. "Tapi, kenapa elo seperti manusia, bisa berdiri, bisa... Arrgh" gue menjadi gila dihadapannya.

"Aku memilih kamu Redi. Untuk membantu aku" dia melihat gue tajam. "Membantu apa? Kenapa yang dipilih gue?" Gue berlutut di hadapannya seakan tidak percaya apa yang terjadi. Lalu Angel ikut berlutut di hadapan gue dan memegang tangan gue. Dingin sekali, seperti es yang berada di kutub utara. “Tolong yah?” tanyanya. Gue mencoba memberanikan diri untuk menatap matanya. Gue tidak tahu harus menjawab apa, dia hantu tapi tidak seperti hantu, gue menyukainya. “Iya..” jawab gue pelan. Diiringi dengan kata itu, gue mencoba tersenyum. Tapi ketika gue mengharapkan balasan senyumannya, Ia berkata sesuatu “Bener yah, jangan coba-coba kabur..” tangannya menggenggam dengan erat dan mungkin jika gue mencoba untuk melepaskannya pasti tidak akan bisa.

Gue hanya terdiam dan menenduk. Tidak lama dia bangun, badan gue juga ditariknya keatas menggunakan tangannya. “Liat mata gue, Redi” katanya dengan manis. Gue hanya bisa menuruti kata-katanya, badan gue sudah tidak bisa bergerak, seakan Angel menghisap seluruh energi gue. Pertama gue memandangnya seperti biasa memandang cewek, namun sedetik kemudian mata gue seperti ingin tidur. Sedetiknya lagi gue sudah terlelap di pelukannya. Gue bisa merasakan pelukan itu, dingin sekali. “Angel..” itu kata terakhir yang bisa gue ucapkan sebelum terlelap.

...

“Re, Redi bangun” suara Egra terdengar di telinga gue, namun gue tidak bisa melihat, mata gue berat sekali sakan ditimpa beberapa ton batu. Semenit kemudian akhirnya mata gue bisa terbuka, “Gue dimana?” tanya gue polos masih belum bisa melihat sekitar. Lima detik kemudian gue pun tersadar gue tertidur di rumput. “Lu ngapain tidur disini bro” tanya Uni. Gue tidak menjawab karena gue masih bingung apa yang terjadi. Kemudian sebuah senter menyorot mata gue dengan terang. Uni melakukannya agar gue sadar betul. “Kemana cewek itu?” tanya gue mananyakan Angel. Egra dan Uni sama-sama bengong. “Re jangan ngelantur deh, Lu tu dari tadi ngomong sendiri disini, kita liat kok dari mobil, terus lu jatuh sendiri gitu”

Hah? Ngomong sendiri. Ternyata memang benar Angel itu adalah hantu. Gue melihat sekitar, tidak ada tanda-tanda kehadirannya. Kuburan itu masih ada di belakang gue. “Elo kenapa si? Mana mungkin cewek itu tinggal disini?” Egra membuyarkan lamunan. Gue hanya terdiam dan menjadikan ini sebuah misteri. “Sudah jam berapa sekarang?” tanya gue. “Jam delapan lewat, pulang yuks, serem banget nih disini” ujar Uni sambil melihat pohon besar dibelakang. Kami pun kembali ke mobil Egra. Di mobil gue tidak berhenti-berhentinya memikirkan Angel. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana caranya hantu menampakan dirinya di muka umum?

Egra mengantarkan gue sampai kedepan rumah. Gue singkirkan pikiran Angel di otak gue dan langsung melahap semua makanan yang sudah disiapkan Ibu gue di meja makan. Kenyang!! Setelah makan gue langsung menuju ke kamar untuk beristirahat. Ketika gue membuka kamar, “Halo, Redi” sesosok perempuan duduk di kasur gue. “Angel” kata gue sambil terkejut tak karuan. “Kamar kamu bagus” katanya sambil memuji. Yah.. karena dia mirip manusia gue tidak takut kepadanya. Gue melihat Angel cantik sekali kali ini, “Kenapa?” katanya, mungkin ada yang aneh ketika gue melihatnya dengan tidak senonoh.

“Nggak apa-apa” gue langsung mengalihkan pandangan gue ke arah lain. Gue pun memberanikan diri duduk disampingnya. “Maaf ya, tadi ngebuat elo pingsan, lagian dateng kerumah orang gak bilang-bilang” katanya manja. Gue hanya tertawa kecil mendengarnya. “Gak apa-apa kok, santai aja” jawab gue. “Terus elo minta bantuan apa ke gue?” dia terdiam sejenak seakan masalah yang dia alami sangatlah berat dan susah untuk diceritakan. Gue pun hanya bisa menunggu dengan sabar hingga Angel menceritakan semuanya.  

Senin, 22 Oktober 2012

(C) Hantu Jembatan Runtuh


Krontang.. Jeger... Byur... Suara barang terjatuh ke sungai terdengar keras sekali.  “Suara apa tuh?” tanya si Eko panik dengan mata terarah keluar jendela. Gue pun melakukan hal yang sama dengannya. Karena keinginan untuk mengetahui sangat kuat, Gue dan Eko langsung berlari keluar rumah. Gue melihat Adi dan Dono sudah berada diluar, menghadap kearah barat atau boleh di bilang sebelah kanan rumah. Tidak hanya mereka berdua, beberapa oarang didepan mereka juga melihat kearah yang sama. Apa yang terjadi? Apa ada yang terjatuh di sungai sebelah rumah gue ini? Tapi suarannya kencang sekali.

Ketika sampai di ujung pintu, Gue tidak melihat ke arah dimana Adi dan Dono melihat. Gue melihat ke arah sebaliknya. Banyak orang berbondong-bondong kearah belakang gue, mereka berlari dengan dengan muka penasaran. Tidak hanya anak-anak saja tetapi juga orang tua dan Ibu-ibu. Tanpa berfikir panjang gue melihat ke arah kerumunan orang di depan rumah gue. Matahari sore membuat silau di mata. Tangan kanan gue terpaksa membuat topi diatas mata untuk memperjelas penglihatan. “Apa? Tidak mungkin? Kemana Jembatan?” Gue berteriak.

Gue pun merasa tidak percaya dengan apa yang gue lihat ini. Seharusnya sepuluh meter dari rumah gue ini kearah barat ada sebuah jembatan yang menghubungkan Desa Boru dengan Desa Delima. Tapi kemana jembatannya? Jangan-jangan.... Baru ingin mengatakan hal yang ngak-ngak Eko, menjawab pertannyan gue tadi, “Jatuh kesungai”. Semua pecahan-pecahan jembatan berserakan terbawa arus sungai. “Kenapa bisa runtuh? Sungai aja tidak deras alirannya?” tanya Dono dengan polos. “Iya yah aneh” Jawab Adi. Kami ber empat pun langsung mengobrol masalah jembatan itu. Masyarakat sekitar di sekitar ikut ricuh.

Gue menengok ke seberang jembatan. Mereka yang berada di Desa Delima melakukan hal yang sama. Dua jam berselang setelah jembatan itu runtuh. Ada kesepakatan kalau jembatan runtuh itu tidak menelan korban. Semuannya pun ikut bersyukur. Sangat beruntung sekali, Kami berempat masih berada dipinggir sungai. Hari sudah malam. “Udah yuk kerumah” manja gue. Jujur aja gue pegel banget berdiri disitu dan tidak terjadi apa-apa. “Yasudah, gue udah ngantuk” jawab Adi. Padahal ini baru jam tujuh malam, kami kelelahan bermain PS 2 semenjak pagi. Kami tidur tanpa makan ataupun sikat gigi terlebih dahulu.

“Sial” gue berteriak bangun karena mimpi buruk saat tidur. Gue tidak bisa mengingat mimpi itu lagi saat bangun. Terlalu mengerikan. Karena tidak bisa tidur lagi, Gue pun meninggalkan kamar dan menuju keteras rumah. Untungnya suara teriak gue tadi tidak membangunkan yang lain untuk bangun. Kalau mereka bangun bisa-bisa mereka marah sama gue. Gue keluar dengan membawa segelas teh manis, dari jembatan ini terlihat mulut jembatan disegel oleh sebuah bambu. Sangat sunyi dan tenang, itu yang gue rasakan sekarang.
               
            “Ambil makanan ah...” gumam gue. Ada sepiring kue di belakang, tak lama gue keluar ke teras lagi. Begitu gue duduk dan menghadap ke bibir jembatan, semua badan gue terasa kaku dengan apa yang gue lihat sekarang ini. Seorang perempuan memakai baju putih, sedang melihat kearah jembatan runtuh itu. Siapa dia? Kenapa ada disini? Dan sejak kapan? Ternyata gue berpikir terlalu lama. Si perempuan itu menengok kearah gue sekarang. Namun kali ini rasa takut gua hilang seketika, ketika wajah cantik perempuan itu tersenyum kearah gue. Dia tidak seperti perempuan yang ada di mimpi buruk gue, tidak menyeramkan. Dia juga napak kok, tidak melayang.
                
             Dengan keberanian yang tinggi gue mendekatinya. “Lagi apa disini?” tanya gue dan dberdiri disampingnya. Gue masing menjaga jarak dengannya, kalau-kalau dia berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. “Jalan-jalan aja, kamu sendiri?” jawabnya dengan lemah lembut. Suaranya membuat gue semakain ingin dekat denganya tapi masih berjaga jarak. “Rumah gue disitu, tapi gak bisa tidur aja, mimpi buruk hehe” jawab gue bercanda. Perempuan itu tertawa kecil dan kami pun mengobrol panjang. Namanya Jane. Dia berasal dari Desa Delima juga, tapi gue tidak pernah melihatnya.
               
             Dia mengajak gue ke jalan setapak menuju ke tepi sungai yang landai. Gue sudah agak jauh dari rumah sekarang, Jane memegang tangan gue saat kami melihat aliran sungai menerjang bebatuan kali di malam hari. Kami saling bertatapan dan Ia mencium gue. Rasa nikmat berciuman dengannya sangat nikmat, lalu gue tidak sadarkan diri. Tiba-tiba seseorang memanggil gue, “Dy, Rendy bangun, kenapa lu ada disini?” terdengar suara Dono samar-samar. Gue pun buru-buru menyadarkan diri, dan hari sudah pagi. Kemana Jane? Itu yang ada di otak gue pertama kali.

“Kalian ngapain disini?” tanya gue, sekarang gue sudah mulai berdiri. “Tiba-tiba, Pak Tono ke hilangan anaknya, ada orang yang melihatnya jatuh kemarin, dia perempuan” jelas Adi. “Kenapa baru sekarang?” tanya gue heran. “Kemarin itu orang tidak yakin, kami sedang membantu mencarinya” tambah Adi. Dengan masih perasaan heran gue pun bertanya “Siapa nama perempuan itu?”. Eko pun menjawab “Namanya Jane”. What....